Cerpen Achmad Munif
Sewaktu pertama kali laki-laki tua itu singgah di masjid kampung kami sementara jamaah ada yang curiga, Tapi laki-laki tua yang menyebut dirinya Mbah To itu segera menarik perhatian. Ia datang ke masjid dengan sepeda yang sudah butut. Diboncengan sepeda teronggok sekarung plastik yang entah apa isinya. pakaiannya sederhana yang sudah tidak jelas warnanya. Tapi baju yang dipakainya itu tampak bersih. Pecisnya hitam setengah kelabu karena mungkin sudah terlalu tua. Ia sandarkan sepeda di pohon mangga halaman masjid yang cukup luas. Orang tua itu langsung mengambil air wudhu kemudian masuk ke dalam masjid. Begitu tenang wajahnya dan ia tersenyum kepada semua orang yang ada di masjid itu. Satu persatu beberapa jamaah yang datang awal disalaminya. Ia memandang jam dinding di dekat imaman, mengangguk kepada para jamaah yang ada kemudian begitu saja mendekati mike dan tidak beberapa lama terdengar suaranya mengumandangkan adzan sebagai panggilan untuk shalat Ashar. Semua orang terkesima karena suara orang tua itu sangat merdu. Para jamaah yang mendengarkan adzan itu mengangguk-angguk ada yang menggeleng seolah tidak percaya, ada yang mendesah kagum. Menurut penilaian mereka suara itu lebih merdu dibanding suara Lik Sardi muadzin tetap di masjid kami.
“Subhanallah”
“Subhanallah”
“Subhanallah”
“Ya, suara dari langit”
“Suara dari surga”
“Suara malaikat jibril”
“Suara Bilal bin Rabbah”
“Ya suara sahabat Bilal yang diminta Rasul untuk adzan pertama kali.”
Setelah shalat Ashar laki-laki tua itu tidak segera keluar dari masjid. Ia tampak dzikir khusu’ sekali. Beberapa jamaah sengaja menunggu sampai orang tua itu selesai dzikir. Beberapa jamaah sempat curiga, jangan-jangan ia sengaja menunggu masjid sepi kemudian mengambil apa saja yang ada misalnya jam dinding atau membongkar kotak infaq yang ada.
Setelah selesai dzikir beberapa orang jamaah mengerumuninya. Ia minta dipanggil Mbah To saja. Kemudian ia bercerita tentang dirinya yang berasal dari sebuah desa kecil di Jombang, Jawa Timur. Mbah To hidup sendiri setelah isterinya meninggal dunia beberapa tahun lalu. Mbah To hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang merantau ke Malaysia. Tapi sejak anak itu meninggalkan rumah sepuluh tahun lalu tidak pernah memberi kabar. Mbah To sendiri tidak tahu apakah anak laki-lakinya itu masih hidup atau sudah meninggal.
“Begitulah bapal-bapak, agar bisa makan saya menjadi pemulung. Saya ini orang bodoh tidak memiliki kepintaran dan ketrampilan apa-apa. Saya tidur di mana saja. Emper toko, warung kosong, gerbong kereta api, gardu ronda, emper masjid apabila diperbolehkan. Tadi ketika melihat masjid ini rasanya saya ingin mampir untuk shalat. Tiba-tiba rasanya saya akan dan ingin mati di masjid ini.”
Sejak itu Mbah To sering singgah di masjid kami. Dan setiap kali mampir untuk shalat jamaah Lik Sardi yang menjadi muadzin tetap di masjid kami selalu meminta Mbah To mengumandangkan adzan, entah itu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, atau Subuh. Suaranya itulah yang membuat Lik Sardi mengalah. Tapi kalau Dhuhur dan Ashar biasanya Mbah To masih memulung, maka waktu-waktu itu Lik Sardi yang bertugas.
Warga sekitar masjid kami segera mengenal Mbah To sebagai muadzin baru di masjid kami, suara adzannya menggetarkan hati. Suara yang mampu membuat orang-orang yang lewat dekat masjid berhenti sejenak. Kalau suara adzan Mbah To sudah terdengar kehidupan seperti berhenti beberapa saat. Orang yang bermobil di dekat masjid menghentikan mobilnya. Ibu yang sedang ngegosip akan menghentikan bicara mereka. Tiba-tiba saja para ibu itu diam terpaku. Kalau adzan itu menjelang shalat Dzuhur, orang-orang bengkel menghentikan pekerjaannya. Tukang becak akan menghentikan becaknya dan mengambil air wudhu. Pengaspal jalan juga segera menghentikan pekerjaan sejenak memasang telinga untuk mendengar suara Mbah To. Sepertinya kehidupan daerah dekat masjid menjadi mati. Orang-orang terpaku di tempatnya seperti tersihir suara emas Mbah To. Karena suara adzan Mbah To itulah masjid selalu penuh, Kemudian Orang akan kecewa apabila pada suatu waktu bukan Mbah To yang mengumandangkan adzan.
Para jamaah kiga sepakat Mbah To tinggal di masjid kami. Biasanya menjelang atau sesudah Ashar setelah memulung dan menyetorkan hasilnya ke pengepul, Mbah To, pulang ke masjid kami. Kepada para jamaah Mbah To mengatakan kini hidupnya lebih tenang dan tenteram karena punya tempat untuk pulang.
