Cerpen: Ibnu Wazir
SUARA MUHAMMADIYAH., Asyik juga mendengar percakapan seru di bus kota. Percakapan antarpenumpang. Terutama percakapan dua penumpang yang duduk di deret kursi depanku ini.
“Kabarnya bis-bis akan dibuat melaju di kota ini,” kata penumpang yang satu.
“Apa bisa? Apa mungkin bersaing dengan motor yang digelontorkan tiap jam dari pelabuhan dan pabrik-pabrik?” Sahut penumpang yang lain.
“Ya, tapi jalan ini dibuat untuk memperlancar perjalanan kan? Bukan sebagai tempat panen kemacetan seperti sekarang ini kan?”
“Betul. Tapi harap tahu, di balik setiap kemacetan ada kemudahan. Ada kelancaran. Ada ketawa-ketawa.”
“Maksudmu apa?”
“Dengar. Di balik setiap kemacetan di jalan-jalan raya ini ada kemudahan untuk mencari uang. Ada yang justru banjir uang. Benar, saya tidak bohong. Uang itu mengalir deras ke rekening-rekening setiap detik ketika kita semua memaki-maki asap dan jarak yang begitu sulit ditaklukkan sepanjang hari ini.”
“Saya tetap tidak paham.”
“Ya, karena kau buta politik.”
“Politik-politik lagi, aku muak mendengarnya.”
“Kau boleh muak dengan politik, tetapi mau tidak mau kita semua sekarang ini berada di dalam genggamannya.”
“Saya makin tidak paham.”
“Waduh gimana sih. Jadi rakyat bodoh kok tidak rampung-rampung kau ini.”
“Hei, jangan menghina ya. Saya bisa marah.”
“Seharusnya kau ketawa.”
“Aneh sekali bicaramu. Bicaramu memang selalu aneh. Saya sungguh makin tidak paham dengan semua ini.”
Mereka berhenti bicara sebentar. Hawa panas menyergap bis. Mungkin mereka tengah mencoba mengusir hawa panas. Penumpang yang satu, yang duduk dekat jendela mencoba menggeser kaca jendela agar lebih banyak angin bisa masuk.
“Sobat. Dengarkan nasihat terbaikku untuk zaman ini. Jangan sekali-sekali berusaha untuk memahami segala hal. Jangan sekali-sekali berupaya untuk memahami hal-hal yang memang tidak mungkin kau pahami.”
‘Lantas apa yang harus saya perbuat?”
“Nikmati saja.”
“Nikmati saja, enak benar kau ini.”
“Lakukan saja, kau akan bahagia dan melihat kalau hidup ini sempurna.”
“Gila kau ini. Mana mungkin saya menikmati kemacetan seperti ini. Lihat semua orang berwajah murung dan marah dengan segala keadaan yang diciptakan oleh kemacetan ini. Rasakan betapa panas dan busuk udara kota ini akibat asap menyumpal paru-paru kita. Mana mungkin segala keburukan hidup di kota seperti ini harus saya nikmati. Mana mungkin aku melihat hidup yang sempurna di kota ini. Hidup sempurna itu ada di surga, bukan di tempat ini. Aku benar-benar jengkel setiap hari mengalami hal-hal yang sama. Rutin dan celaka.”
“Sobat, turunkan sedikit suaramu. Lihat dan dengarkan suara para pengamen. Kau akan menemukan sebuah dunia baru muncul dalam kepalamu.”
“Saya sungguh tidak tahan.”
“Kau boleh tidak tahan, tapi kau tidak berdaya apa-apa untuk mengatasi kemacetan ini.”
“Saya akan meloncat keluar dari bis kota ini.”
“Silakan, dan kau akan dihajar oleh matahari. Tubuhmu akan mengering, kehausan dan tetap tidak ada yang peduli dengan nasib burukmu.”
‘Tetapi setidaknya aku punya kebebasan. Paling tidak aku memiliki kemungkinan lain.”
“Kebebasan untuk apa? Untuk makin sengsara? Dan kemungkinan lain macam apa yang dijanjikan oleh jalan raya yang ganas di luar sana? Kemungkinan untuk dilindas dan dibiarkan menjadi kerangka hidup? Berfikir dan bersikaplah yang wajar. Kau akan baik-baik saja.”
“Saya akan baik-baik saja? Nanti di kantor segala semangatku habis, sudah terkuras di dalam bis ini. Sampai di kantor saya akan linglung karena tidak tahu apa yang harus saya perbuat. Dan itu semua kau katakan saya akan baik-baik saja?”
“Lho, bukankah dengan terus bekerja seperti itu kau masih punya harapan untuk mendapatkan gaji di setiap awal bulan? Dengan gaji itu paling tidak kau dan keluargamu bisa makan dan bisa membayar ongkos naik bis seperti sekarang ini.”
