Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (4)

Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (4)

SUARA MUHAMMADIYAH, Ayat 184 lebih lanjut memberikan beberapa ketentuan hukum syariah mengenai dispensasi (rukhsah) sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban berpuasa Ramadhan. Oleh karena itu ditegaskan, Maka barang siapa di antara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak berpuasa itu untuk diganti) pada hari-hari yang lain. Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya (sehingga tidak berpuasa) diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Dalam potongan ayat ini dijelaskan tiga macam orang yang diberi rukhsah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, yaitu (1) orang sakit, (2) orang dalam perjalanan, dan (3) orang mampu menjalankannya akan tetapi dengan amat berat.
Orang sakit dan orang dalam perjalanan wajib menghitung hari puasa yang ditinggalkannya untuk diganti pada hari-hari lain di luar Ramadhan. Orang yang berat menjalankannya karena sudah tua misalnya atau sakit menahun sehingga karena itu ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan menggantinya dengan membayar fidyah berupa memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa Ramadhan.
Kata “sakit” dalam ayat di atas tidak disertai dengan keterangan kualifikasi yang menjelaskan macam sakit yang membolehkan iftar (tidak berpuasa). Kenyataan ini, menurut Abu Hayyan (w 754/1353) dan Muhammad Rasyid Rida (w. 1354/1935), menunjukkan bahwa rukhsah (dispensasi) yang diberikan untuk tidak berpuasa itu tidak dibatasi pada sakit berat yang menyukarkan melakukan puasa. (Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 183; dan Rida, Tafsir al-Manar, II: 121). Ibn al-‘Arabi (w. 543/1148) dan al-Qurtubi (w. 671/1273) menyebutkan tiga kemungkinan sakit, yaitu (1) sakit yang sama sekali tidak memungkinkan menjalankan puasa, maka dalam kondisi ini orang wajib iftar (tidak puasa), (2) sakit yang masih memungkinkan melakukan puasa namun dengan amat berat dan susah payah, maka dalam kondisi ini lebih afdal tidak berpuasa, (3) sakit yang tidak menimbulkan kesukaran untuk melaksanakan puasa, maka dalam keadaan ini sah iftar (tidak puasa), tetapi berpuasa lebih afdal. Yang ketiga ini adalah pendapat Ibn Sirin (w 110/729), ‘Ata’ (w 114/732) dan al-Bukhari (w 256/870). (Ibn al-‘Arabi, Ahkam Al-Qur’an, diedit oleh Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Ata (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424/2003), I: 110; bandingkan dengan al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 185). Menurut jumhur ulama, sakit yang membolehkan iftar pada bulan Ramadhan adalah sakit yang memberatkan atau dapat menambah penyakit. (Rida, Tafsir al-Manar, II: 121; dan al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 185). Pendapat jumhur ini termasuk kategori kedua. Al-Qurtubi menegaskan bahwa pendapat ketiga lebih moderat. Ia mengatakan, “Pendapat Ibn Sirin (pendapat ketiga) merupakan pendapat paling moderat mengenai masalah ini.”(Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 185). Rasyid Rida juga cenderung kepada pendapat ini karena ia menyanggah argumen jumhur. Namun menurut beliau dalam kondisi sakit pada kemungkinan ketiga ini lebih afdal untuk berpuasa. (Rida, Tafsir al-Manar, II: 121 dan 127).
Jadi ada tiga kondisi sakit yang menjadi alasan untuk iftar. Pertama, sakit parah yang tidak memungkinkan melakukan puasa atau sakit yang apabila tetap dilaksanakan puasa akan menyebabkan parahnya penyakit atau memperlambat kesembuhan. Dalam kondisi ini wajib iftar (tidak puasa). Kedua, sakit yang masih memungkinkan melaksanakan puasa, namun dengan sangat berat, maka dalam kondisi ini lebih afdal tidak berpuasa, namun apabila tetap dilakukan puasa, maka puasanya sah dan tidak perlu mengganti pada hari yang lain. Ketiga, sakit yang masih memungkinkan melaksanakan puasa secara tidak memberatkan, artinya sakit yang tidak terlalu berat. Dalam kondisi ini boleh iftar, namun lebih baik menjalankan puasa karena besarnya hikmah berpuasa di bulan Ramadhan yang tidak dapat ditemukan dalam berpuasa di bulan lain sebab berpuasa di bulan Ramadhan dan qiyam di malam harinya akan menghapus dosa-dosa yang telah lalu.
Keadaan dalam perjalanan (safar) analog dengan keadaan orang sakit. Safar (perjalanan), sebagaimana sakit, menjadi salah satu sebab (ilat) diberikannya rukhsah (dispensasi) untuk tidak berpuasa dengan ketentuan diganti pada hari lain di luar bulan Ramadhan. Seperti halnya sakit, perjalanan pun juga tidak diberi keterangan kualifikasi dalam ayat ini tentang macam perjalanan bagaimana yang membolehkan iftar. Oleh karena itu kata “perjalanan” tersebut mencakup berbagai macam perjalanan, baik perjalanan panjang maupun pendek, perjalanan untuk ibadah seperti naik haji dan umrah, maupun perjalanan non ibadah seperti perjalanan bisnis, perjalanan tugas, atau pun perjalanan wisata. Apabila kita memperhatikan Hadits-Hadits Nabi saw terkait dengan rukhsah untuk tidak berpuasa karena safar (perjalanan) terlihat bahwa yang dipertimbangkan adalah sejauhmana perjalanan itu memberatkan atau tidak memberatkan, sehingga (1) ada perjalanan yang mengharuskan iftar, (2) ada perjalanan yang membolehkan iftar atau sebaliknya boleh berpuasa, namun iftar lebih utama, dan (3) ada perjalanan yang membolehkan iftar atau puasa, tetapi puasa lebih afdal.
Pertama, perjalanan yang mengharuskan iftar (tidak berpuasa) adalah perjalanan yang memang tidak memungkinkan untuk dilakukan puasa di mana apabila orang tersebut melakukannya akan timbul mudarat pada dirinya atau akan membuatnya tidak dapat melakukan kewajiban lain yang harus dilakukannya. Dalam kondisi ini orang tersebut wajib iftar (tidak puasa). Ini dapat dilihat dalam Hadits Abu Sa‘id al-Khudri yang menceritakan kisahnya dalam sebuah Hadits panjang,


