Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (9); Surat Al-Baqarah Ayat 183-187

Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (9); Surat Al-Baqarah Ayat 183-187

Ilustrasi

Suara Muhammadiyah, Memang pada sejumlah ayat lain dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa (Qs [2]: 2) atau bagi orang-orang mukmin (Qs [27]: 2) dan di beberapa tempat lain. Ini tidak mengurangi Al-Qur’an sebagai petunjuk universal bagi semua manusia karena pernyataan-pernyataan ini umumnya muncul dalam konteks diskusi dengan orang-orang yang menolak dan tidak menerima Al-Qur’an. Sedangkan dalam ayat 185 yang sedang ditafsirkan ini konteks pernyataan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (petunjuk universal) adalah ketika menyatakan fungsi Al-Qur’an itu sendiri pada dirinya, bukan dalam konteks mendiskusikan penolakan orang tidak beriman.
Lanjutan ayat 185, Karena itu, barang siapa di antara kamu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya, dan barang siapa sakit atau sedang dalam perjalanan (sehingga tidak berpuasa), maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak berpuasa untuk diganti). pada hari-hari yang lain merupakan penegasan terhadap pangkal ayat. Pangkal ayat menyatakan bahwa hari-hari di mana puasa diwajibkan adalah bulan Ramadhan. Potongan ini melanjutkan bahwa oleh karena itu barang siapa yang telah memastikan masuknya bulan hendaklah berpuasa selama bulan tersebut. Teks Arabnya berbunyi fa man syahida minkumusy-syahra falyasumhu.
Kata syahida mempunyai beberapa arti antara lain pertama berarti hadara ‘hadir, berada di tempat, tidak berpergian ke luar’. Kedua berarti ‘alima ‘mengetahui’. Syahidallahu berarti ‘alimallahu ‘Allah mengetahui’. Asy-syahid berarti al-‘alim ‘orang yang mengetahui’. Asyhadu an la ilaha illallahu ‘saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah’ dalam pengertian saya mengetahui dengan pasti bahwa tiada Tuhan selan Allah. Ketiga, berarti memberikan kesaksian dalam arti menyampaikan apa yang diketahuinya. (Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.), h. 2348; az-Zabidi, Taj al-‘Arus, VIII: 254 dan 259). Kata asy-syahr berarti ‘bulan’ dalam pengertian (1) periode waktu 29 atau 30 hari dan inilah pemakaian yang banyak berlaku, dan (2) bulan di langit menjelang sempurnanya. Kata tersebut berasal dari kata syuhrah dan kata kerja syahara yang berarti jelas, tampak terang, menonjol, masyhur. Bulan di langit disebut asy-syahr karena menonjolnya dalam arti tampak jelas dan terangnya. (Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, h. 2351; az-Zabidi, Taj al-‘Arus, XII: 263).
Frasa fa man syahida minkum asy-syahra () dapat diberi beberapa kemungkinan terjemahan sesuai analisis gramatikal tertentu:
1.     Kemungkinan pertama, men­jadikan kata asy-syahr () sebagai keterangan waktu dan kata syahida () diartikan ‘berada di tempat’/‘tidak bepergian’. Sehingga frasa itu diterjemahkan Karena itu, barang siapa di antara kamu berada di tempat pada bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya.
2.     Kemungkinan kedua, menjadikan kata asy-syahra () sebagai obyek (maf‘ul bih) dari kata kerja syahida. Analisis gramatikal ini mengharuskan adanya pelesapan (idhmar). Terdapat dua interpretasi terhadap kata yang dilesapkan itu, yaitu:
a.     Kata yang dilesapkan itu ada­lah “masuknya” (dukhul) dan kata syahida () diartikan mengetahui. Berdasarkan analisis gramatikal ini, frasa tersebut dibaca, Karena itu, barang siapa di antaramu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya.
b.     Kata yang dilesapkan itu adalah “hilal”. Menurut analisis ini, ayat itu dibaca, Karena itu, barang siapa menyaksikan (hilal) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya.  (Al-‘Ukbari, at-Tibyan fi I‘rab al-Qur’an (Amman – Riyad: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah, t.t.), h. 49).

