Ir Djuanda

Ir Djuanda

SUARA MUHAMMADIYAH, Siapa tak kenal bandara Juanda di Surabaya atau Taman Hutan Raya Juanda di kota Bandung? Nama itu melekat dengan Ir RH Juanda, tokoh dan pahlawan nasional terkenal. Nama lengkapnya Ir Raden Hadji Djoeanda Kartawidjaja, kelahiran 14 Januari 1911 di Ta­sikmalaya, Jawa Barat. Dia meninggal 7 November 1963 di Jakarta dalam usia 52 tahun.
Lulusan teknik sipil Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) atau Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung tahun 1933 ini merupakan sosok yang cerdas dan cemerlang. Dalam sejarah Indonesia Juanda memiliki pengalaman posisi luar biasa di pemerintahan. Pernah menjadi Perdana Menteri ke-10 tahun 1957-1959 serta empat kali menjadi Menteri yaitu Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perhubungan di zaman Presiden Soekarno.
Kiprah monumental menak (priyayi) Sunda itu ialah Deklarasi Djoeanda 1957. Deklarasi itu intinya bahwa laut Indonesia yaitu laut sekitar, di antara,  dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal waktu itu Indonesia sedang dipecah-pecah kepulauannya, di mana laut dianggap terpisah. Deklarasi Juanda itulah dalam perjuangan sesudahnya kemudian menjadi titik pangkal kesatuan negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS). Hukum Laut Internasional yang diakui PBB tahun 1982 yang diperjuangkan Indonesia di masa Menteri Luar Negeri Mochtar Koesoemaatmadja yang kemudian diakui PBB bertolak dari Deklarasi Juanda itu.
Tapi, banyak-kah yang tahu bahwa Ir Juanda itu anggota dan aktivis Muhammadiyah? Tampaknya di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah pun tidak banyak yang mengetahuinya. Padahal, bacalah uraian dalam Wikipedia Indonesia berikut ini: “Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhammadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhammadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.”.
Lebih jauh diuraikan: “Ir H Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar. Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.”.
Bagaimana kesaksian Ir Juanda sendiri tentang keanggotaan dalam Muhammadiyah? Ketika Muhammadiyah bermuktamar Setengah Abad tahun 1962, Ir Juanda menyampaikan testimoni sebagai berikut: “Karena mengindahkan petunjuk orangtua saya, saya kenali Muhammadiyah. Bukan sekadar kenal saja, tetapi saya malah dipercaya memasak kecerdasan putera-puteri anak didik Muhammadiyah di masa itu. Penderitaan hidup dan pahit getir, bagi Muhammadiyah bukan soal, adanya hanya kepuasan hati karena kerjasama di antara kita dan pengurus Muhammadiyah tetap terjalin dengan ukhuwah Islamiyah yang seerat-eratnya.”
Selanjutnya Juanda menyatakan, “Setelah zaman Indonesia merdeka, gerak Muhammadiyah bertambah luas bidang tugasnya, dan bertambah-tambah pula lapangan pembangunan yang menjadi objeknya.” Siapa yang mau meneladani figur dan jejak Ir Juanda sebagai bapak bangsa dan tokoh Muhammadiyah? Para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah penting mengambil ibrah dari sosok Juanda!• A. Nuha

Exit mobile version