“Tapi aku dan keluargaku makan sekadar makan. Naik bis sekadar naik bis. Tak ada harapan hidupku akan meningkat.”
“Masih ada harapan, yakinlah.”
“Coba katakan di mana pintu harapan akan dibuka untukku.”
“Dengar, saya akan membisikkan letak pintu harapan itu.”
“Sungguh? Di mana?”
“Kau harus memperbaiki penampilanmu dan buatlah isteri bosmu tertawa bahagia.”
“Maksudmu bagaimana?”
“Bosmu kan tengah berbaring di rumah sakit karena dihajar diabetes kelas berat. Coba selalu tengok dia di rumah sakit. Di sana beramahtamahlah dengan isterinya. Dan turuti semua kemauannya. Pasti kau akan segera naik pangkat.”
“Sungguh?” Lelaki itu belum percaya seratur persen.
“Ya, kapan saya bohong padamu. Kau ini sebenarnya paling tampan dan gagah di kantor kita. Itulah harapanmu.”
“Jadi saya ini mirip satria zaman dulu ya?”
Mulai mekar harapannya.
“Ya, satria sial karena harus naik bis kota ke kantor dan pulang kantor.”
Temannya tertawa. Senang dipuji sekaligus dimaki seperti itu.
“Kali ini kau mampu membuatku ketawa.”
Terdengar suara tertawa yang lain.
“Stop, kalau tertawa jangan lama-lama. Secukupnya saja. Asal kau mau mendengarkan usulku tadi kau pasti akan mendapat kesempatan yang luas untuk selalu ketawa.”
Penumpang yang tadi ketawa menyalami temannya.
“Terimakasih.”
Sopir bis kota tersenyum-senyum terus mendengar percakapan dua penumpang yang duduk di kursi paling depan itu. Ia terus tersenyum melihat dua lelaki itu bersalaman.
“Hei Pak Sopir, kenapa kau tersenyum?” tegur penumpang yang tadi tertawa.
“Karena saya merasa damai hari ini.”
“Pak Sopir tidak takut kalau di kota ini nanti akan hadir bis cepat yang bisa melahap semua penumpang bismu?”
Sopir tidak lagi tersenyum. Ia tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa tertawa Pak?”
“Temanmu ini betul. Kau tidak paham apa-apa mengenai kehidupan di jalan raya seperti ini.”
Hampir marah lelaki itu, tetapi ia tahan amarahnya. Ia justru ganti tersenyum.
“Lho, kenapa kau malah tersenyum ketika kuejek?”
“Saya mulai bisa menikmati semua ini Pak Sopir. Saya tidak akan marah-marah lagi melihat semua kebrengsekan ini.”
Temannya menyalami.
“Kau lulus.”
Pak Sopir juga ikut menyalami.
Lelaki yang mendapat dua ucapan selamat itu merasa hidupnya paling bahagia di dunia. Apalagi ketika ia membayangkan isteri bosnya yang bakal membukakan pintu harapan baginya di masa depan. Ia bersyukur karena punya teman jahil sekaligus kreatif yang sekarang duduk di sampingnya. Dalam hati ia berjanji, jika nasibnya akan membaik ia akan berbagi rejeki dengan sahabatnya itu.
Sopir tiba-tiba terbatuk-batuk. Lalu ketawa. Keras sekali.
”Hai Pak Sopir, jangan gila. Mengapa batukmu kau campur dengan ketawa? Bikin telingaku seperti terbakar dan mau meledak,” penumpang yang tengah bahagia itu tersinggung.
”Kau tersinggung ya dengan ulahku?” tanya sopir.
”Ya. Dan kau mengapa berulah seperti itu?”
Sopir menghentikan bisnya di dekat lapangan sebuah sekolah. Penumpang heran. Dua penumpang itu makin heran ketika sopir mendekati penumpang yang bahagia karena membayangkan bisa menggoda isteri bosnya.
Secepat kilat sopir bis kota itu mencengkeram kerah baju penumpang itu.
”Lihat, itu ada lapangan. Mari kita berkelahi disana habis-habisan dan seluruh penumpang menjadi saksi.”
”Mengapa kita harus berkelahi? Bukankah semua baik-baik saja.”
”Baik-baik saja katamu? Tahukah kau, siapa isteri bosmu itu? Dia adikku. Tahu! Dengarkan ini rekaman pembicaraanmu yang kukirim ke dia. Dan dengarkan rekaman dari jabawannya. Dengarkan!”
Dari handpone Pak Supir keluar teriakan, ”Hajar dia saja, Kak! Hajar dia!”.
Penumpang itu terpaku. Gemetar.
Tubuhnya terasa lumpuh.•
Yogyakarta, 1 Maret 2016