Mbah To menjadi orang yang disukai di kampung kami karena suka menolong orang lain. Apalagi setelah bulan Ramadhan tiba, Mbah To ikut tadarus dan orang kemudian tahu ternyata Mbah To pandai membaca Al-Qur’an.
Di masjid kami kemudian ada dua muadzin. Untuk adzan Dhuhur dan Ashar Lik Sardi yang bertugas karena Mbah To masih memulung. Untuk adzan Subuh, Maghrib dan Isya’ Mbah To lah yang bertugas. Pantangan bagi Mbah To adalah bekerja memulung pada hari Jum’at. Ia memilih di masjid.
Pada suatu hari Jum’at di bulan Ramadhan Mbah To mendekati Lik Sardi yang sedang membetulkan pengeras suara yang kabelnya konslet.
“Lik Sardi maafkan saya ya?”
“Lho Mbah To kan gak punya salah sama aku?”
“Tidak ada manusia yang tidak punya salah Lik”.
“Ada apa to Mbah, njenengan ini kok aneh-aneh.”
“Lik, nanti siang Lik Sardi ikut mengantar aku ke kuburan ya?”
“Omong opo to Mbah To iki?”
“Waktu saya sudah sampai hari ini, Lik. Rasanya saya segera dipanggil Allah.”
Lik Sardi mengira Mbah To hanya bercanda. Tapi anak muda itu cemas juga. Kata orang tua-tua, orang baik itu tahu kapan dia mati.
Dan hari itu menjelang shalat Jum’at Mbah To seperti mengeluarkan seluruh suara merdunya ketika adzan. Mbah To mengikuti khutbah yang disampaikan Kiai Makmun dengan khusu’. Dan ketika shalat Jum’at selesai Mbah To tidak segera keluar dari masjid. Kakinya bersila, wajahnya menunduk dan tubuhnya agak gemetar. Bibirnya komat-kamit seperti sedang bertasbih. Ketika Kiai Makmun selesai dari munajatnya di imaman dan akan keluar dari masjid terkejut ketika melihat Mbah To bersujud dengan wajah mencium sajadah. Orang tua itu diam tidak bergerak. Kiai Makmun meraba tubuh Mbah To. Tubuh orang tua itu dingin. Tiba-tiba tubuh Mbah To terguling ke karpet. Kiai Makmun segera mencari Lik Sardi yang tinggal di komplek masjid intuk memanggil dokter Zakaria yang rumahnya dekat masjid. Setelah dokter Zakaria memeriksa Mbah To, ia menggeleng.
“Sudah tiada Kiai”.
Hari itu seluruh kampung berkabung. Mbah To manusia sederhana itu telah pergi. Semua orang datang ke masjid, besar kecil, laki-laki perempuan, tumplek blek di halaman masjid. Mbah To kini menempuh perjalanan menuju haribaan Allah. Semua orang menunduk. “Innalillahi wainna ilaihi raji’un – semua dari Allah dan semua akan kembali kepada-Nya.”
Akhir hayat seorang pemulung yang disaksikan dan diantarkan oleh begitu banyak orang. Semua warga kampung tidak ada yang ketinggalan bertakziah ke masjid. Dengan takzim mereka mendengarkan pidato pelepasan yang disampaikan Kiai Makmun.
“Saudara-saudaraku semua manusia memang dilahirkan suci dan putih bersih. Tetapi tidak ada manusia yang sepanjang hidupnya mampu mempertahankan kesucian itu. Demikian juga Mbah To. Dalam pandangan mata dan hati kita yang terbatas, Mbah To adalah orang baik. Tapi yang tahu benar bahwa Mbah To orang baik hanyalah Allah semata. Hari ini Mbah To dipanggil Allah untuk menghadap. Mbah To wafat hari baik dan bulan baik. Pada bulan Ramadhan, hari Jum’at dan selesai sholat Jum’at pula. Adakah kematian yang lebih baik dari hari ini? Hari Jumat, selesai shalat Jum’at dan pada bulan Ramadhan. Hanya Allah yang punya hak untuk memasukkan atau tidak memasukkan Mbah To ke surga. Namun kita semua merasakan dan membayangkan bahwa Mbah To telah dipanggil ke surga. Allahumma fir lahuu warhamhuu wa’afihii wa’fuanhu. Dengan bacaan Laillaha illalah, Muhammadan Rasulullah kita antar ruh Mbah To ke rumah masa depannya yang indah.”
Dan hari itu semua merasa kehilangan Mbah To dan mereka tidak akan pernah lagi mendengarkan suara surganya, suara dari langit, suara malaikat Jibril dan suara sahabat Rasul Bilal bin Rabah. Ketika jenazah Mbah To dimasukkan ke liang lahat, semua orang menarik nafas panjang. Ada yang menyendat-nyendat hati mereka.•
——————-
Achmad Munif cerpen-cerpennya di muat di media Jakarta dan daerah. Beberepa kali memenangkan lomba penulisan fiksi. Lohir di Jombang, Jawa Timur tinggal di Yogyakarta.