Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (6)
Jumhur ulama berpendapat bahwa pada ayat tersebut terdapat idmar (pelesapan) frasa lalu ia tidak puasa, sehingga ayat itu secara lebih lengkap berbunyi Maka barang siapa di antara kamu sakit atau berada dalam perjalanan (lalu ia tidak puasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak puasa itu untuk diganti) pada hari-hari yang lain. (Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 188; dan Ab Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 184). Dengan cara ini ayat tersebut bermakna bahwa orang sakit atau dalam perjalanan itu berkewajiban mengqada puasanya hanya apabila ia tidak puasa.
Sebaliknya apabila ia tetap puasa, karena ia mampu melaksanakannya meskipun sedang sakit atau dalam perjalanan, maka puasa itu sah dan sudah memenuhi kewajiban berpuasa dan oleh karena itu tidak perlu lagi mengqadanya di luar Ramadhan. Sedangkan Hadits yang menyatakan bahwa berpuasa dalam perjalanan bukan suatu kebajikan, sesuai dengan sebab wurudnya, dipahami sebagai puasa dalam perjalanan yang menimbulkan mudarat kepada pelakunya.
Pendapat yang menyatakan puasa dalam perjalanan di bulan Ramadhan tidak memadai dan tetap wajib mengqada di luar bulan Ramadhan, juga bertentangan dengan beberapa Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw dalam perjalanan terkadang berpuasa, meski di kala lain tidak berpuasa, serta Hadits-Hadits yang menerangkan bahwa Nabi saw juga memberi pilihan terhadap Sahabatnya untuk berpuasa jika ia mampu melakukannya dan juga membolehkan tidak berpuasa. Hadits-Hadits dimaksud antara lain adalah sebagai berikut,
Dari Ibn ‘Abbas ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata, “Jangan engkau mencela orang yang berpuasa dan orang yang tidak berpuasa (dalam perjalanan), karena Rasulullah saw sendiri berpuasa dalam perjalanan dan juga tidak berpuasa [HR Muslim dan Ahmad]. (Muslim, Sahih Muslim, I: 497, hadis no. 89 [1113], “Kitab as-Siyam, Bab Jawaz al-Fitr wa as-Siyam…”; dan Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, III: 489, Hadits no. 2057, XXIII: 424, Hadits no. 15282).
Dari ‘A’isyah ra (diriwayatkan) bahwa Hamzah Ibn ‘Amr al-Aslmi bertanya kepada Rasuklullah saw, ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya ini adalah orang yang banyak berpuasa, apakah saya boleh berpuasa dalam perjalanan?” Rasulullah saw menjawab, “Silahkan puasa jika engkau mau, dan silahkan tidak puasa jika engkau mau!” (Muslim, Sahih Muslim, I: 500, hadis no. 104 [1121], “Kitab as-Siyam, Bab at-Takhyir fī as-Saum wa al-Fikr fī as-Safar”; dan Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 385, hadits no. 2402, “Kitab as-Saum, Bab as-Saum fī as-Safar”).
Hadits Ibn ‘Abbas di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw terkadang berpuasa dan terkadang tidak berpuasa dalam perjalanan, dan Hadits ‘A’isyah mempersilahkan orang untuk berpuasa atau untuk tidak berpuasa dalam perjalanan sesuai dengan keadaannya. Jadi menurut Hadits-Hadits di atas boleh saja orang berpuasa dalam perjalanan dan terhadap orang yang melakukannya Nabi saw tidak menyatakan keharusan untuk tetap menggantinya di luar Ramadhan. Artinya puasa dalam perjalanan itu sudah memadai sebagai pelaksanaan kewajiban puasa Ramadhan.
