Seorang Pencuri di Hari Jumat

Cerpen Satmoko Budi Santoso

Ia akan selalu mencuri. Tepat di hari Jumat. Justru di hari Jumat. Kenapa? Sebab ia akan menjual hasil curiannya di hari Sabtu dan akan ia gunakan untuk bersenang-senang di hari Minggu. Lantas, apa pekerjaannya di hari Senin hingga Kamis? Ia bekerja serabutan. Lontang-lantung ke sana ke mari, yang penting bisa menghasilkan uang untuk sekadar makan sehari-hari. Paling sering, pekerjaannya adalah menjual barang rongsokan. Maka, ia memang cukup rajin mendatangi tempat pembuangan sampah.
Banyak temannya senasib yang tahu kebiasaannya mencuri sangat menyayangkan atas perilakunya tersebut. Apalagi, tindakan pencurian yang dengan sadar selalu ia lakukan itu tepat di hari Jumat!
“Mestinya kamu sudahi saja kebiasaan tercela mencuri itu. Insyaflah. Kalau kamu mau, justru di hari Jumat itu, aku akan menanggung ongkos makanmu selama satu hari!” tutur seorang temannya, suatu waktu.
“Wah, sudah terlanjur jadi kebiasaan. Sudah mendarah da­ging. Alah kamu juga tidak rugi kok. Dosanya juga aku sendiri yang nanggung!”
***
DI hari Jumat itu, kembali ia beraksi di masjid. Saat shalat Jumat berlangsung, ia curi sebuah sepasang sepatu. Awalnya, ia pura-pura mau ikut shalat. Ternyata ketika iqamah tiba, ia berangsur mundur. Seolah mau wudhu lagi. Seolah wudhunya batal, bisa karena kentut. Ketika jamaah memulai shalat itulah, ia justru pergi perlahan meninggalkan masjid, mencuri sepasang sepatu. Sedapatnya. Dengan santai ia pun melenggang keluar masjid. Lugu dan tak berdosa, memasukkan sepatu hasil curiannya ke dalam tas plastik hitam. Setelah sebelumnya ia ambil sandalnya sendiri.
Ketika ia habis mencuri semacam itu, di hari Sabtunya, sebelum ia jual hasil curiannya, ia akan bercerita kepada teman-teman sejawatnya.
“Kalian senang kan mendengar cerita-cerita pengalamanku selama mencuri. Hiburan yang asyik kan buat kalian?”
“Ya, yang penting kamu tidak mencuri barang kita saja,” sergah salah seorang temannya.
“Iya, awas kalau kamu curi barang kita!” potong lainnya.
“Bisa hancur lebur!” ancam lainnya lagi.
“Never, never, never, tidak akan pernah. Aku pencuri idealis. Dan terbuka. Tidak plintat pintut!” katanya dengan lagak sok kaya dan berpendidikan.
Teman-temannya memang sudah sampai pada titik membiarkan apa yang menjadi pilihannya. Teman-temannya merasa sudah mentok dalam memberitahu mengajak ke arah kebaikan. Teman-temannya percaya, kelak waktulah yang akan membimbingnya ke arah kebaikan.
***
TIBALAH saatnya si pencuri itu jatuh sakit. Demam tinggi. Tentu, ia butuh pengobatan. Teman-temannya iba juga. Meski begitu, di tengah rasa iba yang ditunjukkan teman-temannya dengan ikut merawat sakit si pencuri itu, teman-temannya tetap menyempatkan menasehati si pencuri itu agar sadar.
“Ini juga bagian dari peringatan Tuhan supaya kamu total insyaf,” ujar salah seorang temannya.
“Masih untung kau diberi sakit. Supaya cepat tobat,” sambung temannya yang lain.
Di tengah demam tinggi, ia tentu memilih diam. Tidak menanggapi nasihat teman-temannya. Mereka memang tinggal dalam satu rumah. Rumah asal bangun di lahan kosong dekat sebuah sungai.
