Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (8) ; Surat Al-Baqarah Ayat 183-187

Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (8) ; Surat Al-Baqarah Ayat 183-187

SUARA MUHAMMADIYAH, Dari tafsir bagian ayat mengenai ketiga kelompok orang tersebut terlihat bahwa tidak ada ukuran yang pasti dan kategoris mengenai sakit, perjalanan, atau keadaan memberatkan yang menjadi alasan tidak berpuasa Ramadhan. Hal itu sangat kondisional, artinya tergantung kepada keadaan masing-masing orang bersangkutan. Bagian penutup ayat ini memberikan pegangan kepada masing-masing orang tersebut dalam menilai keadaan diri mereka bahwa asas yang menjadi patokan bagi mereka adalah bahwa sedapat-dapatnya mereka melaksanakan puasa Ramadhan, sepanjang pelaksanaan puasa itu tidak menimbulkan mudarat atau tidak membuat mereka menderita secara berlebihan, karena pelaksanaan puasa tersebut –meskipun boleh tidak dijalankan atas alasan sakit, dalam perjalanan atau keadaan memberatkan– adalah suatu kebajikan yang akan memberikan kebaikan kepada mereka sendiri.
Terdahulu telah dikemukakan bahwa sakit atau perjalanan itu –dan keadaan memberatkan dapat pula dianalogkan dengan ini– ada tiga macam, yaitu (1) sakit atau perjalanan yang sama sekali tidak memungkinkan untuk melakukan puasa dan kondisi ini mengharuskan iftar, (2) sakit atau perjalanan yang masih memungkinkan melaksanakan puasa tetapi sangat membuat orang menderita dan dalam kondisi ini orang lebih afdal tidak berpuasa karena syariah tidak bertujuan untuk menderitakan penganutnya, dan (3) sakit atau perjalanan yang sangat memungkinkan melaksanakan puasa dengan tanpa banyak kesukaran sehingga puasa dalam kondisi ini menjadi lebih afdal dilaksanakan.
Terkait kondisi ketiga yang disebutkan di atas, bagi penggandrung ibadah, penutup ayat ini dengan kedua penggalannya merupakan kabar gembira dan sekaligus pemberi kemantapan hati bahwa puasa yang dilakukannya, meskipun saat itu tidak wajib ia laksanakan dan boleh ia tunda, merupakan suatu kebajikan yang akan membawa kebaikan yang lebih besar kepada dirinya. Bagi orang yang melaksanakan ibadah sekedar memenuhi kewajiban, maka penutup ayat ini dengan kedua penggalannya secara tidak terpisah merupakan peringatan agar sedapatnya dan diseyogiakan ia melaksanakan puasa, meskipun ada alasan baginya untuk menunda pelaksanaannya di hari lain, karena hal itu merupakan suatu kebajikan yang lebih baik baginya dan karena pelaksanaan puasa itu menjadi tujuan utama dalam pesan ayat-ayat pada pase ini.
Begitu pula orang yang mengalami kesukaran (masyaqqah), seperti orang lanjut usia, wanita hamil dan atau menyusui, pekerja berat dan semacam itu, sedapatnya dan diseyogiakan berpuasa sepanjang tidak membuat mereka terlalu menderita. Memang tidak ada ukuran yang eksak tentang masyaqqah itu dan penentuannya diserahkan kepada yang bersangkutan untuk mengukur kemampuan diri mereka dengan patokan bahwa sedapatnya orang harus berpuasa karena hal itu akan lebih baik jika hikmah dan makna spiritual dari puasa itu benar-benar dipahami.
Jadi penutup ayat tersebut hendak mengantisipasi kemungkinan orang bermudah-mudah untuk menentukan tidak berpuasa ketika menghadapi salah satu keadaan di atas. Pada sisi lain penutup ayat itu juga hendak menegaskan nilai spiritualitas dan makna simbolik yang mendalam yang terdapat pada puasa sehingga karenanya sedapat mungkin dilaksanakan.

