Syafii Maarif: Dari Tukang Tambal Ban Saya Bisa Memetik Pelajaran

Syafii Maarif: Dari Tukang Tambal Ban Saya Bisa Memetik Pelajaran

YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id– Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia belum juga terbebas dari ketidakadilan. Cita-cita negara untuk mensejahterakan segenap tumpah darah Indonesia masih mengalami banyak persoalan. Justru, yang terjadi adalah disparitas antara si kaya dan si miskin semakin melebar.

Kondisi itu membuat Ahmad Syafii Maarif gusar. Guru bangsa itu merasa negara yang berpegang pada asas Pancasila ini telah mengkhianati janjinya untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Keprihatinan Buya juga diperoleh dari kebiasaan Buya berinteraksi secara intens dengan semua kalangan.

Kisah-kisah perjumpaan Buya dengan orang-orang kecil itu sebagian besar dituliskan dalam artikel-artikel Buya di media. Cerita sederhana Buya itu kemudian dijadikan sumber utama cerita komik “Bengkel Buya:Belajar dari Kearifan Wong Cilik”, yang diluncurkan pada Senin (29/8) di Madrasah Muallimin Yogyakarta.

Buya Syafii menyinggung kondisi orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. “Haji masih banyak, tapi tengoklah di sekitar kita,” papar Buya. Yang dimaksud kondisi sekitar kita kata Buya adalah kondisi kemiskinan. Jika standar hidup layak diukur dengan pendapatan minimal 2 US Dolar per kepala keluarga per hari, maka kata Buya, hampir separuh dari 250 juta rakyat Indonesia berada dalam garis kemiskinan.

“Sebenarnya ada lebih dari separuh rakyat Indonesia di bawah sejahtera, kita bilang wong cilik. Buku ini hanya percik kecil saja, tapi inilah gambaran fakta yang ada di Indonesia,”  ujar Buya Syafii.

Dialog Buya Syafii dengan wong cilik hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang ada di Indonesia saat ini. “Saya mengajak masyarakat untuk berpikir mengurai permasalahan yang ada, jangan hanya berpikir untuk enak dan aman,” papar ketua umum PP Muhammadiyah 1998-2005.

Dalam kesempatan tersebut, Syafii menceritakan saat dirinya berbincang dengan tukang tambal ban. Menurutnya, orang-orang kecil seperti ini memiliki ketajaman nurani dengan semua profesi yang dijalani.

Buya memulai percakapan saat menunggu tukang tambal ban mereparasi sepeda miliknya. Ketika itu Buya menanyakan mengapa tukang tambal ban tersebut tidak sekalian berjualan bensin dan kelontong. Si tukang tersebut menjawab bahwa biarlah orang lain yang membuka bensin dan kelontong sebagai mata pencahariannya.

Dari sana Buya menemukan semangat ekonomi kerakyatan yang dimiliki si tukang tambal ban. Bahwa salah satu watak dari ekonomi kapital yang membuat ketimpangan kemiskinan di seluruh belahan dunia ditandai dengan watak bisnis yang serakah.  “Kita tahu sistem kapital telah melahirkan ketimpangan dan kemiskinan. Dari tukang tambal ban itu saya bisa memetik pelajaran,” ujar Syafii (Ribas).

Exit mobile version