Tafsir at-Tanwir mengikuti penafsiran 2.a., sehingga potongan ayat tersebut secara keseluruhan diterjemahkan, Karena itu, barang siapa di antara kamu mengetahui (masuknya) bulan itu, maka hendaklah ia mempuasainya. Alasannya adalah:
1.    Sebab wajibnya melaksanakan puasa Ramadhan adalah diketahuinya dengan pasti masuknya bulan tersebut, bukan keberadaan di tempat.
2.    Terjemahan pertama dapat menjurus kepada pengertian bahwa puasa Ramadhan adalah puasanya orang mukim, sehingga apabila ia musafir, maka tidak ada kewajiban puasa atasnya selama safar, dalam arti apabila ia tetap berpuasa karena ia mampu melakukannya, maka puasanya tidak memadai sehingga ia tetap wajib menggantinya di hari lain ketika telah kembali ke tempat mukimnya. Pada pemaparan terdahulu pendapat ini telah dikritik.
3.    Terjemahan 2.a. (memaknai syahida dengan mengetahui secara pasti) lebih sesuai dengan lanjutan ayat yang menyebutkan dua pengecualian terhadap kewajiban berpuasa Ramadhan saat telah mengetahui masuknya bulan, yaitu orang sakit atau musafir. Sementara terjemahan pertama mengesankan suatu pengulangan, yaitu puasa diwajibkan kepada orang yang berada di tempat (tidak bersafar), padahal di belakang disebutkan lagi pengecualian tersebut.
4.     Adapun terjemahan 2.b., Karena itu, barang siapa melihat (hilal) bulan itu menurut Ibn ‘Asyur tidak tepat karena tidak ada kata syahida () yang berarti melihat,  (Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, II: 174; dan Ab­ Hayyan, al-Bahr al-Muhit, II: 198) dan dinyatakan sebagai pendapat yang daif oleh Abū al-Baqa’ al-‘Ukbari (w. 616/1219). (Al-‘Ukbari, at-Tibyan, h. 49). Lagi pula pada ujung penggalan itu ada anak kalimat fal yasumhu () yang berarti ‘hendaklah ia mempuasainya.’ Kata ganti nama ‘nya’ di sini merujuk kepada asy-syahr dan apabila asy-syahr diartikan hilal, berarti puasa yang wajib hanya selama hilal. Ini jelas tidak tepat.

Jadi dari uraian di atas menjadi jelas bahwa maksud potongan ayat di atas adalah untuk menjelaskan sebab timbulnya kewajiban berpuasa, yaitu masuknya bulan Ramadhan yang diketahui secara pasti. Namun diingatkan kembali bahwa orang sakit atau orang musafir tidak diwajibkan melakukannya selama sakit atau dalam perjalanan, akan tetapi apabila ia tetap mengerjakannya meskipun sakit atau dalam perjalanan, puasa itu sah dilakukannya dan tidak perlu lagi menggantinya di hari yang lain. Hanya apabila mereka tidak melakukannya selama sakit atau dalam perjalanan, mereka wajib menggantinya pada hari lain di luar Ramadhan.
Hal penting terkait ayat puasa ini adalah masalah bagaimana cara mengetahui masuknya bulan Ramadhan untuk memulai ibadah puasa. Dalam ayat di atas tidak ada penegasan tentang itu. Penegasan mengenai hal tersebut disebutkan di dalam Sunnah Nabi saw, yaitu antara lain dua Hadits berikut:


Dari ‘Abdullāh Ibn ‘Umar ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika ia terhalang oleh awan di atasmu, maka estimasikanlah [HR Muslim].  (Muslim, Sahih Muslim, I: 481, hadits no. 8 [1080], “Kitab as-Siyam,” dari Ibn ‘Umar).

