Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (10); Surat Al-Baqarah Ayat 183-187

Puasa Ramadhan dan Beberapa Aspek Hukumnya (10); Surat Al-Baqarah Ayat 183-187

Kurma sebagai makanan khas Ramadhan (Dok boston)

Penggunaan hisab memiliki landasan syar’i dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw, antara lain:
a)    Surah ar-Rahman [55]: 5 dan surah Yunus [10]: 5.


Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (Qs. ar-Rahman [55]: 5).


Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui (Qs. Yunus [10]: 5).
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa bulan dan matahari memiliki sistem peredaran yang ditetapkan oleh Sang Pencipta sedemikian rupa sehingga peredaran itu dapat dihitung. Penegasan bahwa peredaran matahari dan bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi belaka, melainkan suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum.
b)    Surah Yasin [36]: 39-40,


Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya (Qs. Yasin [36]: 39-40).
Ayat ini dapat dipahami mengandung dalalah isyarah bahwa awal bulan ditandai dengan (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak itu terjadi sebelum gurub, dan (3) saat gurub matahari, bulan masih di atas ufuk.
c)    Hadits Ibn ‘Umar ra.


Dari ‘Abdullah Ibn ‘Umar ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridul fitrilah! Jika bulan di atasmu terhalang oleh awan, maka estimasikanlah (HR. al-Bukhari dan Muslim). (Al-Bukhari, Sahih al- Bukhari, h. 344, Hadits no. 1900; Muslim, Sahih Muslim, I: 481, hadits no. 8 [1080]).
Ada tiga penafsiran terhadap Hadits ini. Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa makna faqduru lahu adalah ‘maka estimasikanlah bulan berjalan itu 30 hari.’ (Ibn Qudamah, al-Mugni, edisi ‘Abdullah Ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki dan ‘Abd al-Fattah Muhammad al-Hilw (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘,1417/ 1997), IV: 331). Kedua, ulama-ulama Hanbali mengatakan faqduru lahu () berarti qaddiruhu tahta as-sahab (‘anggaplah ia berada di bawah awan), artinya anggaplah ia terlihat, sehingga keesokan harinya adalah bulan baru. Dengan kata lain, apabila ada awan yang menghalangi terlihatnya hilal pada hari ke-29 (malam ke-30), maka pendekkanlah bulan berjalan dan mulailah bulan baru keesokan harinya. Alasannya adalah bahwa kata qadara – yaqduru / yaqdiru itu berarti ‘menyempitkan’ seperti dalam firman Allah (Qs. [89]: 16), fa qadara ‘alaihi rizqahu (‘… lalu Allah menyempitkan rezekinya’). (Lihat Qs. [13]: 26; [17]: 30; [28]: 82; [29]: 62; [30]: 37; [34]: 36 dan 39; [39]: 52; [42]: 12; [65]: 7). Atas dasar itu, faqduru dalam Hadits Ibn ‘Umar di atas dimaknai menyempitkan bulan berjalan, yaitu menjadikannya 29 hari saja. (Ibn Qudamah, al-Mugni, IV: 331-332). Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa makna faqduru lahu () adalah lakukanlah perhitungan hisab. Pendapat ini diikuti oleh Ibn Suraij dan para penganut hisab lainnya. (Asy-Syirazi, al-Muhazzab fī Fiqh al-Imam asy-Syafi‘i, edisi Muhammad az-Zuhaili (Damaskus–Beirut: Dar al-Qalam–ad-Dar asy-Syamiyyah, 1414/1992), II: 596-597).
Jadi pendapat ketiga mengenai tafsir Hadits ini memberi peluang penggunaan hisab. Bahkan penggunaan hisab dalam Hadits ini dapat diperluas, tidak hanya saat tertutup awan, tetapi juga dapat diperluas ke dalam semua keadaan, karena kebutuhan kita untuk menyatukan jatuhnya hari ibadah kita menuntut perluasan penafsiran itu.
Peralihan dari rukyat kepada hisab harus kita akui dengan rendah hati. Ini bukan soal mazhab, tetapi adalah kenyataan alam yang harus kita atasi demi mewujudkan kesatuan sistem kalender Islam yang mustahil dibuat berdasarkan rukyat dan demi menyatukan jatuhnya hari Arafah agar kita dapat melaksanakan ibadah kita tepat pada momen sebenarnya. Penggunaan hisab bukan berarti pengingkaran terhadap Hadits-Hadits Nabi saw yang memerintahkan rukyat, melainkan hanya menarjih (menguatkan) salah satu maknanya yang mungkin dan memperluas makna yang ditarjih itu. Salah satu makna yang mungkin itu adalah makna faqduru lahu () yang dapat ditafsirkan dengan hisab. Kemudian makna hisab di situ diperluas sehingga mencakup seluruh keadaan, tidak hanya saat ada awan. Mengapa kita harus menarjih dan memperluas makna yang ditarjih itu sehingga mencakup seluruh keadaan adalah karena tuntutan realitas alam dan kebutuhan kita untuk dapat menyatukan hari-hari ibadah kita dan membuat satu penanggalan Islam pemersatu.
Mari kita kembali kepada tafsir ayat 185. Potongan terakhir ayat ini berbunyi, Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran atasmu, serta (menghendaki) agar kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk yang dianugerahkan-Nya kepadamu, dan agar kamu bersyukur. Potongan ini mengandung empat penegasan yang sekaligus argumen atas perintah dan berbagai ketentuan puasa yang telah disebutkan:
1.    Allah menghendaki kemudahan bagi manusia sebagai prinsip agama, sehingga oleh karena itu apabila ada kesukaran dalam menjalankan agama diberi kemudahan seperti orang sakit atau dalam perjalanan diberi kemudahan untuk tidak berpuasa, tetapi diganti pada hari lain.
2.    Allah menghendaki agar bilangan puasa Ramadhan itu dipenuhi baik selama Ramadhan itu sendiri bagi yang tidak berhalangan maupun dengan mengganti pada hari yang lain bagi yang berhalangan memenuhinya di bulan Rama­dhan.
3.     Allah menghendaki agar asma-Nya diagungkan atas petunjuk yang telah diberikan-Nya, dan salah satu wujudnya adalah, walaupun tidak terbatas pada, melakukan takbir saat berakhirnya bulan Ramadhan itu.
4.    Allah menghendaki dengan melaksanakan puasa secara penuh dan mengagungkan asma-Nya, manusia menjadi orang yang berterima kasih kepada Sang Pemberi nikmat.

