SUARA MUHAMMADIYAH, Dunia modern saat ini ditandai oleh kehadiran media sosial bercorak virtual. Media sosial menjadi kekuatan baru yang luar biasa peranannya, yang mampu mengubah persepsi dan alam pikiran masyarakat. Media ini sering menjelma menjadi kekuatan kritik dan gerakan sosial baru yang luar biasa berpengaruh. Manusia modern yang menyatu dengan media sosial oleh pemikir posmodern Jeans Baudrillard disebut hidup dalam hyper-reality atau realitas buatan yang masif.
Media sosial adalah sebuah media online, yang para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia virtual. Media sosial mengambil berbagai bentuk termasuk majalah, forum internet, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video, peringkat dan bookmark sosial (Wikipedia, 2016).
Jenis media sosial yang paling populer untuk interaksi antarindividu maupun kelompok saat ini ialah WhatsApp atau WA. WhatsApp sebagai aplikasi pesan lintas platform yang memungkinkan kita bertukar pesan tanpa biaya SMS dengan menggunakan paket data internet yang sama untuk email, browsing web, dan lain-lain, telah menjadi media sosial baru yang digemari. Komunitas WA menjelma menjadi social-group yang sangat hidup nyaris 24 jam, melebihi interaksi sosial konvensional dalam masyarakat.
Banyak manfaat diperoleh dari media sosial, termasuk penggunaan WhatsApp. Informasi dengan cepat dan murah dapat di-share atau dibagi “dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Interaksi sosial menjadi cair dan masif, sehingga segala hal menjadi praktis. Nilai positif lain masih dapat didaftar, yang intinya siapapun tidak dapat lepas dari penggunaan dan kemanfaatan media virtual tersebut.
Namun penting juga untuk dicermati dan menjadi perhatian, khususnya bagi umat Islam dan kalangan Persyarikatan. Bahwa teknologi apapun pada awal dan akhirnya tergantung pada manusia sebagai pengguna. Manusialah sebagai aktor atau pelaku utama yang harus mengendalikan teknologi atau media apa pun, bukan sebaliknya. Manusia itu insan berkesadaran, yang berbeda dari makhluk lainnya yang hidup sebatas insting dan semaunya sendiri.
Bagi insan atau umat Islam tentu segala hal ada dasar nilai dan adab atau akhlak yang membingkai. Berperilaku apa pun, termasuk menggunakan media sosial, bagi setiap Muslim harus selektif mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan buruk, serta mana yang pantas dan tidak pantas. Semuanya tidak dapat serampangan dilakukan dan digunakan, yang membuat orang Islam kehilangan adab atau akhlaq bermedia-sosial.
Prinsip tabayyun (uji bekebenaran), hifdz al-lisan (menjaga ujaran), hifdz al-qalam atau hifdz al-kitabah (memelihara tulisan) serta bingkai akhlak mulia lainnya mesti menjadi patokan dalam bermedia-sosial. Kalau ada informasi yang di-share atau berkembang di ruang publik selidikilah dengan seksama, tidak dengan mudah merespons dan memberikan penilaian apalagi vonis yang tidak tepat atau akurat. Jangan sampai menjurus pada fitnah, berita salah, dan hal-hal yang belum terbukti kebenarannya.
Jika suatu informasi benar pun tetap menggunakan etika yang baik dalam menyikapinya. Berkomunikasi dan menggunakan tutur bahasa melalui WA dan media sosial lainnya tetap dibingkai oleh akhlaq al-karimah agar kepribadian Islam tetap terjaga. Kalaupun bercanda tetap dalam batas kepatutan, tidak berlebihan. Lebih-lebih bagi warga Persyarikatan yang dikenal cerdas dan bijak, sebagai bagian dari Kepribadian Muhammadiyah maupun aktualisasi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Ber-medsos pun perlu keadaban Islami. Jika warga lebih-lebih kader dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tanah air dapat menggunakan media sosial dengan cerdas dan bijak, maka akan memberi uswah hasanah bagi keadaban masyarakat luas. Di situlah makna dakwah melalui media sosial dan komunitas virtual yang mencerahkan!• hns