Dari Abu Hurairah ra (diriwayatkan) bahwa Nabi saw bersabda: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangannya [H.R. Muslim]. (Ibid.,  I: 482, no. 17 [1081], “Kitab as-Siyam,” dari Abu Hurairah).
Menurut kedua Hadits di atas penentuan masuknya Ramadhan dan Syawal adalah dengan melakukan rukyat. Itulah mengapa kebanyakan kaum Muslimin berpegang kepada rukyat dalam penentuan awal bulan-bulan ibadah. Akan tetapi untuk zaman sekarang di mana keberadaan umat Islam telah menyebar di seluruh penjuru bola bumi yang bulat ini bahkan sampai ke pulau-pulau terpencil di Samudra Pasifik, penggunaan rukyat menimbulkan banyak problem.
1.    Rukyat terbatas kaverannya di muka bumi dalam arti pada visibilitas pertama rukyat tidak dapat mengkaver seluruh kawasan dunia; ia hanya mengkaver sebagian muka bumi saja sehingga berakibat ada bagian muka bumi (sebelah barat) yang sudah dapat melihat hilal pada sore tertentu dan mulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan ada pula bagian muka bumi yang belum dapat melihat hilal dan akan memulai bulan baru lusa. Akibatnya terjadi perbedaan memulai bulan baru. Di zaman Nabi saw penggunaan rukyat tidak menimbulkan masalah karena pada zaman itu umat Islam masih terbatas di Jazirah Arab, belum meluas ke bagian dunia lainnya, sehingga terlihat dan tidak terlihatnya hilal di jazirah Arab tidak membawa dampak kepada kawasan lain karena belum ada umat Islam di tempat itu.
2.    Kawasan dunia yang terletak pada lintang tinggi di mana siang pada musim panas dan malam pada musim dingin lebih dari 24 jam, tidak dapat melakukan rukyat secara normal dan hilal akan terlihat terlambat, yakni ketika usia bulan sebenarnya sudah lebih tua.
3.    Rukyat tidak bisa memberikan kepastian tanggal jauh ke depan karena dengan rukyat tanggal yang pasti untuk bulan baru hanya bisa diketahui sehari sebelumnya (h-1).
4.    Penggunaan rukyat dapat menga­kibatkan orang yang bepergian lintas negara dalam bulan Ramadhan dan mengakhiri Ramadhan di negara tujuan hanya berpuasa 28 hari.
5.    Dengan rukyat tidak bisa dibuat kalender yang akurat dan eksak (pasti) karena kalender menghendaki penjadwalan tanggal jauh hari ke depan sementara rukyat tidak bisa meramal tanggal jauh ke depan, padahal bagi kita dalam kehidupan sehari-hari kepastian tanggal itu sangat penting agar kita dapat menyusun dan merencanakan kegiatan kita secara tepat dan baik. Itulah mengapa peradaban Islam sampai hari ini tidak mampu membuat kalender pemersatu seluruh dunia karena kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat yang tidak memungkinkan membuat kalender, walaupun usia peradaban ini hampir 1.500 tahun.
6.    Rukyat tidak bisa menyatukan jatuhnya hari Arafah secara serentak di seluruh kawasan dunia karena keterbatasan kaveran rukyat di muka bumi dan hari Arafah adalah hari ibadah yang waktu pelaksanaannya terkait dengan peristiwa wukuf di Arafah (Makkah). Hanya dengan menggunakan hisab peluang penyatuan jatuhnya hari Arafah secara serentak di seluruh dunia dapat dilakukan.

Oleh karena itu jalan satu-satunya untuk menyatukan sistem penanggalan Islam termasuk penentuan awal bulan-bulan ibadah adalah hisab. Atas dasar itu tuntutan untuk menggunakan hisab semakin menguat sejalan dengan semakin tumbuhnya kesadaran atas tidak memadainya lagi rukyat pada masa kini sebagai metode untuk menetapkan awal bulan-bulan Islam. Jadi dapat ditegaskan bahwa peralihan kepada hisab merupakan suatu tuntutan yang tidak mungkin ditawar lagi. Peralihan dari rukyat ke hisab itu bukan suatu yang bertentangan dengan sunnah. Justru sebaliknya memiliki landasan syar’i dan ilmiah yang kuat. Di antara alasan beralih dari rukyat kepada hisab adalah:
1.    adanya sejumlah kelemahan penggunaan rukyat pada masa kini sebagaimana dikemukakan terdahulu,
2.    perlunya kita menyatukan kalender Islam dan secara khusus perlunya menyatukan jatuhnya hari Arafah serentak di seluruh dunia agar kita dapat melaksanakan ibadah tepat pada momen yang sesungguhnya, yang itu hanya dapat dilakukan dengan hisab,
3.    melakukan rukyat bukan ibadah, melainkan hanya sebagai sarana belaka yang bisa berubah dari satu zaman ke zaman lain, (Rida, Tafsir al-Manar, II: 151-152; az-Zarqa, Fatawa az-Zarqa (Damaskus: Dar al-Qalam – Beirut: Dar asy-Syamiyyah, 1425/2004), 161-162).
4.    perintah Nabi saw untuk melakukan rukyat itu adalah perintah berilat (perintah yang disertai dengan kausa),
5.    Penggunaan hisab juga memiliki landasan syar‘i baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam Hadits.

