Ibrahim adalah pemimpin bagi keluarganya, pemimpin bagi umatnya. Dan Ibrahim telah menunjukkan kepada kita bahwa hakikat dari kepemimpinan itu adalah amanah, perjuangan dan pengorbanan. Aspek ini yang sekarang sudah dilupakan. Banyak orang yang menganggap kepemimpinan dan jabatan merupakan kesempatan dan kekuasaan. Sehingga jika di zaman Rasul dan para sahabat saling menolak untuk diberi jabatan, maka hari ini orang justru bersaing, bertanding dan berebut untuk mendapatkan jabatan dan kepemimpinan tersebut. Akhirnya seringkali jabatan bukan lagi pengorbanan, akan tetapi alat untuk mencari korban. Demi jabatan orang rela menghalalkan segala cara. Saling sikut kawan seiring, menggunting dalam lipatan. Teman di atas ditarik, kawan di bawah dipijak, sahabat seiring ditolak.
Jika ini terjadi, rakyatlah yang akan menjadi korban sebab orang yang menjadikan jabatan sebagai kesempatan dan alat kekuasaan akan membela para kroninya, meskipun salah dan menegakkan hukum dengan tegas kepada orang yang bukan dalam kelompoknya. Ini yang sering disebut dengan penegakan hukum yang tebang pilih. Mereka lupa kalau perbuatan ini akan menghancurkan bangsa dan negara sebagaimana sabda Rasul saw:
Sesungguhnya kehancuran umat terdahulu terjadi ketika pelaku kesalahan kelompok elit mereka tutupi. Namun jika yang melakukan kesalahan masyarakat biasa, maka mereka tegakkan hukum. Demi Allah, jika anakku Fatimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.
Kepemimpinan dalam Islam adalah perjuangan dan pengorbanan demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat dan bangsa. Hal ini yang telah dicontohkan Ibrahim sebagai pemimpin yang harus dijadikan pedoman untuk kehidupan kita hari ini.
Lalu bagaimana pula sikap Ismail yang akan disembelih ayahnya ? Apakah remaja ini lari, takut dan melawan kepada orang tuanya ? Maka pada saat Ibrahim berkata:
Ismail paham kalau penyembelihan bermakna kematian. Maka dia akan meninggalkan masa mudanya, meninggalkan ibu yang selama ini membesarkannya. Namun dengan tenang anak remaja itu menjawab:
“…Wahai ayahku, jangan sangsi, jangan ragu lakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah aku termasuk orang yang sabar,” (Qs ash-Shaaffaat: 102).
Menurut Imam al-Baydawi, ayat di atas menunjukkan kepatuhan Ismail terhadap perintah Allah SwT. Sebab perintah melalui mimpi jauh lebih hebat dari perintah dalam keadaan terbangun. Perintah melalui jalur mimpi sesungguhnya menghendaki kepatuhan dan keikhlasan yang utuh dan tidak berbelah bagi. Maka Ismail sabar akan penyembelihan yang merupakan ketetapan mutlak Allah SwT.
Coba kita bayangkan jikalau Ismail itu adalah anak kita hari ini. Apa yang dilakukannya bila kita sebagai orang tua akan menyembelihnya. Hampir pasti anak itu menolak, bahkan melawan atau mereka mungkin menyembelih ayahnya sebelum disembelih. Sebab jangankan berkorban untuk orang tua, terlalu banyak anak muda hari ini justru mengorbakan diri, orang tua dan bangsanya. Ini dapat dilihat dengan maraknya penggunaan narkoba, pergaulan bebas dan berbagai pola hidup negatif lainnya yang dilakukan remaja hari ini. Mereka lupa bahwa masa depan agama, bangsa dan negara ada di tangannya. Kalau Ismail sebagai remaja rela mengorbankan jiwanya untuk ketaatan kepada Allah, maka remaja hari ini jangan sampai mengorbankan diri mereka karena kemaksiatan kepada Allah. Wahai para remaja jadikan Ismail sebagai idola, yang rela berkorban demi agama serta patuh kepada perintah Allah dan orangtua.