D. Kewajiban Berpuasa itu adalah di Bulan Ramadhan (Ayat 185)
Ayat ini dimulai dengan frasa bulan Ramadhan (syahru Ramadhan). Terdapat perbedaan pendapat para mufasir dalam melakukan analisis gramatikal terhadap frasa tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa frasa bulan Ramadhan merupakan subyek kalimat dan predikatnya adalah pernyataan selanjutnya, yaitu yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an. Atas dasar itu ayat tersebut dibaca, Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an … Tafsir tersebut umumnya didasarkan atas asumsi adanya nasakh dalam ayat-ayat puasa ini. Menurut tafsir tersebut pernyataan pada ayat sebelumnya pada hari-hari tertentu dimaksudkan tiga hari setiap bulan, atau hari-hari putih (ayyam al-bid), yaitu tanggal 13-15 setiap bulan, dan ada pula yang menambahkan hari Asyura. Jadi penegasan diwajibkan atasmu berpuasa pada hari-hari tertentu itu maksudnya diwajibkan atasmu melakukan puasa pada hari Asyura dan puasa pada hari-hari putih atau puasa tiga hari setiap bulan. Ini adalah awal mula pewajiban puasa. Kemudian puasa Asyura dan puasa hari-hari putih atau tiga hari setiap bulan itu dinasakh dan diganti dengan kewajiban puasa Ramadhan yang ditegaskan oleh ayat 185 ini, sedang puasa-puasa yang dinasakh itu dijadikan sunat hukumnya. Jadi ayat 185 ini menasakh ayat sebelumnya. (Ibid., II: 193-194). Pendapat kedua menyatakan bahwa frasa bulan Ramadhan adalah predikat dari subyek yang dilesapkan (diidmarkan / tidak disebutkan). Subyek yang tidak disebutkan itu adalah ‘Hari-hari tertentu’ yang disebutkan pada ayat sebelumnya atau kata ganti nama yang merujuk kepada ‘hari-hari tertentu’ itu. Sedangkan anak kalimat yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an adalah keterangan sifat (ajektif) yang menjelaskan predikat bulan Rama­dhan. Dengan pemahaman konstruksi gramatikal seperti ini ayat tersebut dibaca (Hari-hari tertentu itu adalah) bulan Ramadhan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan. Masih terdapat beberapa pendapat lain. (Ar-Razi, Tafsir al-Fakhr ar-Razi, V: 90; dan Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhīt, II: 193-194).
Pendapat pertama mengasumsikan adanya nasakh dalam ayat-ayat puasa ini. Teori nasakh sebenarnya sudah semakin dihindari dalam pemahaman al-Qur’an. Muhammad Rasyid Ridha menegaskan, “Kaidahnya adalah bahwa selagi hukum-hukum dapat dipahami tanpa nasakh, maka tidak digunakan nasakh.” (Ridha, Tafsir al-Manar, II: 127). Pada bagian lain, ia juga mengkritik kegemaran beberapa ulama untuk mencari-cari nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. (Ibid., II: 121). Pendapat pertama yang menjadikan Bulan Ramadhan sebagai subyek dan frasa yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sebagai predikat terlihat memutuskan keterkaitan yang erat ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya. Lagi pula sebagaimana dikemukakan oleh Abu ‘Ali yang dikutip oleh ar-Razi, pendapat tersebut lebih menegaskan bulan Ramadhan itu adalah bulan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sehingga meniadakan kesan pada frasa itu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan di mana puasa diwajibkan.
Sebaliknya menurut pendapat kedua, ketiga ayat itu (183, 184, dan 185) terkait erat satu sama lain di mana ayat-ayat itu menegaskan (1) diwajibkan berpuasa atas orang-orang beriman, (2) kewajiban berpuasa itu adalah pada hari-hari tertentu, dan (3) hari-hari tertentu itu adalah bulan Ramadhan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu Tafsir at-Tanwir lebih cenderung membaca ayat 185 ini sesuai pendapat kedua ini, sehingga ayat itu diterjemahkan (Hari-hari tertentu itu) adalah bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an.