Mengenai cara mengqada hutang puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau perjalanan tidak ada keharusan untuk melakukannya secara berturut-turut. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa frasa pada hari-hari yang lain adalah pernyataan lepas (mutlaq), yaitu tidak disertai keterangan kualifikasi apa pun sehingga pernyataan itu membolehkan untuk melaksanakan qada secara acak sebagaimana boleh juga berurutan. Begitu pula frasa tersebut tidak dikaitkan kepada waktu tertentu. Oleh karena itu pula qada puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau perjalanan itu boleh dilakukan kapan saja sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. ‘A’isyah menjelaskan bahwa ia sendiri di masa Rasulullah saw mengqada puasa Ramadhan yang ditinggalkannya pada bulan Syakban, sebagaimana tampak dalam Hadits berikut,
Dari Abu Salamah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Aku mendengar ‘A’isyah ra berkata: Aku sering berhutang puasa Ramadhan di mana aku tidak dapat membayarnya kecuali setelah bulan Syakban. Yahya berkata: (Hal itu terhalang oleh) kesibukan karena Rasulullah saw atau bersama Rasulullah saw (HR Muslim dan Abu Dawud]. (Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 353, Hadits no. 1950, “Kitab al-Jihad wa as-Siyar, Bab as-Saum, Bab Mata Yuqda Qada’ Ramadan”; Muslim, Sahih Muslim, I: 509, hadits no. 151 [1146], “Kitab as-Siyam, Bab Qads’ Ramadan fī Sya‘ban”; dan Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 384, hadits no. 2399, “Kitab as-Saum, Bab Ta’khir Qada’ Ramadan”).
Menurut Hadits ini, ‘A’isyah baru mengqada hutang puasanya pada bulan Syakban. Apabila setelah sampai bulan Ramadhan berikutnya, hutang Ramadhan yang lalu belum terbayarkan karena menunda-nunda, maka terdapat perbedaan pendapat para ulama. Menurut Malik, asy-Syafi‘i, Ahmad dan Ishaq orang itu dikenai kafarat, sedang menurut Abu Hanifah, al-Hasan al-Basri dan an-Nakha‘i tidak dikenai kafarat. Pendapat terakhir ini dipegangi oleh al-Bukhari, ahli Hadits terkenal itu, dengan dasar kemutlakan (tanpa kualifikasi) pernyataan ayat pada hari-hari yang lain. (Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 189-190).
Kelompok ketiga dari orang-orang yang diberi dispensasi (rukhsah) untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan adalah al-lażīna yutiqūnahu (orang-orang yang berat menjalankannya). Di atas telah dijelaskan makna harfiah dari kata yutiqūnahu. Yang dimaksud dengan al-lażīna yutiqūnahu adalah orang-orang yang mampu mengerjakan puasa tetapi dengan susah payah atau dengan amat berat. Mereka ini adalah orang tua lanjut usia, wanita hamil dan wanita menyusui, orang sakit menahun yang sulit diharapkan sembuh, serta orang-orang lain yang menjalani pekerjaan mereka yang amat berat seperti kuli (porter) pelabuhan, pekerja konstruksi jalan, atau buruh tambang. (Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, II: 166-167).
Mereka ini diperbolehkan tidak berpuasa dan sebagai gantinya mereka membayar fidyah berupa memberi makan satu orang miskin satu kali makan untuk satu hari tidak berpuasa. Apabila mereka juga tidak mampu membayar fidyah karena fakir, maka mereka tidak diwajibkan membayar fidyah karena “Allah tidak membebani seseorang kecuali sejauh yang mampu dilakukannya” (Qs [2]: 286) dan “Allah tidak membebani seseorang kecuali sejauh apa yang diberikan Allah kepadanya” (Qs [65]: 7).
Mengenai cara membayar fidyah, telah dijelaskan secara cukup detail dalam fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. Di sini dikutip berapa hal pokok dari fatwa tersebut. Tidak ada ketentuan bahwa fidyah wajib dibayar secara diecer setiap hari tidak puasa. Oleh karena itu boleh dilakukan pembayaran fidyah secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak puasa di bulan Ramadhan maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadhan karena itu lebih memudahkan.• Bersambung