Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (7) ; Surat Al-Baqarah Ayat 183-187
Demikian pula, sesuai zahir ayat 184 al-Baqarah di atas, boleh seluruh fidyah itu diberikan kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah berupa memberikan makanan, boleh diberikan dalam satu hari saja kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari tidak berpuasa (memberi makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin karena membayar fidyah puasa 30 hari). Ini merupakan pandangan yang dianut oleh kebanyakan ulama Syafiiah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah. Ibn Muflih (w 763/1362) dan Ibn al-Mardawi (w 885/1480), keduanya dari mazhab Hanbali, menegaskan,
“Boleh menyalurkan pemberian makan kepada satu orang miskin secara sekaligus.” (Ibn al-Muflih, Kitab al-Furu‘, diedit oleh at-Turki (Riyad: Dar al-Mu’ayyad li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, dan Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1424/2003), Ibn al-Mardawi, al-Insaf fī Ma‘rifat ar-Rajih min al-Khilaf (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418/1997), IV: 448; III: 263). Artinya seluruh fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin saja. Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w 676/1277), seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudat at-Talibin. (An-Nawawi, Raudat at-Talibin, diedit oleh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwat (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423/2003), II: 246).
Al-Bahuti (w 1046/1636) dalam Kasysyaful-Qina’ mendasarkan kebolehan tersebut kepada zahir ayat fidyah 184 al-Baqarah di atas. (Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina‘ ‘an Matn al-Iqna‘, diedit oleh Muhammad Amin ad-Dunawi (Beirut: ‘Alam al-Kutub li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1417/1997), II: 136).
Seperti halnya memberikan seluruh fidyah boleh kepada satu orang, maka boleh pula memberikan fidyah, bila dalam bentuk makanan siap santap, kepada tiga puluh orang miskin dalam satu hari saja, sesuai dengan zahir ayat fidyah di atas, juga sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sahabat Anas Ibn Malik ra, salah seorang Sahabat Nabi saw yang ketika di usia tua tidak mampu lagi berpuasa, lalu beliau mengundang makan 30 orang miskin untuk satu hari saja. (Ibn Mallas an-Numairi, Ahadis Muhammad Ibn Hisyam Ibn Mallas an-Numairi, diedit oleh asy-Syahri (Riyad: Maktabat Adwa’ as-Salaf, 1419/1998), h. 114, asar no. 17).
Adapun mendahulukan fidyah sebelum masuknya bulan Ramadhan tidak dapat dibenarkan karena fidyah itu adalah pengganti dari suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan karena uzur tetap. Sementara puasa Ramadhan sendiri, sebelum masuknya bulan Ramadhan, belum wajib dilaksanakan, jadi belum ada kewajiban sehingga karenanya tidak mungkin ada fidyah pengganti kewajiban.
Mengenai wujud fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap santap seperti dilakukan oleh Anas Ibn Malik ra dalam riwayat Ibn Mallas di atas, (2) bahan pangan seperti gandum, cantel, tamar, atau, di Indonesia, beras. Hal ini dipahami dari keumuman kata ta’am (makanan) di dalam ayat fidyah (Q. 2: 184) di atas.
Dalam Hadits-Hadits Nabi saw kata ta’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap sebagaimana dalam Hadits Jābir yang menjelaskan sabda Rasulullah saw bahwa apabila seseorang diundang makan (du‘iya ila ta‘am) hendaklah ia memenuhinya (Muslim, Sahih Muslim, I: 660, Hadits no. 105 [1430], “Kitab an-Nikah, Bab al-amr bi Ijabat ad-Da‘i ila Da‘wah”). Dalam Hadits ini kata ta’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam Hadits lain kata ta’am berarti bahan pangan, misalnya dalam Hadits Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Rasulullah saw suatu ketika lewat dekat seorang lelaki yang menjual bahan pangan (ta’am). (Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 552, hadis no. 3452, “Kitab Kitab al-Buyu‘, Bab fi an-Nahy ‘an al-Gasysy”).
Dalam Hadits ini dan banyak Hadits lainnya kata ta’am berarti bahan pangan. Jadi oleh karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam bentuk bahan pangan. Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah bahan pangan yang berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di Indonesia bahan pangan pokok adalah beras, yang dibayarkan sebanyak 6 ons untuk satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.
