Surat Al-Baqarah Ayat 183-187
Dari Jabir Ibn ‘Abdullah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah dalam suatu perjalanan melihat suatu kerumunan dan seorang lelaki dikerumuni oleh orang banyak dan diteduhkan (dilindungi dari sengatan matahari). Lalu beliau bertanya, “Ada apa?” Mereka menjawab, “Ada orang berpuasa.” Lalu beliau bersabda, “Bukan suatu kebaikan berpuasa dalam perjalanan” [HR enam ahli Hadits, kecuali at-Tirmiżi, namun dia menyebutkannya]. (Al-Bukhari, sahih al-Bukhari, h. 352, hadits no. 1946, “Kitab as-Saum, Bab Qaul an-Nabvi sw …”; Muslim, sahih Muslim, I: 498, hadits no. 92 [1115], “Kitab as-Siyam, Bab Jawaz al-Fitr wa as-Siyam …”; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, diedit oleh Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khalidi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1428/2007), h. 385, Hadits no. 2407, “Kitab as-Saum, Bab as-Saum fī as-Safar; an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, diedit oleh Ahmad Syamsuddin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425/2006), h. 375-376, Hadits no. 2259, lihat juga 2252-2254 dan 2258 “Kitab as-Siyam, Bab Ma Yukrahu min as-Siyam fī as-Safar”; at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, diedit oleh Khalid ‘Abd al-Gani Mahfuz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424/2003), h. 199, Hadits no. 710 “Kitab as-Saum, Bab Ma Ja’a fī Karahiyyat as-Saum fī as-Safar”; Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, diedit oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi (Indonesia: Maktabat Edahlan, t.t.), I: 532, Hadits no. 1664-1665, “Kitab as-Siyam, Bab Ma Ja’a fī al-Iftar fī as-Safar”; Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, XXII: 317, Hadits no. 14426, XXIII: 424, Hadits no. 15282).
Hadits lain riwayat Muslim dan an-Nasa’i menerangkan bahwa dalam suatu perjalanan ke Makkah Rasulullah saw bersama rombongannya berpuasa dan dalam perjalanan itu beliau dilapori bahwa rombongan itu berat menjalankan puasa dan mereka menanti keputusan beliau. Lalu beliau minta satu cawan air dan minum di depan orang banyak. Beberapa waktu sesudah itu beliau dilapori bahwa ada beberapa orang yang masih tetap puasa. Lalu beliau bersabda, “Mereka itu pembangkang. Mereka itu pembangkang.” (Muslim, sahih Muslim, I: 497-498, Hadits no. 90 [1114], “Kitab as-Siyam, Bab Jawaz al-Fitr wa as-Siyam …”; dan an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, h. 376, Hadits no. 22680, “Kitab as-siyam, Bāb Żikr Ism ar-Rajul”).
Dari Hadits-Hadits yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa, pertama, perjalanan yang menimbulkan mudarat apabila orang berpuasa atau menyebabkannya terhalang melakukan kewajiban yang harus ditunaikannya, maka dalam perjalanan seperti itu dilarang berpuasa dan sebaliknya wajib iftar.
Kedua, perjalanan yang membolehkan iftar atau sebaliknya membolehkan juga berpuasa, tetapi iftar lebih diutamakan adalah perjalanan yang memberatkan, namun orang masih tetap mampu melakukannya meskipun dengan susah payah. Hal ini didasarkan kepada Hadits Anas berikut,
Dari Anas ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw pernah melakukan suatu perjalanan (bersama sahabat-sahabatnya). Sebagian berpuasa dan sebagian lagi tidak berpuasa. Lalu mereka yang tidak berpuasa bergiat dan melakukan beberapa pekerjaan, sementara yang berpuasa pada lemah tidak dapat mengerjakan pekerjaan. Anas melanjutkan: Lalu beliau (Rasulullah saw) bersabda mengenai hal itu, “Pada hari ini orang yang tidak berpuasa mengambil pahala” [HR al-Bukhari, Muslim (ini lafalnya), dan an-Nasa’i]. (Al-Bukhari, sahih al-Bukhari, h. 531, Hadits no. 2890, “Kitab al-Jihad wa as-Siyar, Bab fadl al-Khidmah fī al-Gazw”; Muslim, sahih Muslim, I: 499, Hadits no. 1010 [1119], “Kitab as-Siyam, Bab Ajr al-Muftir fī Iza Tawalla al-‘Amal”; dan an-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, h. 378, Hadits no. 2280, “Kitab as-Siyam, Bab Fadl al-Iftar fī as-Safar ‘ala as-Siyam”).