***
BANJIR pun melanda sungai itu. Teman-temannya menyelamatkan diri. Lari tunggang langgang. Dua orang masih peduli dengan nasib si pencuri yang sedang sakit itu. bergantian mereka menggendong sekuat tenaga agar si pencuri tidak terendam banjir. Namun nasib berkata lain. salah seorang temannya terjerembab ketika menggendong si pencuri itu. si pencuri itu pun hanyut terbawa air. Temannya yang terjerembab masih mampu berdiri dan lari sekuat tenaga menyusul lainnya yang menyelamatkan diri.
“Wah nasibnya hanya sampai di peristiwa banjir ini,” kata salah seorang teman pencuri itu ketika sudah berkumpul dengan lainnya di sebuah posko penanggulangan banjir.
“Ternyata, begitu cara Tuhan menjelaskan kepada kita,” sambung lainnya.
“Ia telah kena azab yang membuatnya sengsara,” imbuh lainnya lagi.
“Sudahlah, ia telah menebus dosa-dosanya,” timpal lainnya.
Tapi, ternyata, si pencuri itu masih selamat. Kebetulan ia pandai berenang. Ketika hanyut terbawa banjir masih sempat ia berjuang keras menyelamatkan diri. Berkilo-kilometer air banjir membawanya, namun ia tetap selamat di sebuah desa yang cukup jauh. Ia ditemukan penduduk sudah dalam keadaan pingsan. Dan ternyata ketika sudah siuman, sakit demam tingginya sontak hilang. Ia rupanya stres juga. Stres ringan. Kenapa bisa begitu ajaib? Justru sembuh?
Penduduk yang menemukannya banyak yang menganggap kejadian itu juga aneh. Sebab, menurut penduduk yang menemukan, ia mestinya sudah mati terseret air yang deras. Apalagi jaraknya begitu jauh. Namun, anggapan semacam itu juga segera terpatahkan karena ketika ia ditemukan, ia berada tidak jauh dengan batang pisang besar. Rupanya, ia menggunakan batang pisang besar itu menjadi serupa sampan.
Di antara para penduduk yang menemukan itu, ada seorang wartawan asal desa itu yang lantas menuliskan peristiwa tersebut dan dimuat di sebuah koran. Berita tentang keselamatan orang tersebut menyebar luas. Salah satu yang membaca adalah teman-temannya yang sempat menggendongnya ketika lari tunggang langgang.
“Wah ternyata, dia masih hidup!”
“Coba mana lihat korannya.”
“O iya ini kelihatan fotonya. Memang benar dia orangnya.”
“Berarti dia akan kembali di tengah kita.”
“Syukurlah sekarang ia sedang diurus penduduk desa itu.”
Selang beberapa hari kemudian, ia memang kembali ke tengah teman-temannya. Ia diberi bekal secukupnya oleh penduduk yang menyelamatkannya.
“Alhamdulilah kau masih kembali. Kami menduga kau sudah tiada.”
“Ini awal yang baik bahwa Tuhan memberikan isyarat untuk kembali ke jalan yang sama sekali tidak ada tercelanya.”
“Kami senang kamu kembali dan kami yakin kamu akan kembali bersih.”
“Tuhan menunjukkan kebesarannya padamu.”
Ia tidak menanggapi ujaran teman-temannya. Hanya merangkul mereka satu persatu. Memeluk mereka satu persatu. Mendekap mereka satu persatu. Erat. Bahkan sangat erat. Ia tahu, ia kembali ke tengah kehidupan teman-temannya itu memang tepat di hari Jumat. Hari yang sebelumnya menjadi pertaruhan bagi dirinya untuk menyabung nasib menjadi lebih baik atau lebih buruk. Apalagi jika tertangkap bisa sangat buruk nasibnya: hancur lebur babak belur.
Ternyata, ia pun bergetar mendengar suara azan agar segera shalat Jumat tiba. Dan bersama teman-temannya mendatangi masjid. Tidak seperti biasanya, ia ikuti shalat Jumat hingga usai. Tidak pulang duluan sebelum shalat dimulai dengan membawa barang curian.•
Perum Kasongan Permai, Mei 2016.

Exit mobile version