Mendamaikan Hati Ibu

Mendamaikan Hati Ibu

Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth, saya (21 tahun) anak bungsu dari 3 bersaudara. Dahulu keluarga saya penuh dengan kebahagiaan. Ayah seorang yang hangat dan bertanggung jawab, Ibu seorang yang penurut dan penyayang. Selama 30 tahun menikah, dan dikaruniai 3 putri rasanya tidak pernah saya melihat ayah dan ibu bertengkar. Meski nenek dari ayah suka bilang ke ayah harus punya anak laki-laki.
Singkat cerita, rahasia ayah terbongkar. Ternyata ayah 12 tahun yang lalu, menikahi janda beranak satu dan dikaruniai anak laki-laki (10 tahun). Kami terpukul dan kecewa, sempat marah, tapi tidak pada anak laki-laki ayah karena ia tidak bersalah. Sikap ayahpun tak pernah berubah. Kami berusaha ikhlas, tapi tidak dengan ibu. Meski ibu bilang ikhlas, tapi sikapnya bertentangan. Sering menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa memberikan keturunan laki-laki dan menuntut menceraikannya atau istri mudanya, tapi ayah menolak.
Setiap akhir pekan, anak laki-laki ayah diajak menginap. Kalau ada anak itu sikap ibu terlihat kurang senang. Saya mencoba bicara sama ibu agar bisa menerima kenyataan, walau saya tahu ini berat. Ibu menjadi pemarah, sensitif dan menuduh saya membela ayah. Jujur, saya juga benci poligami, saya cuma ingin keluarga damai seperti dulu. Bagaimana saya harus bersikap dan bisa menguatkan hati ibu? Mohon nasihatnya. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum wr wb.
N, di Bandung

Wa’alaikumsalam wr wb.
N yang baik, setahu saya pengaruh utama yang menjadikan janin yang dikandung menjadi anak laki-laki atau gennya, datangnya dari pihak laki-laki. Maka, ceritakan ini pada ibunda agar berhenti menyalahkan dirinya.
Saya termasuk perempuan yang percaya bahwa berdamai dengan status istri yang dimadu atau yang datang belakangan, adalah hal yang sangat sulit diperlihatkan. Dari pengamatan saya, bila toh bertahan biasanya ada pertimbangan, ketidakberdayaan ekonomi atau anak. Sakit yang adapun ditahan didalam hati. Dalam banyak kasus, akibatnya ayah dan ibu tidak bisa sungguh-sungguh harmonis. Anak-anak disuguhi percakapan negatif. Kalau istri setipe dengan ibunda, agresivitas yang diperlihatkan tersalur melalui sikap dingin dan irit bicara. Kehidupan seksual juga terganggu. Akibatnya, anak tumbuh dalam perasaan tidak aman, bingung sebenarnya kehadiranku ini membahagiakan atau tidak ya. Jadilah ia sosok anak yang sensitif, tertutup atau minder. Bisa juga ia takut berkomitmen untuk menikah.
Sungguh mulia sekali hati N, bila tetap bisa menyayangi ayah. Tetapi, ibunda hatinya sedang terluka. 12 tahun bukan waktu yang singkat, maka bisa dimengerti bila ibu merasa dibohongi. Apapun alasannya ayah telah berdusta pada ibunda dan melanggar komitmen perkawinan untuk saling setia. Oleh karena itu, baik sekali bila N berempati pada ibunda, yaitu memahami perasaan ibunda dan menghormati mengapa ia jadi demikian. Bila N bisa menempatkan diri sebagai ibunda, tentu N sepakat bahwa membawa anak laki-laki atau adik tiri, sama saja mengusik rasa pedih di hati ibunda. Bayangkan, betapa tidak nyamannya bila setiap melihat wajah si kecil terbayang penghianatan suaminya.
Sebagai anak memang N hanya bisa memberi masukan dan pemikiran. Kepada ayah N boleh mengajak ayah untuk duduk bersama dan menyampaikan permohonan agar anak ini tidak usah dibawa ke rumah. Meski konsekuensinya perlu waktu di luar rumah lebih banyak. Katakan juga, tidak adil untuk ibunda bila ayah mengatakan bahwa beliau tak mau menceraikan kedua istrinya. Ini kan, artinya ia mencoba mempertahankan kondisi yang hanya menyenangkan dirinya.
Kepada ibunda, jangan bosan untuk mengajak ibunda berpikir jauh ke depan, akan tahankah ia menjalani hidup seperti ini? kalau perlu tantang ibunda untuk membuat pilihan dalam hidupnya, dan konsekuen memikul tanggung jawab dari keputusan yang ia ambil. Artinya, bila mau cerai, lakukan! Tapi, kemudian harus bisa memberdayakan diri secara ekonomi. Atau tetap jadi istri ayah? Kalau ini pilihannya, ya, biasakan diri untuk hidup dengan anak tirinya. Karena, inilah syarat yang diajukan suaminya. Pilihannya tak ada yang enak. Tapi, percayalah lebih tidak enak lagi kalau membiarkan masalah ini berlarut-larut tanpa ada keberanian membuat keputusan. Nah, tetaplah dampingi ibunda dan ajak ayah untuk meningkatkan empati pada istrinya. Semoga N dan ibunda diberi kesabaran dan ayah bisa menjadi lebih peduli pada rasa nyaman ibunda. Amiin.•

***) Emmy Wahyuni, Spsi (seorang pa­kar psikologi)

Exit mobile version