Hadits ini memuji orang yang melakukan beberapa pekerjaan penting untuk kepentingan perjalanan, meskipun mereka tidak berpuasa. Ibn ‘Umar (w 73/693) diriwayatkan mengatakan, “Berbuka dalam perjalanan lebih afdal menurutku daripada berpuasa.” (At-Tabari, Tahzib al-Asar, diedit oleh Mahmd Muhammad Syakir (Kairo: Maktabat al-Khanji, tt), V: 242). Ia juga diriwayatkan mengatakan kepada muridnya Mujahid (w 102/721) bahwa apabila sedang dalam perjalanan, seseorang jangan berpuasa karena nanti pahalanya akan diambil oleh mereka yang tidak berpuasa. Lalu Mujahid bertanya keheranan mengapa bisa terjadi demikian. Lalu Ibn ‘Umar menjelaskan bahwa orang yang berpuasa itu menjadi manja dan segala keperluannya dalam perjalanan diurus oleh yang tidak berpuasa karena ia lemah dan tidak mampu mengerjakan keperluannya yang karenanya diurus oleh orang lain, sehingga pahalanya diambil oleh orang yang tidak berpuasa itu. (Ibid., : 236). Ini semangatnya sama dengan Hadits Anas di atas.
Ketiga, perjalanan yang membolehkan baik iftar atau pun tetap berpuasa, tetapi berpuasa lebih utama ialah perjalanan yang tidak memberatkan meskipun jauh seperti perjalanan modern dengan naik pesawat yang tidak menimbulkan banyak kesukaran. Karena ini adalah sebuah perjalanan, maka perjalanan itu menjadi ilat (sebab) dibolehkan iftar (tidak puasa), namun dalam kondisi ini berpuasa lebih afdal. Untuk kondisi inilah dimaknai ujung ayat yang menegaskan bahwa berpuasa itu lebih baik bagimu.
Perlu dicatat bahwa di kalangan fukaha ada yang berpendapat bahwa berpuasa dalam perjalanan tidak dapat memenuhi kewajiban puasa Ramadhan, sehingga orang yang tetap berpuasa Ramadhan dalam perjalanan wajib mengqada puasa Ramadhan itu setelah kembali ke tempatnya. Artinya, menurut pendapat ini, puasa Ramadhan itu adalah puasa orang yang mukim. Apabila ia berpergian, maka kewajiban berpuasa itu adalah setelah kembali ke tempatnya, dan tidak sah ia melaksanakan puasa Ramadhan di perjalanan. (Rida, Tafsir al-Manar, II: 124).
Alasan pendapat ini yang menyatakan bahwa musafir wajib menunda puasanya hingga ia kembali dan puasa Ramadhan dalam perjalanan tidak menggugurkan kewajibannya adalah sebagai berikut:
Zahir pernyataan ayat, maka barang siapa di antara kamu sakit atau berada dalam perjalanan, hendaklah ia menghitungnya (guna dipuasai) pada hari-hari yang lain. Artinya siapa pun sakit atau dalam perjalanan hendaklah ia menghitung hari-hari ia sakit atau dalam perjalanan selama Ramadhan itu untuk dilakukan puasanya pada hari yang lain, sehingga berpuasa pada hari lain itu bukan rukhsah, melainkan ketentuan pokok yang asli bagi orang yang dalam bulan Ramadhan itu sakit atau dalam perjalanan. Jadi dalam ayat ini tidak ada idmar (pelesapan) frasa jika mereka tidak berpuasa.
Hadits Jabir di atas yang menyatakan bahwa berpuasa dalam perjalanan itu bukan suatu kebaikan dan beberapa Hadits lain senada yang sebagiannya telah dikutip di muka.
Menurut Tafsir at-Tanwir, pendapat ini terlalu zahiri, hanya menekankan logika formal teks sehingga hampa dari makna dan substansi spiritualitas, kurang mempertimbangkan struktur supra yang tercermin dalam maqasid asy-syari‘ah, dan karena itu terlalu menekankan metode pemahaman yang murni dogmatis. Paham ini mirip dengan Begriffsjurisprudenz, salah satu aliran dalam filsafat hukum Jerman abad ke-19, yang menekankan kebenaran logis teks dalam pemahaman hukum, meskipun janggal menurut realitas pengalaman empiris.• Bersambung