Oleh; Drs H Hajriyanto Y Thohari, MA
SUARA MUHAMMADIYAH, Muhammadiyah harus kembali menyatakan sikap dan posisi politiknya mengenai Undang-undang Dasar (UUD). Ini karena derasnya desakan untuk melakukan amandemen UUD.
Ada dua bentuk yang berhembus pada isu tersebut, yaitu amandemen dalam pengertian perubahan yang kelima setelah empat kali amandemen dilakukan. Walaupun sebenarnya empat kali itu merupakan empat tahapan dalam satu kali amandemen. .
Bentuk lainnya yang jauh lebih kuat adalah kembali ke UUD 45. Bahkan yang paling terakhir, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI), sudah bergerak dan mendesakkan untuk kembali kepada UUD 45. Ini merupakan hal yang pertama terjadi di kalangan cendikiawan. Selama ini sebagian besar mereka yang menuntut kembali kepada UUD 45 yang asli adalah dari kalangan purnawirawan TNI, khususnya angkatan 45.
Hal ini tentu sangat fundamental, oleh karena reformasi konstitusi akan membawa dampak dan implementasi yang sangat besar dalam kehidupan kenegaraan. Amandemen UUD 45 yang sudah berlangsung tahun 1999 sampai 2002 itu, sampai hari ini belum diikuti secara penuh.
Hasil amandemen belum sepenuhnya masuk ke dalam undang-undang yang sekarang berlaku. Itu artinya undang-undang belum berdasarkan amandemen UUD 45. Bisa dibayangkan kalau kemudian amandemen dikembalikan lagi pada UUD 45 yang asli, betapa akan sangat besarnya indikasi politik.
Ada beberapa pikiran yang memanfaatkan situasi itu, terutama saat terjadi keluhan-keluhan mengenai kiblat bangsa, karena ketiadaan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagai contoh saja, ada salah satu kelompok yang menginginkan dihidupkan kembali GBHN melalui agenda amandemen secara terbatas. Ternyata keinginan itu kemudian diikuti oleh beberapa kelompok lainnya, yang makin hari makin memperkuat isu tersebut.
Akibatnya, resonansi dan reperkusi politik terhadap gerakan untuk kembali kepada UUD 45 itu semakin besar. Saya kira PP Muhammadiyah sudah menyampaikan beberapa pokok pikiran itu, khususnya terkait GBHN. Sementara terhadap gelombang tuntutan dan desakan amandemen UUD 45, baik dalam bentuk amandemen kelima atau kembali ke UUD 45 yang lama itu belum diajukan Muhammadiyah.
Banyak sekali kritik yang dialamatkan kepada implikasi-implikasi dan konsekuensi-konsekuensi politik dari amandemen UUD 45, terutama menyangkut kehidupan politik dan ekonomi yang semakin liberal. Kehidupan politik yang semakin liberal ditandai dengan Hight Political Cost, politik biaya tinggi, yang mengakibatkan terjadinya kecendurangan plutokrasi dalam kehidupan politik kita. Yaitu kecenderungan politik di mana orang-orang yang berduit, kaya, yang akhirnya berkuasa.
Kemudian karena dianggap menyimpang dari demokrasi perwakilan, lahir pula gelombang yang menyatakan kepada pemerintah untuk meninjau kembali sistem demokrasi langsung itu. Bahkan isu-isu ini juga muncul dari partai politik besar yang ada di Indonesia. Sebagian parpol itu menuntut agar sistem pemilihan, baik pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota, dan pemilihan legeslatif (pileg), dilakukan dengan secara proporsional tertutup seperti yang dipraktikkan pada masa orde baru.
Sedangkan tentang hari lahir Pancasila. Menurut pandangan saya, sebetulnya rumusan Pancasila 1 Juni, 22 Juni, dan Pancasila 18 Agustus, itu dapat dibaca sebagai satu kesatuan yang integral. Rumusan Pancasila 1 Juni adalah intelektual histori. Kemudian rumusan Pancasila 22 Juni sering disebut sebagai political history, sementara rumusan Pancasila 18 Agustus disebut sebagai konstitusional histori. Jika presiden memutuskan hari lahir Pancasila itu 1 Juni, maka keputusan itu mengandung penafikan bahkan pengabaian terhadap peran dari para pendiri bangsa, terutama dari Muhammadiyah yaitu Ki Bagoes Hadikoesoemo, (gsh).