Sebagaimana dikemukakan di atas, ayat 185 ini menegaskan bahwa puasa diwajibkan kepada orang-orang beriman pada hari-hari tertentu dan hari-hari tertentu itu adalah bulan Ramadhan. Ayat ini sekaligus memuat alasan mengapa bulan Ramadhan dipilih untuk dijadikan bulan diwajibkannya berpuasa. Alasan itu dapat disimpulkan dari ayat ini sebagai berikut:
1.    Karena bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sehingga bulan itu menjadi bulan mulia dan penting dan karenanya layak dipuasai.
2.    Al-Qur’an yang diturunkan pada bulan Ramadhan itu merupakan petunjuk bagi manusia dan merupakan ayat-ayat yang jelas dari petunjuk Allah dan pembeda antara yang hak dan yang batil, dan petunjuk itu adalah anugerah ilahi yang besar sehingga karena itu bulan di mana petunjuk itu diturunkan layak dipuasai sebagai perwujudan rasa syukur atas anugerah petunjuk itu. Karenanya ayat ini ditutup dengan penegasan agar kamu bersyukur. Dengan kata lain bulan Ramadhan dipilih untuk dijadikan bulan berpuasa adalah agar manusia ingat dan mensyukuri anugerah petunjuk dari Allah yang diturunkan pada bulan itu.
3.    Diturunkannya al-Qur’an pada bulan Ramadhan itu adalah pada suatu malam dari bulan tersebut yang penuh berkah (Qs [44]: 3), yaitu malam kemuliaan atau malam kadar (Qs [97]: 1), karenanya bulan Ramadhan yang mengandung malam kemuliaan itu layak untuk dipuasai.

Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan penurunan al-Qur’an pada bulan Ramadhan itu adalah awal mula turunnya al-Qur’an, bukan turunnya al-Qur’an secara keseluruhan. Turunnya al-Qur’an secara keseluruhan adalah secara bertahap selama masa kerasulan Nabi Muhammad saw. Wahyu al-Qur’an yang pertama turun di bulan Ramadhan itu adalah permulaan surat al-‘Alaq ayat 1-5. Kelima ayat tersebut dapat dipandang sebagai fundasi pembangunan peradaban manusia karena ayat-ayat itu berisi perintah membaca yang berarti perintah mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, diperintahkannya berpuasa pada bulan di mana perintah itu diturunkan adalah agar perintah tersebut tetap dikenang dan dihayati oleh umat Islam guna melestarikan dan mengembangkan peradabannya. Ini barangkali merupakan alasan keempat mengapa bulan Ramadhan dipilih untuk dipuasai.
Tidak ada penegasan yang pasti di dalam al-Qur’an sendiri maupun dalam Hadits tentang tanggal persisnya kitab suci ini diturunkan pertama kali. Namun dapat dibuat perkiraan berdasarkan data yang ada. Data dimaksud adalah:
1.    al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan seperti ditegaskan dalam ayat ini.
2.    al-Qur’an diturunkan pertama kali pada malam hari karena dalam al-Qur’an sendiri ditegaskan bahwa Allah menurunkannya pada suatu malam yang penuh berkah (Qs [44]: 3), yaitu malam kemuliaan atau malam kadar (Qs [97]: 1).
3.    al-Qur’an diturunkan pertama kali pada hari Senin, karena sebagai diterangkan dalam beberapa Hadits sahih, ketika ditanya tentang puasa sunat hari Senin Nabi saw menjelaskan bahwa hari Senin adalah hari beliau dilahirkan dan hari beliau menerima wahyu pertama. (Muslim, sahih Muslim, I: 520-521, hadits no. 197 dan 198 [1162], “Kitab as-Siyam”; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, h. 388, hadits no. 2426, “Kitab as-Saum, Bab fi Saum ad-Dahr Tatawwu‘an”; dan Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVII: 224, Hadits no. 22537, dan XXXVII: 228-229, Hadits no. 22541).
