JAKARTA, suaramuhammadiyah.id – Melalui konferensi pers di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Rabu (31/8), Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk menunda pemberlakuan Undang-Undang (UU) Tax Amnesty.
Sikap Muhammadiyah ini didasarkan oleh hasil rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah, 26-28 Agustus, di Yogyakarta. Hasil kajian MHH memutuskan bahwa prosedur kelahiran UU Tax Amnesty cacat moral dan tidak bisa diberlakukan.
Rakernas MHH juga memutuskan agar secara kelembagaan, Muhammadiyah mengajukan uji materi atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang disebut dengan jihad konstitusi. Keputusan untuk mengajukan uji materi atas UU Tax Amnesty itu akan dibahas lagi secara menyeluruh dalam rapat pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 7 September mendatang.
“Kalau disepakati, maka akan kami ajukan. Karena yang melakukan judicial review harus induk organisasi,” ujar Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas.
Muhammadiyah menilai, keberadaan undang-undang yang dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan pajak ini, justru menimbulkan keresahan dan kebingungan di tengah masyarakat, padahal belum genap dua bulan diberlakukan.
“Kami menggelar konferensi pers untuk merespon kegelisahan masyarakat. Kami berusaha memperjuangkan kepentingan masyarakat. Jangan sampai jadi korban,” ujar Busyro Muqoddas.
Menurut Busyro, penangguhan sebaiknya dilakukan hingga pemerintah memperoleh masukan dari masyarakat. Agar jangan sampai antara efektivitas perolehan pajak dan kegaduhan yang ditimbulkan, tidak seimbang. Justru menimbulkan banyak ketidakadilan.
“Jadi kami memohon pemerintah berbesar hati menunda, ditangguhkan. Kalau dilakukan, biaya sosial mahal. Keadilan sosial itu juga menyangkut ketenangan batiniah masyarakat,” ujar mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Busyro menyarankan supaya pemerintah melibatkan pemerintah dalam pembuatan UU. Sehingga tidak merugikan negara dan masyarakat. Sebelumnya, PP Muhammadiyah sudah mengajukan judicial review (JR) terhadap sejumlah undang-undang yang menciderai UUD 1945 dan hampir semua gugatan Muhammadiyah telah dikabulkan oleh MK. Yaitu UU Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan, UU Minyak dan Gas, UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU Lalu Lintas Devisa serta UU Ormas.
“Kalau mau buat undang-undang, pemerintah harusnya memberikan materi ke elemen masyarakat. Seperti Muhammadiyah, PGI dan lain-lain, untuk dibahas bersama. Ini tidak, jadi sepihak. Padahal ini kan juga menyangkut masyarakat dan kelompok usaha kecil,” ujar Busyro. (Ribas)