SUARA MUHAMMADIYAH, Seratus delapan tahun yang lalu para putra terbaik bangsa memelopori kebangkitan nasional. Kebangkitan untuk menjadi negeri merdeka bukan pekerjaan satu orang dua orang atau golongan, tetapi melibatkan banyak tokoh dan pergerakan. Harian Sindo tanggal 18 Mei 2016 menyajikan lembaran khusus satu halaman penuh warna merah putih dengan judul “108 Tahun Kebangkitan Nasional” menampilkan narasi pergerakan dan para tokohnya.
Menarik sekali, 13 Tokoh Kebangkitan Nasional dengan foto eksklusif ditampilkan yaitu: Soetomo dan Dr Wahidin Soedirohoesodo (Boedi Oetomo 1908), Mohammad Hatta (Perhimpunan Indonesia 1908), Haji Oemar Said Cokroaminoto (Sarekat Islam 1911), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah 1912), EF.E. Douwes Dekker (Indische Partij 1912), Ki Hadjar Dewantoro (1913), Ir Soekarno (Partai Nasional Indonesia 1927), Mr Sartono (Partai Indonesia 1931), Sutan Sjahrir (Pendidikan Nasional Indonesia 1931), Dr Soetomo (Partai Indonesia Raya), Muhammad Yamin (Gerakan Rakyat Indonesia 1937), dan Abikusno Tjokrosoeyoso (Gabungan Politik Indonesia 1937).
Ahmad Dahlan satu-satunya sosok santri yang menjadi tokoh kebangkitan nasional yang pergerakannya memang mengindonesia kala itu. Dia tidak hanya tokoh Islam. Dia bergaul dan terlibat dalam Sarekat Islam dan Boedi Oetomo, serta berkomunikasi dengan tokoh lintas seperti Alimin, Soekarno muda, dan lainnya. Dia benar-benar menasional, meskipun akar budayanya waktu itu berasal dari lingkungan santri. Dalam kegiatan kemasyarakatan tidak segan melibatkan kaum profesional dari kalangan non-Islam seperti dokter. Dia pun berkomunikasi dan berdialog dengan para pendeta dengan penuh percaya diri.
Pemikiran dan karyanya pun inklusif, tidak eksklusif. Dia gagas pendidikan modern dan mendirikan sekolah modern, bukan pesantren. Dia gagas dan bangun poliklinik, rumah miskin, rumah yatim, kepanduan hizbul wathan, kesenian drum band, dan rupa-rupa dakwah kemasyarakatan di ruang publik. Dia lahirkan Suara Muhammadiyah sebagai media cetak untuk alat berpublikasi. Dia bahkan menggagas dan melahirkan gerakan perempuan Islam pertama ke ranah publik, yakni ‘Aisyiyah tahun 1917, yang sangat bersejarah dan di kemudian hari sebagai pelopor Konges Wanita I tahun 1928.
Sungguh tidak ada tokoh yang benar-benar santri dan berasal dari lingkungan pendidikan Islam tradisional yang melintasi seperti Ahmad Dahlan kala itu. Karenanya di kemudian hari dia dan Muhammadiyah yang dilahirkannya dijuluki sebagai pembawa panji gerakan pembaruan atau tajdid. Para ahli menyebutnya sebagai pelopor modernisme Islam, yang merintis dan mengaktualkan gagasan-gagasan kemodernan. Buah pemikirannya memang tidak banyak, tetapi bukan itu ukuran sang pembaru. Gagasannya pokok-pokok saja, tetapi melahirkan perubahan ke arah kemajuan yang bersifat monumental.
Kekuatan pembaruan Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah bahwa gagasan Islam yang maju itu diaktualkan dalam pranata-pranata amaliah modern yang membawa perubahan ke arah keunggulan. Itulah Islam yang membumi, sekaligus dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu, sehingga bersifat inkulif atau rahmatan lil-’alamin. Makna rahmatan lil-’alamin itu benar-benar untuk kemajuan orang banyak atau masyarakat luas, bukan untuk diri sendiri dan berkutat pada mazhab atau kepentingan sendiri.
Kiai Dahlan dan Muhammadiyah tidak beretorika, apalagi politisasi simbol dan kepentingan sempit diri dalam ananiyah hizbiyah. Tidak membesar-besarkan jasa sendiri, apalagi dengan selalu ingin diakui negara. Wataknya berpikir dan bekerja untuk kemajuan umat, bangsa, dan hajat hidup manusia. Semboyan yang menonjol di kemudian hari ialah “sedikit bicara, banyak bekerja”, “ilmu amaliah dan amal ilmiah”, serta “siapa menanam, mengetam”. Bukan gerakan bermercusuar, bermain simbol, beretorika, dan menjual kata-kata tetapi berbuat nyata yang membawa keunggulan umat dan bangsa. Inilah etos sosok dan pergerakan yang berkemajuan!