Oleh; Muhbib Abdul Wahab
Pada suatu hari, Ma’iz bin Malik ra digoda setan untuk bercumbu rayu dengan seorang budak perempuan sahabat Anshar. Dia menyepi bersama budak itu di suatu tempat yang tak diketahui warga Madinah. Setan “beroperasi” dengan lihai menggoda dua insan yang “dimabuk cinta”. Percintaan illegal itu benar-benar dibuat indah oleh setan, sehingga keduanya berzina.
Setelah tersadar, Ma’iz menangis, dan mencaci maki dirinya sendiri. Dia merasa bersalah dan takut diazab Allah SwT di akhirat kelak. Hidupnya tidak tenang, setiap hari ia selalu merasa salah dan berdosa, sehingga dosa itu seakan membakar hatinya. Ma’iz kemudian menghadap Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, orang terjauh darimu (Ma’iz) telah berzina; sucikanlah diriku!” Rasul memalingkan muka darinya. Lalu dia kembali menatap wajah Rasulullah dari sisi lain dan berkata: “Ya Rasulullah, aku telah berzina. Sucikanlah diriku…!” Rasul menjawab: “Celakalah engkau… Pulanglah, lalu beristighfar dan bertaubatlah kepada Allah.”
Ma’iz pun pulang. Namun belum jauh dari majelis Rasulullah, dia tidak bisa menahan diri dari kegelisahan hatinya, lalu kembali menemui Rasulullah dan berseru: “Ya Rasulullah, aku telah berzina. Sucikanlah diriku…!” Rasululllah lalu bersuara keras: “Celakalah engkau, tahukah engkau apa itu zina?” Ia lalu diminta pergi meninggalkan majelis Rasulullah.
Ma’iz tetap bersikeras menemui Rasul dengan tujuan yang sama, namun Rasul selalu menolak, bahkan memintanya meninggalkan majelisnya sambil bertanya: “Tahukah kamu, apa itu zina?” Setelah sekian kali menemui Rasul dan mengetahui niat baiknya, akhirnya beliau meminta kesaksian warga masyarakat di mana Ma’iz tinggal. “Apakah dia (Ma’iz) itu gila?” “Tidak, ya Rasul” jawab mereka. “Apa dia termasuk peminum miras?” “Tidak ada tanda-tanda dan tidak tercium bau miras padanya, ya Rasul”, jelas mereka.
Rasul kembali bertanya kepada Ma’iz: “Tahukah kamu apa itu zina?” “Ya, saya tahu ya Rasul. Zina itu berhubungan badan dengan perempuan yang tidak halal, sebagaimana layaknya hubungan suami istri,” jawab Ma’iz. Lalu Rasul bertanya, “apa yang engkau inginkan?” “Aku ingin engkau menyucikan diriku” jawab Ma’iz. Rasul kemudian menyuruhnya untuk dirajam (ditanam dalam tanah hingga leher lalu kepalanya dilempari batu). Diapun akhirnya dirajam hingga meninggal, lalu dishalatkan dan dikuburkan.
Kisah “dramatis” tersebut mengandung pelajaran teologis dan moral: Pertama, berzina itu merupakan dosa besar, perbuatan keji, menjijikkan, dan merupakan jalan kehidupan yang buruk.
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra’ [17]: 32).
Kedua, Rasululullah tidak langsung memberlakukan hukuman kepada Ma’iz sebelum melakukan klarifikasi dan verifikasi, apakah dia berbuat zina itu dalam kondisi sadar (normal), tidak waras (gila) atau karena di bawah pengaruh minuman keras? Tabayyun (verifikasi dan klarifikasi) itu penting untuk memastikan dan membuktikan status hukum seseorang, agar jangan sampai hukuman menimpa orang yang tidak bersalah.
Ketiga, Rasululullah secara tegas menghukum pelaku zina dengan meminta para sahabat merajam Ma’iz sebagai “tebusan” atas kesalahan dan dosanya. Penegakan hukum secara tegas ini untuk menimbulkan efek jera pada orang lain, agar perbuatan yang sama tidak diulangi lagi. Pelaku zina layak dihukum berat karena perbuatannya memang merusak tatanan kehidupan rumah tangga.
Keempat, keinsafan dan penyesalan sang pelaku zina diapreasiasi oleh Rasulullah dengan “penyucian diri” melalui hukuman rajam, dan setelah meninggal, tetap dishalatkan dan dikuburkan.
Sayangnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, teladan penyesalan, dan kesediaan menerima hukuman setimpal perbuatan salahnya dari Ma’iz tersebut sulit ditemukan. Hampir tak ada pelaku kejahatan mendatangi KPK atau kepolisian minta dihukum atas kejahatannya. Padahal, jika ada ruang keinsafan dalam diri setiap insan, pasti ia menyesali perbuatan dosanya, sesuai ayat: “Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan azab pada hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku.” (QS Az-Zumar [39]: 13).•
________________
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