YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.id -Pelaksanaan Undang-Undang pengampunan pajak (UU tax amnesty) yang saat ini tengah dijalankan oleh pemerintah ternyata lebih berhasil menciptakan kegaduhan dan keresahan masyarakat daripada mengembalikan dana yang diparkir di luar negeri.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, kegaduhan ini terjadi karena watak hukum dari kebijakan undang-undang tax amesty itu tidak jelas.
Saat menutup rakernas Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, 25 Zulqa’dah 1437 H yang lalu, mantan ketua KPK ini menyatakan kalau watak hukum dari kebijakan undang-undang tax amesty itu harus jelas terlebih dahulu. Begitu pula dengan arah hukumnya.
Watak dan arah UU itu seharusnya bisa merumuskan nilai-nilai dalam UUD 1945, terutama dalam pasal-pasal yang erat dengan demokrasi dan HAM.
Pengangkatan Menteri ESDM yang WNA adalah Bentuk Kepanikan
Seperti kita tahu, sasaran dari tax amnesty juga terasa semakin tidak jelas, bahkan dapat dikatakan berubah arah. Tujuan semula adalah untuk menarik dana para konglomerat yang selama ini diparkir di luar negeri. Di banyak kesempatan presiden mengaku sudah tahu pemarkir dan jumlah dana itu. Namun, entah karena mengejar target pemasukan dana yang ternyata seret itu, atau sebab lain, kini sasaran TA berubah kepada semua kalangan.
Akibatnya, masyarakat umum juga dijadikan sasaran UU ini. Inilah yang kemudian menimbulkan keresahan yang tersebar di berbagai media sosial. Untuk itu Busyro menyatakan agar ada evaluasi sasaran UU ini.
Haedar Nashir: Ormas Jangan Hanya Dijadikan Pemadam Kebakaran
“Sasarannya harus dievaluasi juga, jangan sampai justru masyarakat kecil terkena dampaknya. Tax amnesty ini sebenarnya ditujukan untuk orang yang mengalami problem dalam kewajiban pajak, dan orang ini hanya beberapa gelintir saja. Uangnya pun diparkir di luar negeri. Tapi semua masyarakat terkena imbasnya dan ini membuat gaduh” kata Busyro.
Keresahan dan kegaduhan seperti ini seharusnya sudah dipikirkan oleh pembuat UU. Hal ini sebenarnya juga bisa diantispasi kalau ada kajian akademik yang serius sebelumnya. Hanya saja, menurut Busyro, naskah akademik UU Pengampunan Pajak ini tidak pernah dikemukakan secara jelas ke publik terutama kalangan akademis.
“Muhammadiyah mempunyai lebih dari 160 perguruan tinggi, tidak ada satupun dari perguruan tinggi itu yang dilibatkan dalam kajian akademik UU itu”, tegasnya. Oleh karenanya masyarakat tidak bisa melakukan pengkritisan atas naskah tersebut.
“UU ini bentuknya top down, kebijakan negara nalar hukumnya ditaruh di bawah kepentingan politik. Ini merusak sistem negara hukum,” ujarnya.
Menurut Busyro, saat ini pemerintahan Jokow-JK telah melakukan blunder terkait tax amnesty ini, PP PP Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa akan memberikan solusi atas blunder pemerintah ini.
Salah satu dari solusi yang bisa ditempuh adalah dengan mengadakan judicial review pada seluruh UU yang tidak benar ini. Yang di dalam Muhammadiyah dikenal sebagai jihad konstitusi.
Sampai saat ini, Muhammadiyah telah berhasil membatalkan beberapa UU yang menyelisihi UUD 45 dan Pancasila. Antara lain UU Minerba, UU Ormas, UU Rumah sakit, UU Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan, serta UU Migas.
Selain mengkritisi masalah tax amnesty, rakernas MHH yang digelar tanggal 23-25 Dzulq’adah 1437 H di Islamic center kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan itu juga memberi sejumlah rekomendasi. Di antaranya mendesak MPR, DPR, Parpol serta segenap kekuatan politik lainnya memperhatikan aspek keadilan sosial dalam merencanakan penyusunan kembali GBHN (mjr8).