Oleh; Bahrus Surur-Iyunk
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs Ali Imran [3]:139)
Ayat ini turun setelah umat Islam mengalami kekalahan dari kaum kafir Quraisy pada perang Uhud. Kaum muslimin saat itu merasa terpukul. Di antara mereka ada yang merasa bersalah, rendah diri, bersedih dan kemudian tidak percaya diri untuk bisa menjadi pemenang kembali di pertempuran berikutnya. Allah kemudian menghibur dan memberi semangat kepada umat Islam dengan menurunkan ayat ini. Kata Allah pada ayat berikutnya, “Jika kamu mendapat luka, mereka juga luka. Dan jika mereka menang, pada perang Badar kamu pun sebagai pemenang. Dan itulah cara Allah menunjukkan kepada umat Islam dan manusia bahwa kemenangan dan kekalahan itu akan dipergilirkan di antara manusia.”
Itulah ketidakpercayaan diri gaya masa lalu sejarah Islam. Dalam konteks kekinian, fenomena ketidakpercayaan diri umat Islam itu sesungguhnya mulai tampak –meski kadang tidak disadari. Tandanya, sebagai seorang mukmin seakan sudah tidak lagi percaya diri dengan keimanan dan sudah tidak lagi peduli dan cenderung meninggalkan ibadahnya. Bahkan, tidak pernah malu saat mengambil prosesi ritual yang dilaksanakan umat agama lain. Umat Islam juga cenderung meniru perilaku dan ritual orang-orang non-muslim yang dibungkus dengan statemen budaya, modernitas, “biar gaul” atau mengikuti perkembangan zaman.
Ketidakpercayaan diri itu muncul misalnya saat Hari Natal. Atas dasar toleransi dan menghargai teman, tidak sedikit umat Islam ikut-ikutan Natalan atau setidaknya memberi ucapan selamat Natal. Di tahun baru Masehi umat Islam ikut meniup terompet layaknya orang Yahudi; menyalakan kembang api layaknya orang Majusi saat hendak beribadah; ikut menabuh genderang dan bunyikan lonceng layaknya orang Nasrani hendak melakukan kebaktian. Bukan hanya itu, pada Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan peringatan Maulid Nabi juga dianggap tidak ramai jika tidak ada perayaan kembang api.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketidakpercayaan diri itu sering muncul karena dorongan hal-hal yang bersifat duniawi. Tidak menjadi “orang” kalau tidak punya mobil. Malu karena tidak sama dengan yang dimiliki tetangganya. Merasa minder karena tidak punya jabatan yang bisa dibanggakan. Dan, anak-anak kita pun tidak pernah percaya diri di hadapan teman-temannya jika tidak bersepeda motor bagus dan ber-handphone mahal. Menariknya, para muslimah banyak yang tidak percaya diri ke undangan resepsi pernikahan jika tidak berhijab –meskipun jika keluar rumah masih sering lupa dengan hijabnya itu.
Dalam konteks yang demikian, kita bisa bandingkan keadaan kita ini dengan kondisi pada masa Jahiliyah. Dulu, orang-orang kafir Quraisy merasa percaya diri karena memegang jabatan tertentu, seperti pemegang kunci Ka’bah, penjaga air Zamzam, penjaga patung-patung di Ka’bah. Mereka menjadi percaya diri karena silsilah keturunan dengan beragam sukunya. Mereka juga percaya diri karena kekayaan yang dimiliki.
Tetapi, setelah Rasulullah menyampaikan risalah tauhid, semua berbalik 180 derajat. Kemuliaan dan derajat seseorang sudah tidak lagi didasarkan pada kekayaan, keturunan dan jabatannya. Tetapi, kemuliaan, ketinggian dan derajat seseorang lebih ditentukan oleh keimanan dan ketakwaannya. Para sahabat yang digembleng oleh Rasulullah merasa yakin dengan keimanan mereka. Mereka percaya diri dengan jaminan Allah di dunia dan akhirat. Saat perintah hijrah turun, mereka tinggalkan harta benda yang dimiliki untuk membangun peradaban baru di Madinah atas dasar iman. Di kemudian hari, generasi awal Islam bisa mengalahkan orang kafir Quraisy, Persia, Romawi, merebut kembali Palestina, menaklukkan Semenanjung Spanyol (Andalusia), bukan karena kaum muslimin saat itu banyak jumlahnya. Namun, lebih karena kepercayaan diri bahwa seorang mukmin itu lebih mulia. Semoga kita bisa meneladaninya. Amin.•