Tafsir at-Tanwir melihat bahwa kata depan “li” pada potongan ayat itu adalah tambahan atas obyek (maf‘upada al-yusr sehingga terjemahnya menjadi, “Allah menghendaki kemudahan … dan (menghendaki) agar kamu mencukupkan bilangannya …” dan seterusnya. Kata depan “li” bisa juga dipandang sebagai lām ta‘līl (kata untuk menunjukkan alasan). Namun agak sulit diartikan sebagai lam amr (kata menunjukkan perintah), karena kata menunjukkan perintah itu biasanya dibaca sukun dan untuk ayat itu tidak ada riwayat bacaan sukun.
Satu hal perlu dicatat di sini, yaitu ayat ini mengandung salah satu asas agama yang amat penting, ialah asas kemudahan. Asas kemudahan adalah salah satu bentuk konkretisasi dari salah satu nilai dasar fundamental syariah, yaitu kemaslahatan. Nilai dasar ini oleh para filosof syariah disimpulkan dari firman Allah bahwa Nabi saw diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (Qs [21]: 107). Apabila orang menghadapi kesulitan, maka sebagai wujud dari nilai dasar kemaslahatan orang itu diberi kemudahan.
Asas kemudahan ini mendapat penegasan di banyak tempat dalam Al-Qur’an sendiri dan dalam Sunnah Nabi saw. Antara lain:
1.    Dalam surat firman Allah, Allah tidak ingin membuat kesulitan atas kamu (Qs [5]: 6; dan [22]: 7).
2.    Dalam firman Allah, Sesung­guhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan (Qs. [94]: 5-6).

