Nabi Musa as (12); Beberapa Bencana sebagai Peringatan

Nabi Musa as (12); Beberapa Bencana sebagai Peringatan

Oleh; Prof Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA

Utusan yang dikirim oleh Fir’aun meminta Musa agar sudi memohon kepada Tuhannya supaya mereka dibebaskan dari angin topan. Untuk meyakinkan Musa agar mau menolong, mereka berjanji apabila mereka dibebaskan dari bencana ini, mereka akan beriman dengan Musa dan akan membiarkan Bani Israil pergi bersama Musa.
Musa memenuhi permintaan mereka, lalu memohon kepada Allah SwT agar hujan badai dan topan berhenti. Maka dengan izin Allah topan berhenti. Bencana pun berlalu. Setelah kerusakan-kerusakan akibat angin topan diperbaiki, kehidupan bangsa Mesir berangsur-angsur normal seperti semula. Janji untuk beriman dengan Musa dan membiarkan Bani Israil pergi bersama Musa tidak mereka tepati.
Lalu Allah SwT menurunkan bencana berikutnya, yaitu wabah belalang. Di mana-mana muncul belalang yang merusak tumbuhan. Mere­ka panik dan segera lari mene­mui Musa kembali minta tolong agar mau memohon kepada Tuhannya Musa agar menghentikan wabah belalang tersebut. Mereka kembali berjanji, kalau wabah belalang bisa dihentikan, mereka akan beriman dengan Musa dan akan membiarkan Bani Israil pergi bersama Musa. Maka kembali Musa mengabulkan permintaan mereka dan memohon kepada Allah SwT Yang Maha Kuasa. Permohonan Musa dikabulkan oleh Allah SwT, maka wabah belalangpun berlalu. Tetapi apakah sekarang Fir’aun dan para pembesarnya serta para pengikutnya menepati janji untuk beriman kepada Musa dan membiarkan Bani Israil pergi bersama Musa? Ternyata tidak, tanpa malu sedikitpun mereka kembali mengingkari janjinya.
Kembali Allah mengirim wabah berikutnya. Kali ini makanan mereka semua dipenuhi oleh hama kutu. Persediaan makanan yang ada di gudang-gudang semua rusak dimakan kutu. Setelah wabah kutu melanda di mana-mana, tanpa malu kembali Fir’aun mengirim utusan menemui Musa, minta tolong seperti sebelumnya yang dikuatkan janji untuk beriman dan membiarkan Bani Israil pergi bersama Musa. Untuk yang ketiga kalinya permintaan mereka dipenuhi Musa, dan ketiga kalinya pula Allah SwT mengabulkan do’a Musa, dan untuk yang ketiga kalinya pula mereka mengingkari janjinya.
Begitulah setelah bencana kutu, Allah SwT menurunkan lagi bencana katak. Katak muncul di mana-mana, melompat kerumah-rumah mereka dan melompat ke hidangan-hidangan mereka. Sekali lagi mereka menemui Musa, minta tolong Musa berdoa kepada Tuhannya agar bencana katak berhenti, dan mereka kembali berjanji hal yang sama, dan kembali Allah SWT mengabulkan permohonan Musa. Lagi-lagi mereka mengingkari janjinya.
Bayangkan betapa kasarnya hati mereka. Betapa rendahnya kualitas moral mereka. Tidak ada malu sama sekali berulang-ulang berjanji dan berulang pula mengingkarinya. Sekarang Allah SwT turunkan bencana yang lebih besar dan lebih menakutkan, air sungai nil berubah menjadi darah. Air yang ada di sumur-sumur bangsa Mesir berubah menjadi darah. Mereka panik. Dan untuk yang kesekian kalinya mengirim utusan menemui Musa, minta tolong lagi, berjanji lagi, tetapi setelah ditolong dan wabah darah berhenti, kembali mereka mengingkarinya.
Bencana demi bencana yang datang silih berganti itu hanya menimpa bangsa Mesir, tidak ikut menimpa Bani Israil. Kawasan tempat pemukiman Bani Israil terhindar dari angin topan, mereka juga tidak terkena wabah belalang, kutu dan katak. Begitu juga darah, air sumur-sumur mereka tetap bersih seperti semula. Sekalipun sungai nil berubah menjadi sungai darah Bani Israil tetap dapat mengakses air bersih melalui sumur-sumur yang mereka miliki.
Keadaan inilah yang memaksa mereka harus mengakui bahwa Tuhannya Musa lebih kuasa dibandi­ngkan tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang mereka yakini. Apalagi bila dibandingkan dengan kekuatan Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan yang maha tinggi, tetapi sama sekali tidak berkutik menghadapi alam: bencana topan, belalang, kutu, katak dan darah.
Fir’aun dan para pembesarnya sama sekali tidak percaya dengan Tuhannya Musa, tetapi apaboleh buat, demi bisa keluar dari bencana, mereka terpaksa meminta bantuan Musa. Oleh sebab itu dalam memohon mereka tidak menyebut mintalah kepada Tuhan, tetapi mintalah kepada Tuhanmu. Kata mereka: “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu…”.
Inilah cara berpikir yang aneh. Jika mereka tidak beriman deng­an Tuhannya Nabi Musa, kenapa mereka meminta Musa memohon kepada Tuhannya Musa untuk membebaskan mereka dari bencana demi bencana yang datang menimpa mere­ka. Sebenarnya kalau mereka mau menghilangkan kesombongan yang ada pada jiwa mereka, tentu mereka akan mengakui kekuasaan Allah SwT sebagaimana yang dijelaskan dan diserukan oleh Musa dan ditunjukkan beberapa bukti kekuasaan-Nya.
Sekarang mari kita baca tiga ayat berikut ini yang menceritakan tentang bencana-demi bencana yang menimpa bangsa Mesir dan bagaimana mereka memohon bantuan Musa. Allah SwT berfirman:


