YOGYAKARTA. suaramuhammadiyah.id-Proses pengerjaan Komik ‘Bengkel Buya’ yang baru saja diluncurkan siang tadi, (29/8) di Madrasah Muallimin Yogyakarta, jika ditotal menghabiskan waktu kurang dari satu tahun. Ada 5 cerita yang bisa dinikmati dalam Komik ‘Bengkel Buya: Belajar dari Wong Cilik’ ini, di antaranya yang menceritakan tentang pertemuan Buya sosok-sosok ‘Wong Cilik’ yaitu bapak yang bekerja di bengkel, 2 pengemudi taksi, Tugimin marbot Masjid Syuhada, sang teknisi kompor, dan si tukang asah pisau.
Beng Rahadian, Komikus dan tim kreatif Bengkel Buya menuturkan bahwa proses tersulit dalam pembuatan komik yang mengisahkan tentang pengalaman Buya Syafii Maarif ini, terletak pada proses pembuatan story board yang harus memasukkan unsur dramatisasi ke dalam tulisan-tulisan yang sebelumnya masih berbentuk esai.
“Sebelumnya, tulisan-tulisan yang dijadikan untuk bahan komik ini berasal dari esai-esai beliau yang dimuat di media cetak. Lalu harus dimasukkan unsur dramatisasi, karena membuat komik bukan sekedar menggambar tapi juga story telling,” tuturnya yang juga pernah bermukim dan menimba ilmu di ISI Yogyakarta, dalam peluncuran Komik ‘Bengkel Buya.’
Oleh karena itu, dalam menentukan para anggota Tim Kreatif ia menceritakan bahwa dirinya sengaja mencari mereka yang memiliki kedekatan emosi dengan sosok Syafii Maarif. Selain itu, segala setting di dalam komik ini pun harus digambarkan dengan tepat dan terasa familiar di mata pembaca khsusnya mereka yang tinggal di Yogyakarta. Karena, Komik ‘Bengkel Buya’ ini memang mengambil setting kota Yogyakarta.
“Kita mencari mereka yang memiliki kedekatan emosi dengan Buya. Contohnya, orang story board kita walaupun ia beragama Katolik, ia dekat dengan sosok buya karena buya adalah sosok yang dikaguminya.”
“Jangan sampai kita ingin menggambarkan kota Jogja tapi pembaca tidak terasa oleh pembaca,” lanjut pendiri Akademi Samali ini.
Beng menyebutkan bahwa ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam proses kreatif pembuatan komik ‘Bengkel Buya’ ini. Pertama, bagaimana memilih sejumlah tulisan berbentuk esai itu untuk dijadikan satu kompilasi cerita dengan sebuah benang merah di dalamnya.
“Kami memang selalu berdiskusi dengan pihak Maarif dalam memilih tulisan yang akan dirangkai dalam satu benang merah cerita,” lanjut Beng.
Tim Kreatif dalam pembuatan komik ini sendiri terdiri dari Beng sendiri dan Khelmy Pribadi; Komikus yaitu Sungging Priyanto dan Studio 610; serta Story Board oleh Arif Yuntoro.
Tantangan kedua adalah bagaimana para icon dalam komik ini harus terasosiasi dengan tepat. Contohnya, bagaimana tokoh-tokoh seperti tukang taksi, marbot masjid, dan tukang asah pisau iniharus bisa digambarkan serta mewakili orang kebanyakan tanpa tahu secara detail bagaimana profil sosok sesungguhnya.
“Karena sosok-sosok yang bertemu dengan buya dalam cerita ini tidak kami ketahui secara detail ciri-cirinya, maka kami harus mengira-ngira supaya bisa mewakili gambaran rakyat kebanyakan. Tentunya tanpa mengurangi sedikitpun tentang gagasan dasar serta tidak menimbulkan bias tertentu,” tandasnya.
Yang mengejutkan, peluncuran ini juga dihadiri seorang tokoh serta sahabat yang dikisahkan oleh Buya Syafii dan diberi judul “Taksi” dalam komik tesebut. Ia adalah Marsudi, seorang supir taksi dari Paguyuban Rajawali yang juga seorang Muallaf serta pendakwah di lingkungannya (Th).