Fidyah dapat dibayarkan dalam bentuk uang senilai makanan atau bahan pangan yang diberikan kepada orang miskin. Mengenai pembayaran fidyah dengan uang ini memang terdapat perbedaan pendapat ulama. Ada fatwa-fatwa yang tidak membenarkannya, sementara fatwa-fatwa lain membolehkannya. Apabila dilihat dari segi sifat likuid dari uang sehingga lebih luwes dan dapat digunakan untuk kebutuhan yang diprioritaskan oleh orang miskin, maka pendapat yang membolehkan pembayaran fidyah dengan uang adalah lebih rajih. Ulama-ulama Hanafi ketika membolehkan memberikan zakat fitrah kepada orang miskin dalam bentuk uang beralasan bahwa uang lebih likuid sifatnya dan lebih luwes penggunaannya. Selain itu juga karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah adalah kewajiban yang terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang dikaitkan kepada jenis harta tertentu. Atas dasar itu dapat ditegaskan bahwa pembayaran fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah fidyah.
Penggalan akhir ayat 184 berbunyi Barang siapa mengerjakan kebajikan dengan suka rela, maka itu lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Kata tatawwa‘a (تطوع , yang dalam tafsir ini diterjemahkan ‘mengerjakan kebajikan dengan suka rela’) berasal dari kata ‘taat’ sehingga berarti menjalankan secara suka rela perbuatan kebajikan yang tidak diwajibkan guna menunjukkan ketaatan. Dengan demikian bagian pertama dari penggalan akhir ayat di atas bermakna ‘barang siapa dengan suka rela menjalankan kebajikan lebih dari yang diwajibkan, maka itu lebih baik baginya.’
Terkait dengan bagian pertama dari penggelan akhir ini umumnya para mufasir menghubungkannya kepada pernyataan sebelumnya Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya (sehingga tidak berpuasa) diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Bagian pertama dari penggalan akhir tersebut dipandang menjelaskan masalah pembayaran fidyah dalam statemen ini. Atas dasar itu, menurut tafsir-tafsir tersebut, ada tiga kemungkinan kebajikan suka rela terkait fidyah, yaitu:
1) memberi makan lebih dari satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa,
2) memberi makan satu orang miskin lebih dari satu porsi untuk satu hari tidak berpuasa, atau
3) melakukan puasa, meskipun tidak wajib, di samping membayar fidyah yang diwajibkan, artinya menggabungkan fidyah dan puasa. (At-Tabari, Tafsir at-Tabari (Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, diedit oleh ‘Abdullahn Ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki (Kairo: Hajar li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘ wa al-I‘lan, 1422/2001), III: 183-186, khususnya h. 183 dan 185; ar-Razī, Tafsīr al-Fakhr ar-Razī (at-Tafsir al-Kabir / Mafatih al-Gaib) (Bairut: Dar al-Fikr at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1401/1981), V: 88; Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, II: 194; Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 192; dan Al-Maragī, Tafsīr al-Maragī, II: 72-73).
Muhammad Rasyid Rida tidak menyetujui penafsiran ini dan menganggap tidak tepat menghubungkan frasa tersebut kepada soal pembayaran fidyah saja karena, menurut beliau, tidak masuk akal orang yang sudah digugurkan kewajibannya dan diganti dengan fidyah didorong lagi untuk mengerjakan kebajikan tambahan di luar kewajiban. Menurut beliau frasa itu berkaitan dengan kewajiban puasa yang disebutkan pada permulaan ayat 184 dan menjelaskan bahwa orang diseyogiakan tidak hanya mengerjakan kewajiban puasa Ramadhan saja melainkan juga mengerjakan puasa-puasa lain yang tidak diwajibkan sebagai ibadah yang bersifat suka rela. (Rida, Tafsir al-Manar, II: 128). Abu Hayyan, sebelumnya, juga mencatat adanya penafsiran seperti ini dan beliau menilainya terlalu jauh. (AbuHayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 192-193). Memang penafsiran ini kelihatannya meloncati tiga kelompok orang yang diberi keringanan dalam menjalankan puasa. Barang kali lebih tepat bagian penutup ayat 184 ini dipandang sebagai penjelasan mengenai ketiga kelompok orang tersebut.• Bersambung