Anak Muda Muhammadiyah Jadi Radikal Karena Kurang Perhatian

Anak Muda Muhammadiyah Jadi Radikal Karena Kurang Perhatian

YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id—Pada tahun 2012, penulis buku “Membela Islam Murni” Pradana Boy ZTF berkesempatan untuk melakukan observasi awal tentang fenomena yang terjadi di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah di Lamongan, Jawa Timur.

Saat itu ada fenomena yang sangat ironis. Boy menyebut beberapa fakta mencengangkan, misalnya keberadaan oknum anak-anak muda Muhammadiyah yang berani menentang para kyai Muhammadiyah. Ada juga beberapa pemudi Muhammadiyah yang kemudian bersikukuh untuk menggunakan cadar. Puncaknya adalah penangkapan Ali Imron, pelaku bom Bali, yang merupakan alumni lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Fakta itu tentu sangat mengejutkan, karena Muhammadiyah selama ini merupakan gerakan moderat, yang tidak memiliki kecenderungan ke kubu ekstrim. Hasil observasi awal Boy tersebut ternyata mengungkap bahwa ada beberapa pola pengaruh luar yang menjangkiti anak-anak muda. “Mereka adalah anak-anak muda Muhammadiyah yang tidak terawat secara spiritual,” ujar Boy dalam acara Kamastu di aula PWM DIY, Jumat (2/9).

Selama ini Muhammadiyah dikenal lebih sibuk dengan kegiatan-kegiatan organisatoris, sehingga melupakan aspek kejiwaan mereka. Sehingga mudah terpengaruh dengan godaan kelompok radikal. “Karena mereka tidak mendapat perhatian (di Muhammadiyah),” kata Boy yang juga ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PW PM) Jawa Timur

Uniknya, selama masih di Muhammadiyah, keradikalan para aktivis muda itu hanya sebatas pada level ide saja. “Seradikal-radikalnya Muhammadiyah hanya di level ide. Tapi untuk dalam level tindakan tidak terjadi,” papar Boy. Baru ketika mereka keluar dari Muhammadiyah dan bergabung atau mendirikan komunitas lain, maka di sana sumber masalah mulai muncul.

Misalnya Ali Imron. Ia menjadi benar-benar radikal dalam tindakan karena keluar dari pagar Muhammadiyah dan kemudian bergabung dengan para jihadis Johor dan Afghanistan. Hal itu diakui sendiri oleh Ali Imron dalam bukunya.

“Saya pertama kali berkenalan dengan jihad di Muhammadiyah,” ujarnya sebagaimana ditirukan Boy. “Ide hanyalah menjadi ide jika saya tetap di Muhammadiyah,” lanjutnya. Sehingga kemudian tidak sedikit mereka yang merasa tidak cocok dengan Muhammadiyah berpindah haluan. Salah satunya pendiri MTA, alumni Universitas Muhammadiyah yang kemudian keluar dari Muhammadiyah dan menganggap Muhammadiyah ‘kurang tegas’ dan ‘kurang keras’.

Yang perlu diwaspadai, kata Boy, mereka yang keluar dari Muhammadiyah dengan alasan Muhammadiyah ‘kurang keras’ itu kemudian mengajak dan mempengaruhi anak-anak muda Muhammadiyah. “Menjadi real radikal, kembali ke Muhammadiyah mempengaruhi anak-anak muda Muhammadiyah,” kata Boy.

Menurut Boy, para ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Haedar Nashir dan Muhadjir Effendy pernah memberikan garansi bahwa selama masih di Muhammadiyah, tidak ada yang perlu dirisaukan ketika ada anak-anak muda Muhammadiyah yang ekstrim kiri atau ekstrim kanan.

“Seliberal-liberalnya atau seradikal-radikalnya mereka tidak melebihi tembok (Muhammadiyah) itu,” kata Boy. Jika sudah melebihi tembok, maka mereka akan keluar dari Muhammadiyah. (Ribas)

Exit mobile version