Selain itu juga ditegaskan dalam beberapa Hadits,
1.    Sabda Nabi saw,


Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Agama itu adalah kemudahan, dan barang siapa mempersulitnya, ia tidak akan mampu melaksanakannya. Oleh karena itu bersikaplah dalam agama itu yang betul, dekatkanlah, gembirakanlah, mudahkanlah, dan lakukan di saat pagi, sore atau sebagian malam (HR al-Bukhari dan an-Nasa’i, ini lafal an-Nasa’i).
2.    Hadits Nabi saw,

Dari Anas Ibn Malik, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit; gembirakan dan jangan membencikan [HR al-Bukhari].
3.    Sabda Nabi saw,


Dari Jabir Ibn ‘Abdullah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk mempersulit dan mencari-cari kesulitan, tetapi mengutusku sebagai pendidik dan pembawa kemudahan [HR Muslim].
Dari ayat-ayat di atas termasuk ayat 185 yang sedang ditafsirkan serta dari Hadits-Hadits sebagaimana dikutip di muka, para ulama Islam merumuskan satu asas agama yang merupakan turunan dari nilai dasar Islam sendiri (nilai dasar kemaslahatan). Asas agama dimaksud adalah kaidah, “Kesukaran membawa kemudahan.” (As-Sayuti, al-Asybah wa an-Naza’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403/1983), h. 7; Ibn Nujaim,  al-Asybah wa an-Naza’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419/1999), h. 7). Tujuan agama adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, dan salah satu perwujudan kemaslahatan itu adalah adanya kemudahan-kemudahan bagi manusia termasuk dalam menjalankan agama itu sendiri. Oleh karena itu pelaksanaan agama dalam bentuk yang menyulitkan, keras dan bersifat ektrim tidak sesuai dengan prinsip ini.

