Al-Qur’an sebagai Basis Epistemologi Penelitian

Al-Qur’an sebagai Basis Epistemologi Penelitian

YOGYAKARTA.suaramuhammadiyah.id-Keberadaan Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, memiliki peran sebagai petunjuk dan pedoman sekaligus sumber ilmu pengetahuan. Kitab suci yang juga mukjizat ini tidak hanya dijadikan sebagai bacaan, namun dikaji secara mendalam dari beragam aspeknya. Terutama terkait dengan ayat-ayat sains yang harus diteliti dengan seperangkat metodologi dan pendekatan ilmu pengetahuan.

Menurut penulis buku “Nalar Ayat-Ayat Semesta” Agus Purwanto, dari keseluruhan Al-Qur’an, ayat-ayat kauniyah berjumlah 800 ayat, sementara ayat-ayat tentang fkih hanya berjumlah 160 ayat. Namun dalam prakteknya, mayoritas umat Islam menyibukkan diri dan menghabiskan energi untuk mengkaji dan berdebat dalam hal urusan fikih.

Kecenderungan hanya terfokus dalam wilayah fikih oriented membawa dampak pada ketertinggalan dan kemiskinan di kalangan umat Islam. Khususnya di Indonesia, sumber daya alam yang begitu melimpah pada akhirnya tidak mampu dikelola dengan baik dan tidak mampu membawa kepada keadilan dan kesejahteraan.

Fakta ini sangat ironis dan bertolak belakang dengan pesan-pesan Al-Qur’an yang menghendaki kemajuan. “Agama rahmatan lil alamin itu mindsetnya adalah produsen, bukan konsumen,” ungkap penggagas Pesantren Sains (Tresnains) itu dalam Seminar Al-Quran dengan tema “Reaktualisasi Al-Quran untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (11/8).

Menurut sosok yang kerap dipanggi Gus Pur itu, sains di kalangan umat Islam harus berkembang karena bersumber dari ajaran wahyu, diikuti oleh filsafat. Penggambaran Al-Qur’an harus menjadi ransangan untuk melakukan kajian dan penelitian lanjutan.

Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menunjukan contoh bahwa Al-Qur’an misalnya mengutamakan semut dan jahe. Bagi mayoritas umat Islam, informasi Al-Qur’an tentang semut dan jahe merupakan hal yang biasa saja. Namun, seharusnya penggambaran Al-Qur’an tersebut menjadi pijakan awal dan ransangan untuk mengkaji lebih dalam tentang keistimewaannya.

“Kita harus merubah cara berpikir kita, bukan menccocok-cocokkan (antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan yang terjadi dalam realitas), tapi sebagai basis epistemology,” ujar Gus Pur (Ribas).

Exit mobile version