Sosok Al-Insan

Muhasabah

Ilustrasi

SUARA MUHAMMADIYAH, Allah begitu rupa memuliakan manusia. Ketika Adam diciptakan dan diturunkan ke bumi, dijadikanlah dia sebagai khalifah. Khalifah itu “pengganti”, sosok yang secara metafora dan fungsional mewakili Allah menjalankan misi mulia memakmurkan semesta di galaksi ciptaan-Nya itu. Bukankah itu puncak tertinggi derajat manusia yang dirancang-bangun dan dianugerahkan Dzat Yang Maha Pencipta, yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain?
Malaikat bahkan “memprotes” atas penciptaan Adam selaku khalifah itu. Malaikat yang diciptakan dari cahaya awalnya memandang manusia tak patut menyandang peran khalifah itu karena manusia suka menumpahkan darah. Tapi Allah Maha Mengetahui dan manusia Adam memiliki kualitas untuk menjadi khalifah sebagaimana difirmankan dalam Al-Quran secara rinci, yang artinya sebagai berikut:
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.
“Dan telah diajarkan-Nya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semua kepada Malaikat, lalu Dia berfirman: Beritakanlah kepada-Ku nama-nama itu semua, jika adalah kamu makhluk-makhluk yang benar.”.
“Mereka menjawab: Maha Suci Engkau! Tidak ada penge­tahuan bagi kami kecuali yang Engkau ajarkan kepada Kami. Karena sesungguhnya Engkau­lah Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana.”.
“Berkata Dia: Wahai Adam! beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya! Maka tatkala telah diberi­tahukannya kepada mereka nama-nama itu semua, berfirmanlah Dia: Bukankah telah Aku katakan kepada kamu, bahwa sesungguh­nya Aku lebih mengetahui rahasia semua langit dan bumi, dan lebih Aku ketahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembuyikan.”
Maka, kini manusia di mana pun jadilah khalifah yang cerdas dan menunaikan tugas mulia sebagaimana dianugerahkan Allah. Kemampuan menyebut nama-nama adalah simbol kemampuan aqliah manusia, sebagai makhluk utama.
Manusia, menurut Ali Shariati, memiliki dua sosok. Sebagai al-basar, manusia lebih bersifat tubuh, yang keberadaannya tidak jauh beda dengan makhluk lain. Sebagai basar, manusia makhluk berdiri tegak, berkaki dua, dan memiliki kebutuhan alamiah sebagaimana makhluk hewani seperti makan, minum, pemenuhan biologis, dan sebagainya.
Jika tanpa elemen lain seperti akal, hati atau jiwa, maka manusia sang basar sebagai makhluk primitif, yang tidak jarang berperangai homo homini lupus, suka memangsa sesamanya dengan buas. Jika nafsunya melebihi takaran, manusia bahkan disebut dalam Al-Qur’an dapat lebih parah ketimbang hewan (Qs Al-A’raf: 179).
Manusia yang berperadaban, dialah al-insan. Dengan hati (qalbu) yang memiliki fitrah beragama atau bertuhan, serta akal yang dianugerahkan Allah, manusia menjadi sosok makhluk beradab. Dia memiliki qalbu dan rasa, yang membuat dirinya bermoral. Lahir sopan santun dan keadaban, yang membuat dirinya berbeda dari hewan. Dia berakal dan berfikir, lalu menghasilkan kecerdasan, ilmu pengetahuan, dan segala kreasi yang melampaui makhluk Tuhan lainnya.
Dari sosok al-insan itulah manusia membangun dan mencipta peradaban, yang tidak dapat disandang oleh para Malaikat, jin, dan makhluk Tuhan lainnya. Di sinilah manusia sebagai insan menemukan peran dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi untuk mencipta kemakmuran (Qs Hud: 60), yang membuat dunia ini hidup dan meraih puncak peradaban.
Sebaliknya, ketika manusia merusak, instinknya selaku al-basar menyeruak, lalu lahir segala bentuk fasad fil-ardl. Maka, di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, mekarkan potensi diri al-Insan agar sosok al-basar diberi sibghah mulia dan menjadi manusia cerdas dan bermoral yang membangun peradaban utama.• A. Nuha

Exit mobile version