E. Allah itu Dekat (Ayat 186)
Pada ayat 186 Allah menegaskan Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa pemohon apabila ia berdoa kepada-Ku. Oleh karena itu, hendaklah mereka itu memenuhi (panggilan)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka berada pada jalan lurus. Ayat ini menegaskan kedekatan Allah kepada hamba-Nya di mana Dia mengetahui semua keadaan, mendengar ucapan, melihat perbuatan, memperkenankan doa dan permohonan hamba-hamba-Nya. Keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah bahwa dalam ayat sebelumnya Allah memerintahkan melaksanakan puasa Ramadhan dan memenuhi bilangan harinya serta melakukan pengagungan asma Allah dalam bentuk takbir, maka ayat ini menegaskan kedekatan Allah kepada hamba-Nya yang mendengar semua pujian mereka, mengabulkan doa-doa mereka dan membalas semua amal kebajikan yang mereka lakukan. (Al-Baidawi, Tafsir al-Baidawi, diedit oleh Hallaq dan al-Atrasy (Damaskus-Beirut: Dar ar-Rasyid dan Mu’assasat al-Iman, 1421/2000), I: 167).
Kedekatan Allah kepada hamba-Nya ditegaskan dalam ayat lain yang berbunyi, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Qs [50]: 16). Kedekatan Allah kepada hamba-Nya memberi implikasi bahwa setiap orang dapat bermunajat langsung kepada Tuhannya tanpa perantara apa pun baik perantara berupa orang suci, patung atau bentuk perantara lainnya. Yang penting ia mengikhlaskan kepatuhannya kepada Allah, meneguhnya imannya dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan kepadanya.
Mengenai frasa falyastajibu li ada tiga penafsiran di kalangan mufasir. Pertama, kata itu berarti merespon atau memenuhi panggilan, sehingga frasa tersebut dibaca maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan)-Ku. Memenuhi panggilan Tuhan adalah dengan mematuhi petunjuk-Nya. Penafsiran ini dikemukakan oleh Mujahid (w 102/721) dan Ibn al-Mubarak (w 181/797). Kedua, ada yang memaknainya berdoa sehingga ayat itu diterjemahkan, maka hendaklah mereka berdoa kepada-Ku. Tafsir ini dikemukakan oleh Abu Raja’ al-Khurasani (w 160/777). (At-Tabari, Tafsir at-Tabari, III: 225-226). Ketiga, ada yang memaknainya minta dikabulkan sehingga ayat itu diterjemahkan, maka hendaklah mereka meminta agar doa mereka dikabulkan. Ini adalah penafsiran Ibn ‘Atiyyah (w. 546/1151).  (Ibn ‘Atiyyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, diedit oleh ‘Abd as-Salam ‘Abd asy-Syafi Muhammad (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422/2001), I: 256).
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an kata istajībū bermakna ‘penuhilah atau patuhilah panggillan’, seperti dalam Qs. [8]: 24, Wahai orang-orang beriman, pebuhilah panggilan Allah dan Rasul …, dan Qs [42]: 47, Penuhilah panggilan Tuhanmu …. Oleh karenanya Tafsir at-Tanwir mencantumkan terjemahan seperti pendapat pertama sebagaimana dikemukakan oleh Mujahid dan Ibn al-Mubarak.
Doa, yang disebutkan dalam ayat 186 ini, merupakan salah satu ajaran yang penting dalam Islam karena ia memiliki nilai spiritualitas yang mendalam bagi mereka yang menghayatinya. Oleh karena itu agama memerintahkan supaya kita banyak berdoa. Dalam sebuah ungkapan yang amat tegas Allah berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan (doa)-mu (Qs [40]: 60). (Terdapat dua tafsir terhadap ayat ini (Qs 40: 60]. Pertama, ada yang menafsirkan doa dalam ayat ini sebagai ibadah dan astajib lakum ditafsirkan memberi pahala atas ibadah itu. Kedua, pendapat yang menafsirkan doa dalam ayat ini sebagai doa dalam pengertian yang lazim, yaitu memohon kepada Allah. Tafsir ini dikemukakan oleh as-Suddi (w. 127/745) sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tabari (lihat at-Tabari, Tafsir at-Tabari, XX: 354). Menurut al-Alusi, tafsir kedua ini lebih jelas dan lebih sesuai dengan lafalnya (lihat al-Alusi, Ruh al-Ma‘ani [Beirut: Dar at-Turas al-‘Arabi, t.t.], XXIV: 81-82.)). Dalam Haditsnya, Nabi saw menegaskan, “Doa itu merupakan ibadah; Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan (doa)-mu” (HR Abu Dawud]. (Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, diedit oleh (),  Dalam surat al-Fatihah, kita juga diajari agar berdoa, dan menurut Ibn al-Qayyim (w. 751/1350), doa dalam surat al-Fatihah itu, yakni agar diberi petunjuk supaya berada di atas jalan yang lurus, adalah doa terbesar dan terpenting. (Ibn al-Qayyim, Madarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘in (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004/1426), h. 19). Hal itu adalah karena manusia dalam hidupnya memiliki dua potensi kecenderungan, yaitu untuk mengikuti jalan lurus dan mengikuti jalan menyimpang (Qs [90]: 10). Dalam kehidupan sehari-hari, ketika bekerja di kantor atau di mana pun, seseorang tidak jarang tergoda untuk melakukan pengkhianatan terhadap pekerjaan dan amanah yang diembannya dalam pekerjaan itu, sehingga ia melakukan perbuatan menyimpang, seperti korupsi misalnya, yang menimbulkan kerugian kepada dirinya dan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu setiap orang yang menjalankan agamanya dengan baik, setidaknya ia berdoa tujuh belas kali sehari-semalam dalam shalatnya agar diberi kekuatan mengikuti jalan lurus dan terhindar dari jalan menyimpang.
Kembali kepada Ibn al-Qayim, fakih ini menegaskan bahwa surat al-Fatihah juga mengajarkan etika doa, yakni harus dimulai dengan menyatakan pujian kepada Allah dan pengakuan atas kelemahan dan kehambaan diri manusia. (Ibid., h. 20). Artinya doa bukan sekedar ritual rutinitas memohon kepada Tuhan, tetapi harus dilandasi keyakinan dan iman kepada-Nya sebagai Zat Yang Maha Kuasa yang karenanya Dia berhak atas pujian dan mengakui kesiapan untuk menghambakan diri kepada Allah dan melaksanakan segala yang dituntut oleh kepatuhan kepada-Nya. Inilah arti dari firman Allah pada ayat 186 yang ditafsirkan ini, Aku mengabulkan doa pemohon apabila ia berdoa kepada-Ku. Oleh karena itu, hendaklah mereka itu memenuhi (panggilan)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka berada pada jalan lurus.• Bersambung

Exit mobile version