… … … Kami pernah safar (berpergian) bersama Rasulullah saw ke Mekah dalam keadaan puasa. AbuSa‘id melanjutkan: Kemudian kami berhenti di suatu tempat, lalu Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kamu telah mendekati musuhmu, maka iftar (tidak puasa) akan lebih menguatkanmu.” Hal itu adalah rukhsah, sehingga di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Kemudian pada pagi berikutnya kami berhenti di tempat lainnya, lalu beliau bersabda, “Kamu sudah lebih dekat kepada musuhmu, dan iftar (tidak puasa) akan lebih menguatkanmu. Oleh sebab itu berbukalah (iftar).” Hal itu adalah azimah, sehingga kami semua iftar (tidak puasa)… … … [HR Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad]. (Muslim, sahih Muslim, I: 500, hadits no. 102 [1120], “Kitab as-Siyam, Bab Ajr al-Muftir fi Iża Tawalla al-‘Amal”;  Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, diedit oleh Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khalidi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007/1428), h. 385, hadits no. 2406, “Kitab as-Siyam, Bab as-Saum fī as-Safar; Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, XVII: 408-409, hadits no. 11307).
Dalam Hadits ini, yang mengisahkan perjalanan menuju Mekah (barang kali saat penaklukan Mekah), terlihat bahwa pada perhentian pertama yang belum terlalu dekat dengan musuh, Rasulullah memberi rukhsah untuk berbuka (iftar) sehingga ada yang puasa dan ada yang berbuka. Tetapi pada perhentian yang sudah berada dekat dengan musuh pada hari lain, Nabi saw memerintahkan untuk berbuka (tidak puasa) agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan ini bukan rukhsah tetapi adalah azimah (ketentuan pokok) yang harus dijalani. Oleh karena itu semua Sahabat tidak berpuasa.
Dalam Hadits lain, Rasulullah saw dalam suatu perjalanan melihat beberapa sahabatnya berkerumun karena ada seorang sahabat yang semaput dan kemudian dihindarkan dari panas matahari. Rasulullah saw bertanya apa yang terjadi. Setelah diberi tahu salah seorang ternyata sahabatnya semaput karena berpuasa, kemudian beliau menyatakan bahwa berpuasa dalam perjalanan itu bukan suatu kebaikan. Hadits dimaksud adalah sebagai berikut.• Bersambung

Exit mobile version