YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id— Wacana kenaikan harga rokok dari sebelumnya kurang dari Rp 20.000 menjadi Rp 50.000 menimbulkan beragam reaksi di masyarakat. Dilihat dari segi kesehatan saja, hampir semua pihak menunjukkan persetujuannya. Namun dlihat dari sisi lainnya terutama aspek bisnis dan pemasukan negara, tidak sedikit juga pihak yang kontra dengan wacana yang terlanjur beredar luas itu.
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015, Prof Din Syamsuddin, di sela-sela acara Muktamar Nasyiatul Aisyiyah XIII di UMY pada Sabtu (27/8), menyatakan bahwa wacana itu dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya dan budaya rokok. Namun dalam menyikapi hal ini, sebut Din, pemerintah mengalami ambivalensi. Berada dalam situasi yang saling bertentangan dan gamang untuk mengambil sikap.
Selama ini, harga rokok di bawah Rp 20.000 dinilai menjadi penyebab tingginya jumlah perokok di Indonesia. Hal tersebut membuat orang yang kurang mampu hingga anak-anak sekolah mudah membeli rokok. Untuk itu, menaikkan harga rokok dianggap sebagai solusi terbaik. Namun, Din memiliki pendapat lain.
Di satu sisi, Din menginginkan supaya rokok dijadikan musuh bersama. Din sangat mengapresiasi jika ada yang berhenti merokok lalu memangalihkan uang yang dialokasikan untuk rokok kepada kegiatan-kegiatan sosial.
Menurut Din, biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi penyakit akibat rokok lebih besar dibandingkan biaya yang diterima dari hasil beacukai rokok atau tembakau. Tetapi, Din menilai bahwa upaya-upaya untuk menghindarkan generasi muda dari bahaya rokok harus dilakukan dengan langkah-langkah yang tepat dan cermat.
“Pengusaha terkaya di Indonesia dan di Asia adalah pemilik perusahaan rokok,” ujar Din. Hal itu membuktikan bahwa industri rokok secara perhitungan bisnis memang sangat menjanjikan. Jika ditambah lagi dengan menaikkan harga rokok, maka justru yang diuntungkan adalah mereka para korporasi rokok.
Sementara para perokok, kata Din, tetap akan meneruskan kebiasaan merokok berapa pun harga yang ditawarkan pasar, selama stok persediaan barang atau rokok tetap ada. Oleh karena itu, menaikkan harga rokok bukan solusi yang tepat.
“Pesan saya, janganlah apriori untuk langsung menolak atau menerima (wacana). Tetapi mari dibahas bersama-sama,” ajak ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) itu. Hal ini untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu yang banyak dilakukan oleh pengguna media sosial belakangan ini. (Ribas/Nisa)