Namun Allah SwT memerintahkan agar anak yang baru lahir itu diantar ke suatu lembah sunyi yang tak berpenghuni di tengah padang pasir yang sepi cikal bakal kota Makkah saat ini. Luluh lantak hati Ibrahim mendengar perintah itu. Bagi seorang suami, berpisah dengan isteri adalah pengorbanan. Bagi seorang ayah berpisah dari anak yang kedatangannya sudah berpuluh tahun diharapkan adalah satu penyiksaan. Namun Ibrahim adalah Rasul dan manusia pilihan. Baginya perintah Allah adalah segala-galanya. Jika Allah yang memerintahkan, apapun yang terjadi perintah harus dilaksanakan. Bumi boleh hancur, langit biar runtuh, namun perintah Allah harus tetap dipikul di atas bahu, dijinjing dengan tangan dan digigit dengan gigi geraham.
Masih adakah orang yang seperti Ibrahim saat ini? yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi melaksanakan perintah Allah SwT? Walaupun perintah itu menyakitkan, namun hatinya tetap kokoh sebab dia yakin perintah Allah itu pasti baik untuk dirinya.
Selanjutnya Allah SwT berfirman:
“Ketika anak itu sudah beranjak remaja, Ibrahim berkata wahai anak belahan jiwaku, ayah bermimpi kalau Allah menyuruhku untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” (Qs Ash-Shaaffaat: 102).
Cobaan yang diberikan Allah kepada Ibrahim tidak sampai di situ saja. Ketika Ibrahim kembali mengunjunginya ke Mekah, saat itu didapatinya anak tersebut sudah (), atau menurut Ali al-Sabuni sudah mulai bisa membantu ayahnya, sekitar berumur lebih kurang tiga belas tahun. Anak itu beranjak remaja yang jadi pamenan jiwa, pelipur lara teman, untuk bercerita dan berbagi suka duka. Maka datang perintah yang lebih dahsyat lagi, Ibrahim disuruh untuk menyembelih anak tersebut.
Perintah penyembelihan itu disampaikan Allah melalui mimpi atau () yang sering menjadi polemik di kalangan ahli psikologi modern. Psikolog barat menganggap semua mimpi itu hanyalah penghubung di antara kondisi bangun dan tidur. Bahkan Frued menjelaskan bahwa mimpi hanyalah keinginan yang tidak dapat diwujudkan di alam nyata lalu hadir di alam tidur. Dengan kata lain dia hanya refleksi keinginan manusia yang tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang adikudrati. Sehingga kalaupun Rasul bermimpi maka itu tidak ada kaitan dengan wahyu dari Tuhan.
Ini tentu berbeda dengan pandangan Islam. Menurut Ibnu Abbas, mimpi seorang Rasul adalah wahyu. Berbeda dengan mimpi manusia biasa. Hal sama diungkapkan oleh Muhammad bin Ka’ab bahwa wahyu yang turun kepada Rasul kadang dalam keadaan terbangun tapi ada juga dalam keadaan tertidur. Sebab para Rasul ketika tertidur hanya matanya yang terlena namun hatinya tetap terbangun.
Di mana ada cobaan yang lebih dahsyat dari perintah untuk menyembelih anak kandung sendiri, darah daging sendiri. Sebagai seorang ayah Ibrahim merasa sangat sedih, sebab anak itu belahan jiwanya. Namun sebagai seorang hamba Allah Ibrahim sadar, bahwa anak, harta bahkan jiwanya sendiri itu milik Allah. Jika Allah menghendaki anak itu untuk dikorbankan, mengapa harus ragu, mengapa harus bimbang? Ibrahim rela menyembelih anak kandungnya sendiri. Ini sikap pemimpin yang sejati.