Oleh; Prof Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA
Setelah menjatuhkan hukuman yang sangat kejam kepada para ahli sihir yang menyatakan beriman kepada Tuhan Semesta Alam, Tuhannya Musa dan Harun, Fir’aun yakin tidak akan ada lagi yang berani menentangnya. Oleh sebab itu dia biarkan Musa dan Harun meneruskan usahanya memimpin Bani Israil. Tetapi para pembesar Fir’aun khawatir, kalau dibiarkan, pengaruh Musa dan Harun akan semakin kuat di Mesir, tidak hanya di kalangan Bani Israil saja, tetapi bisa juga menjalar mempengaruhi bangsa Mesir sendiri, sehingga lama kelamaan mereka bisa ikut menentang Fir’aun. Oleh sebab itu mereka segera mengingatkan Fir’aun.
Allah SwT berfirman:
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir´aun (kepada Fir´aun): ‘Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?’. Fir´aun menjawab: ‘Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.'” (Qs Al-‘Araf [7]: 127)
Dalam pandangan para pembesar Fir’aun, kemenangan Musa dan Harun nanti jika dibiarkan akan membuat kerusakan di Mesir, Fir’aun tidak akan lagi didengar, dewa-dewa juga tidak akan lagi disembah. Peringatan para pembesarnya itu dijawab Fir’aun dengan menegaskan bahwa dia akan meneruskan apa yang selama ini sudah dilakukannya, yaitu membunuh setiap anak laki-laki Bani Israil yang lahir dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Pemusnahan anak laki-laki ini tentu akan melemahkan Bani Israil, sehingga lama-lama mereka akan punah.
Tentu saja keputusan Fir’aun yang kejam ini membuat Bani Israil takut dan cemas. Musa meminta mereka minta tolong kepada Allah SwT Yang Maha Kuasa menentukan segalanya. Mereka harus sabar menghadapi keadaan ini. Allah SwT berfirman:
“Musa berkata kepada kaumnya: ‘Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.'” (Qs Al-‘Araf [7]: 128)
Musa membangkitkan optimisme kepada Bani Israil, bahwa sekalipun Fir’aun sudah memutuskan untuk menghabisi mereka, tetapi yang menentukan segala sesuatu itu bukanlah Fir’aun tetapi Allah SwT. Di atas kekuasaan Fir’aun masih ada kekuasaan Allah. Oleh sebab itu mereka harus memperkuat iman, meningkatkan kesabaran dan tiada henti meminta pertolongan kepada Allah SwT. Pada akhirnya orang-orang bertaqwalah yang diberi kemenangan. Wal’aqibatu lil Muttaqin.
Walaupun sudah ditenangkan oleh Musa dan dikuatkan mental mereka menghadapi penderitaan, Bani Israil masih mengeluh. Kata mereka, sebelum Musa datang kami sudah menderita disiksa, diinjak-injak hak kami, diperbudak dengan kerja paksa oleh Fir’aun dan para pembesarnya. Kami mencoba bertahan dengan harapan akan datang utusan Tuhan memimpin dan membebaskan kami. Sekarang Musa dibantu oleh Harun sudah datang, tetapi nasib kami tidak berubah, tetap saja menderita dan hidup di bawah perbudakan dan tekanan, malah diancam akan dihabisi Fir’aun. Allah SwT berfirman:
“Kaum Musa berkata: ‘Kami telah ditindas (oleh Fir´aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.’” (Qs Al-‘Araf [7]: 129)
Keluhan Bani Israil itu dijawab oleh Musa dengan tegas, yakinlah Allah SwT pasti akan membinasakan Fir’aun bersama para pembesar dan balatentaranya. Betapapun besar dan kuatnya kekuasaan Fir’aun sekarang ini, suatu waktu, cepat atau lambat kekuasaannya pasti akan tumbang. Pada saatnya kalianlah wahai Bani Israil yang akan menggantikan kekuasaan Fir’aun itu. Tetapi tentu kemenangan itu tidak akan dapat dicapai dengan mental yang lemah, nyali yang kecil dan keluh kesah. Allah SwT akan melihat apa yang akan kalian lakukan menghadapi keadaan yang sangat sulit ini. Demikianlah Musa terus menjaga moral Bani Israil agar tidak hancur.