4.    Al-Qur’an diturunkan pada hari Furqan, yaitu hari (tanggal) bertemunya dua pasukan [Q.S. 8: 41]. Para ahli tafsir dan ahli sejarah menyatakan bahwa hari Furqan di mana dua pasukan bertemu itu adalah hari perang Badar pada tahun 2 Hijriah. (At-Tabari, Tafsir At-Tabari, XI: 201-202; dan Rida, Tafsir al-Manar, X: 16). Tetapi para ahli sejarah tidak sepakat tentang tanggalnya. Beberapa riwayat menyatakan perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, dan ada pula yang menyatakan tanggal 19 Ramadhan. (At-Tabari, Tarikh at-Tabari, diedit oleh Muhammad Ab­ al-Fadi Ibrahim, cet. ke-2 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.), II: 418-420; Ibn al-Asir, al-Kamil fī at-Tarikh, diedit oleh Muhammad Yusuf ad-Daqqaq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407/1987), II: 14; dan Ibn Kasir, al-Bidayah wa an-Nihayah, diedit oleh ‘Abdullah Ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki (Kairo: Hajar li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘ wa al-I‘lan, 1418/1997), V: 85).
5.    Lama Nabi saw tinggal di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah ke Madinah direken antara 10 hingga 15 tahun kamariah. Tidak ada kesepakatan mengenai ini. Riwayat yang bersumber kepada Anas menyatakan 10 tahun; riwayat yang bersumber kepada Ibn ‘Abbās kebanyakan mengatakan 13 tahun, tetapi ada juga riwayat dari beliau yang mengatakan 10 atau 15 tahun. (Ibn Kasir menghimpun berbagai riwayat tersebut dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, lihat Ibn Kasir, al-Bidah wa an-Nihayh, VIII: 110-115. Lihat juga al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 707, hadis no. 3902-3903). At-Tabari menyimpulkan bahwa lama Nabi saw tinggal di Makkah sejak wahyu pertama adalah 13 tahun, di mana 3 tahun pertama ia tidak menyerukan dakwahnya dan selama sepuluh tahun berikutnya beliau menyerukan dakwahnya, lalu berhijrah ke Madinah pada tahun ke-14 dari kenabiannya. (At-Tabari, Tarikh at-Tabari, II: 392). Tidak ada riwayat yang mengatakan 11, atau 12 tahun masa tinggal Nabi di Makkah sejak wahyu pertama hingga berhijrah. Para ahli tarikh umumnya memegangi riwayat 13 tahun.

Dari data 1, 2, dan 3 di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an diturunkan pertama kali pada malam Senin di bulan Ramadhan. Akan tetapi diperselisihkan tanggalnya. Menurut keyakinan yang banyak diterima, tanggal 17 Ramadhan, tetapi menurut riwayat lain tanggal 19 Ramadhan. Tahunnya juga tidak pasti. At-Tabari menyatakan bahwa Nabi saw berhijrah pada tahun ke-14 dari kenabiannya. Jadi al-Qur’an diturunkan pertama kali malam Senin tanggal 17 atau 19 Ramadhan tahun 14 SH (sebelum hijrah) apabila memegangi pendapat at-tabari.