Maka kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.  Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) merekapun berkata: “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu. Maka setelah kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. (Qs. Al-‘Araf [7]:133-135)
Walaupun bencana demi bencana sudah silih berhenti menimpa mereka sebagai peringatan keras akan kekufuran dan kesombongan mereka, tapi Fir’aun dan para pembesarnya tetap saja tidak membiarkan Bani Israil pergi persama Musa. Apa sebab mereka berat membiarkan Bani Israil pergi? Karena kepergian Bani Israil akan mengganggu kehidupan mereka, mereka akan kehilangan tenaga kerja, buruh-buruh yang selama ini mereka perbudak untuk membangun infrastruktur, menjadi kuli, melayani segala keperluan mereka dengan biaya murah bahkan tidak dibayar sama sekali.
Tetapi setelah bencana darah berlalu, Musa dan Harun tidak mau menunggu lebih lama lagi, dia pegang janji para utusan Fir’aun yang akan membiarkan mereka pergi. Maka pada suatu malam, di bawah pengetahuan Fir’aun dan para pembesarnya, Musa dan Harun membawa seluruh Bani Israil keluar dari Mesir menuju Sinai, dengan tujuan akhir negeri yang dijanjikan yaitu Yerusalem.
Maka pada malam yang gelap itu, berbondong-bondonglah Bani Israil, laki perempuan, tua muda, besar kecil, berangkat meninggalkan tanah Mesir tempat mereka tinggal selama ini (Bani Israil mulai tinggal di Mesir sejak kedatangan Yusuf dan saudara-saudaranya beserta seluruh keluarganya lebih kurang 400 tahun yang lalu). Harta kekayaan, emas perhiasan, binatang ternak, makanan dan apa saja yang bisa dibawa, mereka bawa. Mereka harus segera pergi, secepat mungkin, jangan sampai Fir’aun dan para pembesarnya berubah pikiran.
Setelah menempuh perjalanan panjang yang sangat melelahkan, akhirnya sampailah Bani Israil di bawah pimpinan Musa dan Harun di pinggir laut Teluk Suez. Pada tahun 1988, bersama rombongan peserta Daurah al-Aimmah wa al-Khuthaba, al-Alamiyah yang diadakan di Universitas Al-Azhar selama dua setengah bulan, penulis pernah menempuh perjalanan dari Cairo ke pantai tersebut dengan mengendarai bis wisata. Jarak tersebut ditempuh dalam waktu lebih kurang empat jam. Kalau bis wisata kecepatannya katakanlah 100 km perjam, maka jarak yang ditempuh oleh Bani Israil hingga sampai ke pantai tersebut adalah 400 km. Ba­yangkan saja berapa lama waktu yang diperlukan apabila ditempuh dengan kendaraan unta, keledai dan jalan kaki. Apabila lagi membawa beban yang berat.• (bersambung)

Exit mobile version