Ketika Non-Muslim Percaya pada Institusi Pendidikan Muhammadiyah

Ketika Non-Muslim Percaya pada Institusi Pendidikan Muhammadiyah

YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.idPersyarikatan Muhammadiyah yang berasaskan Islam rahmatan lil alamin memiliki jangkauan dakwah yang tidak terbatas, menembus sekat-sekat perbedaan. Dakwah pencerahan Muhammadiyah tidak hanya berwacana, namun melakukan aksi nyata. Hal itu dikatakan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Agung Danarto dalam acara DAM IMM Sleman, di BLK PAY, Yogyakarta, Kamis (8/9).

Menurut Agung, pendirian Amal Usaha Muhammadiyah terutama dalam bidang pendidikan sangat efektif untuk mencerahkan suatu komunitas masyarakat, tanpa memandang latar agama masyarakat tersebut. Pada tahun 1920-an, Muhammadiyah telah tersebar ke pelosok Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera untuk mencerahkan masyarakat, yang dilakukan oleh para alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Mereka adalah para dai muda yang mempopulerkan bahasa Melayu dalam rangka merawat kebhinnekaan Indonesia.

“Muhammadiyah menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting. Jika orang itu pintar atau berpendidikan, maka ia akan mampu berpikir kritis dan mendorong untuk bisa mandiri dan membentuk masyarakat yang sejahtera,” kata Agung.

Atas berbagai jasanya, Muhammadiyah dipercayakan dalam mengurusi bidang pendidikan. Tidak terkecuali masyarakat non-muslim. Di banyak daerah, kata Agung, masyarakat beragama Kristen Katolik dan Protestan tidak pernah takut untuk menyekolahkan anak di lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Agung lalu menceritakan beberapa sisi-sisi inklusifitas lembaga pendidikan Muhammadiyah di wilayah Indonesia Timur. “Di Jayapura, dalam sebuah acara reuni akbar alumni SMP Muhammadiyah, salah seorang alumni yang sudah doctor (S3) dan menjabat sebagai kepala pendeta pernah mengajukan diri untuk memimpin doa dalam acara itu. Uniknya doa yang dibaca oleh pendeta dalam acara itu adalah doa yang sering dibacakan di sekolah Muhammadiyah pada umumnya, radhitu billahi rabba wabil islamidina wabi muhammadin nabiyya wa rasula,” kisahnya.

Agung juga mengungkapkan tentang keberadaan universitas Muhammadiyah di Sorong, Kupang, Manado, Flores, NTT dan beberapa daerah lainnya diminati oleh mayoritas mahasiswa non-muslim bahkan hingga 80%.

“Jika Muhammadiyah berdakwah dengan mengadakan pengajian di wilayah non-muslim itu, tentu tidak ada yang tertarik. Tapi dengan mendirikan universitas, mereka justru datang dan bahkan tak keberatan untuk bayar mahal,” kata Agung.

Agung juga menceritakan tentang salah seorang Bupati non muslim di suatu daerah yang tidak pernah mau mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan. Namun ketika ada kegiatan Muhammadiyah, ia sangat antusias dan rela mengucurkan dana yang besar. Ia sangat percaya dan respek dengan Muhammadiyah, padahal kegiatan Muhammadiyah juga termasuk kegiatan keagamaan. (Ribas)

Exit mobile version