Jihad Selfie, Kisah Perekrutan ISIS Melalui Sosial Media dan Peran Orang Tua

Jihad Selfie, Kisah Perekrutan ISIS Melalui Sosial Media dan Peran Orang Tua

YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id—Teuku Akbar Maulana (17 tahun) merupakan pelajar asal Aceh yang mendapat beasiswa pendidikan dari pemerintah Turki.  Akbar mengikuti jenjang pendidikan setingkat SMA/MA, di Imam Katip High School di Kayseri, Turki.

Sama dengan pelajar lainnya, Akbar melalui semua kegiatan belajar mengajar dan menghafal al-Quran di sekolahnya. Sosok yang cakap berbahasa Arab ini dikenal memiliki banyak prestasi, terutama dalam bidang pidato, kaligrafi (khat), hingga cabang olahraga bulu tangkis.

Namun di tengah jalan, godaan muncul dan hampir mengubah jalan hidupnya. Niat awalnya ke Turki untuk menuntut ilmu hampir terbelokkan dengan keinginan untuk bergabung dengan pasukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), mengikuti jejak teman asal Indonesia, Yazid.

Melalui laman media social facebook, Akbar terpesona dengan foto Yazid, tampak gagah memegang senapan AK 47 dan M-16. “Rasanya gagah sekali pegang senjata. Foto-foto Yazid di facebook mendapat banyak like, termasuk dari ukhtiukhti,” cerita Akbar dalam acara review Film Jihad Selfie, di kantor Tribun Jogjakarta, Jalan Jenderal Sudirman, 7 September 2016.

Dalam film documenter berdurasi 49 menit tersebut, Noor Huda Ismail, mahasiswa doctoral Politik dan Hubungan Internasional di Monash University, Melbourne, Australia selaku sutradara, menceritakan pola perekrutan anggota ISIS melalui media social. Dalam pola lama, umumnya para teroris menggunakan cara konvensional melalui jaringan pengajian dan mudah ditelusuri.

“Akbar adalah cluster baru terorisme lewat media social. Lanskap terorisme telah berubah. Kasus Syiria memunculkan fenomena baru. Perekrutan menggunakan media social. Yang menjadi target adalah anak-anak muda galau dan jomblo,” tutur Noor Huda Ismail. Dalam film itu, selain mencoba meyakinkan Akbar, Yazid juga telah merekrut Bagus, yang juga pelajar Indonesia di Turki.

Menurut Akbar, ada sisi pencarian jati diri dan maskulinitas yang mendorongya untuk bergabung dengan ISIS. “Karena galau dan pencarian jati diri. Juga karena maskulinitas. Ingin menolong dan berbuat sesuatu. Kalau mati dapat surga,” kata Akbar. Dalam benak remaja yang pernah menjadi santri di Dayah Modern Darul Ulum Banda Aceh itu terpatri kalimat “isy kariman au mud syahidan” (hidup mulia atau mati syahid).

Godaan dan iming-iming itu menjadi beban pikiran Akbar berhari-hari, hingga terbawa ke alam mimpi. Di tengah kondisi yang serba membingungkan itu, Tuhan menakdirkan lain. “Takdir Ilahi bertemu dengan Pak Huda. Dari beliau ngasih pencerahan tentang Syiria,” ujar Akbar. Pertemuan tiba-tiba di warung Kebab itu menyadarkan Akbar untuk meluruskan kembali niatnya. “Di sekitar kita masih banyak hal yang bisa dilakukan dibanding ke sana (Syiria),” ungkapnya.

Para perekrut ISIS, ungkap Akbar, berusaha mendoktrin bahwa izin orang tua bukanlah hal yang penting untuk melakukan jihad. Akbar dikirimkan artikel Aman Abdurrahman berbahasa Indonesia tentang kebolehan berjihad tanpa izin orang tua. Namun hati kecil Akbar tidak bisa menerima argumen itu. Ia teringat dengan sabda Nabi, “ridha Allah fi ridha al-walidain” dan kisah Nabi yang menyuruh salah seorang sahabat pulang dari medan jihad karena tidak mendapat izin orang tua.

Menurut penuturan Akbar, Yazid pergi ke Suriah tanpa pemberitahuan dan restu orang tua. Setelah mengetahui anaknya hilang dan melakukan bom bunuh diri, ibunya sakit-sakitan memikirkan keberadaan Yazid, anak yang terkenal memiliki otak cerdas semenjak di sekolah. Peristiwa itu membuat Akbar menangis di hadapan guru setoran hafalan al-Qur’an di Turki.

Pertemuan secara tidak terduga dengan Noor Huda dan ingatan tentang orang tua membuat Akbar mengurungkan niat berangkat ke Syiria. Dalam film itu, Noor Huda menekankan bahwa factor kedekatan anak dan orang tua menjadi sangat penting dalam membentengi para remaja galau yang sedang mencari jati diri. Tokoh yang menjadi korban dalam film itu merupakan sosok yang kehilangan figure orang sebagai panutan utama. “Yazid bapaknya militer. Bagus bapaknya meinggal. Wildan bapaknya poligami,” kata Huda.

Adapun factor lainnya, kata Huda, adalah pemahaman tentang digital literasi. Film Jihad Selfie menggambarkan bahwa media sosial, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram dan Skype sangat rentan menjadi sumber malapetaka jika tidak didukung oleh literasi yang baik. “Selama ini, media social sering memblur antara imajinasi dan realitas,” ujarnya.

Melalui film yang dikerjakan sejak Maret 2015 sampai Juni 2016 itu, Huda mencoba melakukan engagement kepada banyak orang. Huda memilih melakukan transformasi melalui hati ketimbang pemikiran, dan film merupakan media yang tepat. Terlebih bagi anak muda, mereka butuh pengalaman langsung. “Saya bukan film maker. Tapi percaya kekuatan film bisa menggetarkan hati,” kata alumni pesantren Ngruki Solo itu.

Uniknya, semua proses pengambilan gambar untuk film ini dilakukan secara apa adanya. Dengan mengikuti aktivitas Akbar sehari-hari, tanpa didahului skenario dan naskah dari sutradara. Keseluruhan film berbicara secara alami, termasuk saat Akbar berinteraksi dengan Yazid lewat Facebook. Bahkan Noor Huda menjadi satu-satunya orang asing yang masuk ke lingkungan sekolahnya Akbar di Turki. “Saya mengadopsi teknik cinemaverite Jean Rouch, mengikuti hidup objek film tanpa skrip awal dari sutradara,” kata Huda.

Di sela-sela menyelesaikan penelitian Disertasinya, Noor Huda berhasil menghimpun 180 jam footage. Semua footage itu direkam selama di Turki, Mesir, Aceh, Lamongan, Jakarta, Semarang, hingga Pulau Nusakambangan. Namun kemudian diedit dan dipadatkan menjadi 49 menit, melalui serangkaian proses panjang penyuntingan oleh Bruce Gil. Sosok penyunting dan editor ini bertemu dengan Huda melalui interaksi media social dan memiliki kecocokan untuk menggarap proyek film yang rencanaya akan diikutkan pada festival internasional. (Ribas)

 

Exit mobile version