Meski Menag Turun Tangan, Pembangunan Masjid Muhammadiyah Bireuen Diganjal FKUB

Meski Menag Turun Tangan, Pembangunan Masjid Muhammadiyah Bireuen Diganjal FKUB

BIREUEN, suaramuhammadiyah.id– Hingga kini, pembangunan Masjid At-Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Juli, Bireuen belum juga menandakan titik terang. Perjuangan segenap warga Muhammadiyah untuk bisa beribadah dengan nyaman dan tenang di sebuah masjid di wilayah Muhammadiyah minoritas itu masih terus dihambat. Meskipun telah menuntaskan dan memenuhi semua persyaratan administratif, panitia pembangunan masjid masih belum bisa melanjutkan proses pembangunan.

Setelah sebelumnya terkendala dalam urusan surat rekomendasi dari Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bireuen, saat ini ganjalan datang dari institusi lainnya, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) setempat.

Baca: Surat Rekomendasi Pembangunan Masjid Muhammadiyah di Bireuen Sudah Ditandatangani Kemenag

“Pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah dihambat lagi. Alasannya tetap sama seperti Kemenag. Ada penolakan dan ancaman dari kelompok yang tidak senang Muhammadiyah,” ungkap Riski Dasilva selaku sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Juli kepada suaramuhammadiyah.id.

Baca: Kronologis Kerusuhan dan Larangan Pendirian Masjid Muhammadiyah di Bireuen

Padahal, panitia pembangunan masjid Muhammadiyah kini telah mengantongi surat rekomendasi dari Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian dalam Negeri (Kemendagri), serta berbagai persyaratan administratif lainnya yang memang telah dipersiapkan sejak 2015 lalu. Termasuk dalam hal pendanaan, panitia telah mengantongi dana awal sebesar Rp 800 juta.

Zainuddin selaku ketua panitia pembangunan masjid menuturkan bahwa permasalahan muncul kembali ketika FKUB yang terdiri dari institusi Badan Dayah, Dinas Syariat Islam (DSI), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Kemenag, Badah Hukum Sekda serta Badan Pemerintahan Sekda Kabupaten Bireuen, mengajukan syarat tambahan yang sebenarnya tidak perlu.

“Anehnya, setelah melengkapi semua rekomendasi yang telah kami peroleh itu, pihak FKUB meminta syarat tambahan yang harus kami lengkapi,” ungkap Zainuddin, Kamis (11/8). Syarat tambahan yang diminta FKUB berupa surat pernyataan dari keusyik (kepala desa) di luar lokasi pembangunan masjid, NPWP organisasi Muhammadiyah, serta akta notaris organisasi Muhammadiyah dari pimpinan pusat hingga pimpinan ranting.

Secara legal, persyaratan pembangunan rumah ibadah harusnya mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006. Dalam PBM disebutkan bahwa selain persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung,  pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus yang meliputi: minimal adanya 90 KTP atau orang yang menghendaki  rumah ibadah tersebut dibangun dan harus ada persetujuan atau dukungan dari minimal 60 orang di mana rumah ibadah itu dibangun, serta mendapat rekomendasi tertulis dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kabupaten/kota.

Baca: Menteri Agama: Rumah Ibadah dan Tempat Ibadah Berbeda

Ketua Pemuda Muhammadiyah Bireuen Herri Juli menyatakan bahwa sampai saat ini panitia belum menerima informasi terkait dengn rekomendasi dari FKUB, walaupun semua persyarat telah dipenuhi. “Proses di FKUB sendiri sudah berlangsung selama dua bulan,” ungkap Herri, Senin (22/8).

Menyikapi adanya permintaan janggal dari FKUB, ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bireuen dr Athaillah A Latief mengancam akan menempuh jalur advokasi hukum. “Kita awalnya tidak mempersoalkan FKUB, walaupun kami tahu tidak ada dasarnya. Yang jelas, sebuah masjid yang dibangun harus mendapatkan izin tambahan dari beberapa keusyik. Kami menyimpulkan tidak ada dasar aturan yang jelas tentang ini,” tegasnya.

Baca: Tokoh Agama Belum Berperan Maksimal Wujudkan Toleransi

Athaillah menilai FKUB telah bertindak di luar kewenangannya sesuai PBM Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006, yang seharusnya hanya memberikan izin rekomendasi tertulis, bukan justru memperbesar masalah dan memicu perselisihan. “Ingat bukan FKUB yang mengeluarkan izin hanya dari bupati, dan bupati meminta rekomendasi FKUB. Kami melihat apa yang dilakukan FKUB sudah berperan seperti KP2TSP (Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu),” ungkap Athaillah (Ribas).

Exit mobile version