Sementara itu, keluarga Fir’aun diberi peringatan oleh Allah SwT dengan kekeringan dan kekurangan buah-buahan. Allah SwT befirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir´aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.” (Qs Al-‘Araf [7]: 130)
Fir’aun dan para pengikutnya boleh saja mengaku memiliki kekuasaan penuh, dan dapat sewenang-wenang membunuhi anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan anak-anak perempuan hidup, tetapi mereka tidak berdaya menghadapi alam, kemarau panjang yang menimbulkan kekeringan. Hujan tidak turun pada waktunya, sungai nil susut airnya, sehingga ladang dan kebun mereka tidak mendapatkan aliran air yang cukup sehingga produksi buah-buahan yang sangat mereka butuhkan berkurang banyak. Seharusnya Fir’aun sadar, bahwa ada kekuatan yang mengaturnya, yaitu Tuhan Semesta Alam. Walaupun dia mengaku sebagai tuhan yang tinggi, tetapi dia sama sekali lemah, tidak berdaya menghadapi musim kemarau.
Tetapi apabila musim kemarau sudah berlalu, datang musim hujan, sungai kembali melimpah airnya, tanaman jadi subur dan buah-buahan tersedia banyak, mereka bergembira. Mereka mengatakan, ini semua buat kita. Mereka tidak mau tahu, dari mana datangnya semua kebaikan itu. Sama sekali mereka tidak mengakui kuasa Allah SwT di situ. Tetapi anehnya, apabila datang lagi musim kemarau, mereka menyalahkan Musa dan para pengikutnya. Musa dan para pengikutnya dianggap pembawa kesialan. Allah SwT berfirman:
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs Al-‘Araf [7]: 131)
Sungguh terbalik cara berpikir Fir’aun dan para pembesarnya. Kesialan yang menimpa mereka bukan karena Musa dan Harun tidak mau tunduk dengan kekuasaan Fir’aun, tapi justru sebaliknya, karena Fir’aun dan para pembesarnya tidak mau tunduk kepada kekuasaaan Allah SwT, Tuhan yang mengatur alam semesta. Harusnya mereka menyadari itu, bukan malah menyalahkan Musa dan para pengikutnya.
Kekuasaan telah membutakan hati Fira’un dan para pembesarnya, sehingga argumen apapun yang disampaikan tidak akan diterimanya. Semua bukti yang dikemukakan Musa mereka anggap sihir. Allah SwT berfirman:
“Mereka berkata: “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu” (Qs Al-‘Araf [7]: 132)
Keterangan apapun yang diberikan Musa akan mereka tolak. Mukjizat-mukjizat yang diperlihatkan Musa, mereka anggap semuanya sihir. Tongkat jadi ular adalah sihir. Tangan Musa bercahaya juga sihir. Dalam pandangan mereka Allah SwT tidak berkuasa, yang berkuasa adalah Fir’aun dan para pembesarnya. Musa adalah perusak, penghasut Bani Israil yang selama ini tunduk saja kepada kekuasaan Fir’aun. Mereka menuduh Musa lah pembawa semua kesialan yang terjadi selama ini.
Rupanya musim kemarau yang panjang yang berakibat kepada berkurangnya buah-buahan belum cukup untuk mengingatkan Fir’aun dan para pembesarnya agar sadar, maka Allah SwT turunkan peringatan yang lebih besar lagi berupa angin topan yang diikuti hujan badai sehingga tanaman yang sedang mereka tunggu hasilnya rusak porak poranda. Belum pernah mereka mengalami hujan sebesar itu. Barulah mereka ingat Musa. Dikirimlah utusan menemui Musa.• (bersambung)