Apabila dihitung secara falakiah, hari Senin 17 Ramadhan yang mendekati kemungkinan adalah hari Senin 17 Ramadhan 12 SH (sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan tanggal 02 Agustus 611 M.  (Ijtimak jelang Ramadhan tahun 12 SH (sebelum Hijriah) terjada pada hari Kamis 15 Juli 611 M. Tinggi toposentrik titik pusat bulan pada hari itu adalah 0º 20’ 46” (kurang dari 0,5º). Tinggi pada hari berikutnya (Jumat 16 Juli 611) adalah 11,5º. Tanggal 1 Ramadhan 12 SH jatuh pada hari Sabtu 17 Juli 611 M. Tanggal 17 Ramadhan 12 SH jatuh hari Senin 02 Agustus 611 M). Berdasarkan ini Nabi saw berada di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 11 tahun 5 bulan beberapa hari (11,5 tahun). Tetapi tidak ada riwayat tarikh yang mendukung ini. Kalau dipegangi tanggal 19 Ramadhan, maka ada dua alternatif yang mungkin. Pertama, hari Senin 19 Ramadhan 11 SH (sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan tanggal 22 Juli 612 M. (Ijtimak jelang Ramadhan tahun 11 SH (sebelum Hijriah) terjada pada hari Selasa 04 Juli 612 M. Tinggi toposentrik titik pusat bulan pada hari itu hanya 3º 00’ 22”, elongasi 04º 45’ 39”, dan lebar hilal (crescent width) 00º 00’ 03”. Nilai parameter ini belum memungkinkan terlihatnya hilal dengan mata telanjang menurut kriteria ‘Audah, Istanbul 1978, Ilyas, Yallop dan lain-lain. Oleh karena itu tanggal 1 Ramadhan 11 SH jatuh pada hari Kamis 06 Juli 612 M. Tanggal 19 Ramadhan 11 SH jatuh hari Senin 24 Juli 612 M). Berdasarkan ini, Nabi saw berada di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 10 tahun 5 bulan beberapa hari (10,5 tahun). Ini cocok dengan riwayat Anas yang menyatakan keberadaan Nabi saw sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 10 tahun, dengan membulatkan ke bawah sebagaimana kebiasaan orang Arab. Kedua, hari Senin 19 Ramadhan 14 SH (sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan tanggal 25 Agustus 609 M. (Ijtimak jelang Ramadhan tahun 14 SH (sebelum Hijriah) terjada pada hari Selasa 05 Agustus 609 M. Tinggi toposentrik titik pusat bulan pada hari itu adalah 2º 6’ 03”. Ketinggian ini belum memungkinkan hilal untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Oleh karena itu tanggal 1 Ramadhan 14 SH jatuh pada hari Kamis 07 Agustus 609 M. Tanggal 19 Ramadhan 14 SH jatuh pada hari Senin 25-08-609). Berdasarkan ini, Nabi saw berada di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 13 tahun 5 bulan beberapa hari (13,5 tahun). Ini cocok dengan riwayat yang banyak dipegangi yang menyatakan keberadaan Nabi saw di Makkah sejak menerima wahyu pertama hingga berhijrah adalah 13 tahun, dengan membulatkan ke bawah sebagaimana kebiasaan orang Arab. Ini sesuai pula dengan pernyataan at-Tabari bahwa Nabi saw hijrah ke Madinah pada tahun ke-14 kenabiannya. Kalau ini adalah alternatif yang dianggap paling mungkin, maka kita harus menerima pandangan turunnya al-Qur’an adalah pada tanggal 19 Ramadhan, bukan 17 Ramadhan seperti banyak diyakini. Persisnya al-Qur’an diturunkan pada malam Senin, 19 Ramadhan 14 SH yang betepatan dengan 25 Agustus 609 M.
Lebih lanjut ayat 185 ini menegaskan al-Qur’an sebagai (1) petunjuk bagi umat manusia dan (2) sebagai bukti nyata dari petunjuk dan pembeda hak dan batil yang diturunkan Allah. Pernyataan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk untuk umat manusia mengekspresikan bahwa kitab suci ini tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Hal ini bukan suatu yang berlebihan. Di dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak pesan-pesan universal yang dapat dipedomani oleh siapa pun yang mau menghayatinya, seperti pesan-pesan mengajak kepada kebaikan semisal membantu kaum yang lemah atau menginfakkan sebagian kekayaan yang kita miliki untuk kesejahteraan umum, serta pesan-pesan mengajak menghindari segala hal yang buruk semisal makan harta sesama dengan jalan batil termasuk perbuatan korupsi yang tidak ragu lagi merupakan makan harta sesama dengan jalan batil.• Bersambung

Exit mobile version