YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sekecil apapun Partai Politik, saat Presiden menghadiri acaranya, Ketua Partai itu bisa dengan leluasa duduk di samping Presiden, tetapi hal itu tidak terjadi kalau di acara ormas. Selalu akan ada orang, entah menko atau apa yang lain yang akan duduk di antara Presiden dengan ketua ormas itu.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah saat membuka acara rapat kerja Nasional Majelis Hukum dan Ham PP Muhammadiyah, di islamic center campus 4 Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 26 Agustus 2016 Jumat malam kemarin.
Hal ini diungkapkan Haedar sebagai ilustrasi betapa sudah kurang dianggapnya peran ormas di mata pemerintah sebagai akibat dari perubahan perundang-undangan di negeri ini.
Lebih jauh lagi Haedar juga menyorot fungsi dan kelembagaan MPR yang semakin terdegradasi sejak adanya amandemen demi amandemen UUD 1945.
Menurut Haedar para pendiri bangsa ini sudah berpikir maju saat menyusun pasal demi pasal UUD 45 itu.
Tentang utusan golongan misalnya, saat itu, sekecil apapun kuota dan cara menentukannya ada utusan golongan di MPR yang saat itu merupakan majelis permusyawaratan rakyat yang tertinggi derajatnya. Kini utusan golongan itu sudah tidak ada lagi, sehingga tetap ada sebagian rakyat ini yang tidak terwakili di Majelis permusyawaratan rakyat yang saat semakin kurang berdaya karena terus dipreteli fungsi dan wewenangnya itu.
Utusan daerah mungkin bisa diwakili oleh DPD yang sekarang juga banyak diisi oleh orang parpol, tapi urusan golongan tetap tidak ada wakilnya.
Bagi Haedar, adanya utusan golongan itu masih sangat diperlukan sebagai penyeimbang kekuatan partai politik.
“Ketika ada masalah pada bangsa ini, kerusuhan misalnya, pemerintah selalu mencari ormas untuk diajak kerja sebagai pemadam kebakaran”. Tegas Haedar.
Bagi Haedar, perlakuan terhadap ormas yang seperti itu patut untuk dikoreksi.
Oleh karena itu, Haedar Nashir meminta kepada Majelis Hukum dan Ham untuk lebih serius mengkaji semua perundang-undangan dan amandemen demi amandemen UUD 1945 secara lebih serius dan lebih menyeluruh.
Bagi Haedar masalah MPR ini hanya bagian kecil dari problem perundang-undangan yang ada di negeri ini di samping berbagai problem perundang-undangan lain yang masih banyak jumlahnya. (mjr 8)