Perintah syar‘i yang disertai ilat (kausa) berlaku selama kausa itu ada. Apabila kausanya sudah tidak ada, perintah itu tidak berlaku lagi sesuai dengan kaidah, “Hukum itu berlaku menurut ada tidaknya ilat.” (Ibn al-Qayyim, I‘lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1424/2003), II: 394). Ilat (kausa) perintah rukyat diterangkan dalam Hadits Ibn ‘Umar berikut,

Dari Ibn ‘Umar, dari Nabi saw (diwartakan) bahwa beliau bersabda: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhari dan Muslim]. (Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, h. 346, hadis no. 1913; Muslim, Sahih Muslim, I: 482, hadits no. 15 [1080]).
Ini artinya bahwa Nabi saw memerintahkan rukyat karena itulah sarana mudah yang tersedia pada zaman itu. Ketika zaman berubah di mana kemajuan ilmu astronomi telah berkembang pesat seperti pada zaman sekarang, maka rukyat, karena tidak memadainya, dapat ditinggalkan dan kita beralih kepada hisab karena ia dapat memenuhi kebutuhan kita zaman sekarang.
Perubahan hukum dari semula menggunakan rukyat kemudian beralih kepada penggunaan hisab adalah sah sesuai dengan kaidah perubahan hukum, yang menyatakan,


Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. (Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Amm, edisi diperbaharui (Damaskus: Dar al-Qalam dan Beirut: ad-Dar asy-Syamiyyah, 1418/1919), II: 1009).

Menurut kaidah ini hukum dapat berubah apabila syarat-syarat perubahan itu dipenuhi, yaitu:
a).    adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah, yang berarti bahwa apabila tidak ada tuntutan dan keperluan untuk berubah, maka hukum tidak dapat diubah;
b.    hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdah, melainkan di luar ibadah mahdhah, yang berarti ketentuan-ketentuan ibadah mahdah tidak dapat diubah karena pada dasarnya hukum ibadah itu bersifat tidak tedas makna;
c.    hukum itu tidak bersifat qath’i (pasti); apabila hukum itu qath’i, maka tidak dapat diubah seperti ketentuan larangan makan riba, makan harta sesama dengan jalan batil, larangan membunuh, larangan berzina, wajibnya puasa Ramadhan, wajibnya shalat lima waktu, dan sebagainya;
d.    perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain. (Syamsul Anwar, “Metode Usul Fikih untuk Kontekstualisasi Pemahaman Hadits-hadits Rukyat,” Tarjih, Vol. 11 (1) 1434 H / 2013 M, h. 118).

Keempat syarat perubahan hukum sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya telah terpenuhi untuk me­lakukan perubahan hukum dari peng­gunaan rukyat kepada penggunaan hisab. Pertama, kenyataan tidak adanya kalender global hijriah, tidak dapatnya rukyat mengkaver seluruh umat Islam di semua penjuru dunia, dan terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah berbeda antara Makkah dan kawasan lain di timur atau di barat bumi pada tahun tertentu akibat penerapan rukyat, dan perlunya kepastian penentuan tanggal jauh hari sebelumnya, se­mua ini mengharuskan kita beralih kepada hisab demi mengatasi semua problem tersebut. Kedua, rukyat hanyalah sarana untuk menentukan waktu dan bukan ibadah itu sendiri. Oleh karena itu sarana dapat saja berubah demi mencapai tujuan pokok secara lebih efektif. (Rida, “Penetapan Bulan Ramadhan,” h. 88; dan Syah, al-Hisabat al-Falakiyyah, h. 125). Ketiga, perintah melakukan rukyat bukanlah perintah yang qath’ī karena perintah itu berdasarkan kepada Hadits ahad. Dalam kaidah ilmu Hadits dan usul fikih, Hadits ahad tidak menimbulkan pengetahuan pasti (qath’i), melainkan menimbulkan hukum yang tidak pasti (zhanni).  (Al-Gazzali, al-Mustasfa, h. 187). Oleh ka­rena hukum menggunakan rukyat itu bukan hukum yang qath’i, maka ia tidak kebal terhadap kemungkinan diadakan perubahan. Keempat, penggunaan hisab sebagai hukum hasil perubahan mendapatkan dasar-dasarnya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.•
Bersambung

Exit mobile version