Oleh; Prof Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA
Para tukang sihir menawarkan kepada Musa, siapa yang akan memulai terlebih dahulu. Musa memilih para tukang sihir yang akan memulainya. Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat ke tengah area pertandingan. Tiba-tiba tali-temali dan tongkat-tongkat tersebut dalam pandangan Musa akibat pengaruh sihir-berubah menjadi ular-ular yang menjalar kian kemari, maka Musa mulai takut. Allah SwT berfirman:
“(Setelah mereka berkumpul) mereka berkata: “Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?” Berkata Musa: “Silahkan kamu sekalian melemparkan”. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” (Qs Thaha [20]: 65-67)
Sihir tidak bisa merubah kenyataan. Tali temali pada hakikatnya tetap menjadi tali temali, tidak pernah berubah jadi ular. Ilmu sihir bisa membuat dalam pandangan orang yang melihat tali temali itu berubah jadi ular. Tukang sihir bisa saja menyihir bongkahan batu jadi emas, tetapi sebenarnya bongkahan batu itu tidak pernah berobah jadi emas, hanya orang-orang yang kena pengaruh sihir melihatnya seperti emas. Kalau sihir bisa merobah kenyataan, tentu para tukang sihir di dunia akan menjadi kaya raya sehingga tidak perlu bersusah payah lagi mencari nafkah.
Karena Musa, akibat pengaruh sihir, menjadi takut melihat ular-ular yang begitu banyak merayap, maka Allah SwT mengingatkan beliau agar tidak takut, karena yang diberikan kepada Musa, yaitu mukjizat tongkat bisa berubah menjadi ular, akan mengalahkan semuanya itu. Allah SwT berfirman:
“Kami berkata: “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. “Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang”. (Qs Thaha [20]: 68-69)
Tongkat yang dilemparkan Musa benar-benar berubah jadi ular besar dan menelan semua ular-ular palsu tukang sihir tersebut. Allah menegaskan tukang sihir tidak akan pernah bisa mengalahkan mukjizat yang diberikan Allah SwT kepada Musa, darimana dan bagaimana pun caranya.
Para tukang sihir yang berkumpul di arena tahu persis bahwa apa yang dilakukan Musa sama sekali bukanlah sihir. Sebagai orang yang berpengalaman dalam dunia sihir, mereka bisa membedakan mana yang sihir dan mana yang bukan. Mereka yakin bahwa Musa berada di pihak yang benar, oleh sebab itu serentak mereka sujud dan menyatakan beriman dengan Tuhannya Musa. Allah SwT berfirman:
“Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa”. (Qs Thaha [20]: 70)
Tentu saja Fir’aun marah besar. Kekalahan para tukang sihir itu saja sudah menamparnya, apalagi sampai menyatakan beriman dengan Tuhannya Musa. Fir’aun mengancam akan membunuh mereka jika tetap beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun. Allah SwT berfirman:
“Berkata Fir’aun: “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya”. (Qs Thaha [20]: 71)
Jika Fir’aun sportif dalam pertandingan, dia tidak boleh marah apalagi naik pitam jika kalah. Harusnya dia mengakui kekalahan itu. Nyatanya memang, disaksikan masyarakat banyak, para tukang sihir yang didatangkan dari berbagai penjuru negeri, kalah menghadapi Musa. Kekalahan itulah, yang menyadarkan para tukang sihir bahwa yang mereka hadapi bukanlah ahli sihir, tapi utusan Allah SwT. Oleh sebab itu mereka segera menyatakan beriman. Fir’aun tetap saja Fir’aun, seorang tirani yang zalim, yang menganggap dirinya tuhan. Jangankan mengakui kekalahan, malah mengancam akan membunuh para tukang sihir yang sudah menyatakan beriman tersebut.
Untuk menghindari tuduhan bahwa dia tidak dapat menerima kekalahan, maka Fir’aun mencari alasan lain kenapa dia mengancam akan membunuh para tukang sihir itu. Bukan karena beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun, tapi karena tidak minta izin terlebih dahulu kepadanya sebelum menyatakan beriman. Jelas alasan Fir’aun mengada-ada, hanya sekadar mencari-cari kesalahan para tukang sihir itu. Tidak ada aturan seseorang harus minta izin dulu kepada Fir’aun sebelum beriman kepada Allah SwT. Tapi begitulah biasanya, seorang raja yang zalim tidak memerlukan alasan yang benar untuk berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Fir’aun tetap mengganggap Musa sebagai ahli sihir, bukan utusan Tuhan. Bahkan menuduh Musa adalah guru dari pada tukang sihir tersebut. Malah secara tidak langsung Fir’aun menuduh para tukang sihir tersebut bersekongkol dengan Musa untuk mengalahkannya dan mengusir bangsa Mesir dari Mesir.
Atau bisa juga, dalam pandangan Fir’aun, para tukang sihir itu beriman karena takut dengan Musa yang sudah terbukti bisa mengalahkan mereka. Oleh sebab itu dia mengatakan di ujung ancamannya: “ dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya”. Artinya, dalam pikiran Fir’aun, siapa yang lebih ditakuti oleh para tukang sihir itu, dirinya atau Musa.
Ternyata, di luar dugaan Fir’aun, para tukang sihir itu sama sekali tidak takut dengan ancaman Fir’aun. Mereka tetap mempertahankan keimanan yang baru saja mereka terima, apa pun yang akan terjadi. Allah SwT berfirman:
“Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia Ini saja.” (Qs Thaha [20]: 72)
Yang mereka saksikan dalam pertandingan di arena itu baru satu mukjizat yaitu tongkat Musa menjadi ular dan menelan tali temali dan tongkat-tongkat yang telah disihir menjadi ular-ular yang menjalar kian kemari, tetapi kenapa dalam ayat disebutkan dalam bentuk jamak yaitu mu’jizat, bukan mu’jizah.
Menurut Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbah 8:334), diungkapkan dalam bentuk jamak karena dalam penilaian mereka, pada apa yang ditampilkan Musa terdapat beberapa hal yang mengagumkan, misalnya beralihnya tongkat menjadi ular yang besar, lalu ular itu memakan tali temali dan tongkat yang sudah disihir jadi ular, kemudian ular itu beralih kembali menjadi tongkat. Dalam pandangan para tukang sihir itu, ini bukanlah satu bukti, tetapi sudah bukti-bukti.
Mukjizat yang baru saja mereka saksikan secara nyata dalam pertandingan itu telah membuat mereka yakin bahwa Musa adalah utusan Tuhan. Keyakinan itu tidak bisa lagi dikalahkan oleh ancaman Fir’aun. Sekalipun diancam untuk dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, lalu disalib di pohon kurma. Mereka tidak takut. Silahkan saja, apapun yang akan diputuskan Fir’aun, silahkan, toh keputusannya hanya berlaku untuk kehidupan di dunia ini saja.
Subhanallah, walaupun baru saja mendapat hidayah, tapi keimanan mereka sudah kokoh, dapat menghadapi ujian, betapapun beratnya. Mereka tidak mau lagi kembali ke dalam kehidupan lama yang bergelimang dosa sebagai tukang sihir. Allah SwT berfirman:
“Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya),” (Qs Thaha [20]: 73).
Demikianlah, Musa telah mengalahkan tukang sihir Fir’aun.•
(bersambung)