Oleh: Dr H Saidul Amin, MA
Hadirin dan hadirat para undangan Allah yang berbahagia.
Sepanjang hidup, sudah berpuluh kali kita merayakan Idul Adha atau hari raya kurban. Namun pertanyaan yang seharusnya menjadi renungan adalah sudah sejauh mana kita menanam, memupuk, memelihara serta mengekalkan nilai-nilai dan hikmah kurban itu dalam kehidupan sehari-hari. Betapa seringnya dilihat di dalam masyarakat, hari raya kurban itu diperingati dengan penuh gegap gempita. Hewan kurban disembelih, daging kurban dibagikan, Takbir dan tahlil digaungkan memenuhi angkasa raya. Namun sayangnya jiwa dan semangat berkorban justru semakin jauh dalam masyarakat. Seringkali kita baru sekadar berkorban, akan tetapi belum lagi memetik hikmah yang ada di dalam ibadah itu. Maka wajar sering dijumpai ada pedagang yang selalu berkurban, namun dalam kehidupannya masih tetap mengorbankan pembeli demi untuk keuntungan dan laba. Ada pejabat yang selalu berkorban akan tetapi masih mengorbankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara demi kepentingan pribadi dan golongan. Artinya kita masih melakukan korban zahir tapi tidak disertai dengan pengamalan hakikat kurban yang sesungguhnya.
Kalau kita buka lipatan sejarah Islam, maka akan tersua bahwa sejarah kurban yang dirayakan hari ini dimulai oleh Nabi Ibrahim as yang telah melakukan satu pengorbanan yang sangat besar dalam sejarah peradaban manusia, menyembelih anak tercinta. Bagi kita umat Islam sikap hidup Ibrahim sewajarnya dijadikan pedoman dalam menghadapi kehidupan kontemporer yang penuh dengan tantangan. Hal ini seperti firman Allah SwT di dalam surah al-Mumtahanah ayat 4:
Sesungguhnya Ibrahim dan orang yang bersamanya adalah contoh tauladan untuk kamu
Seperti diketahui Nabi Ibrahim berpuluh tahun berdoa agar diberikan anak yang akan melanjutkan dakwah dan risalah Allah untuk disampaikan kepada umat manusia. Sehingga Ibrahim selalu melantunkan kata-kata dalam doa:
“Ya Tuhanku berilah aku anak yang shalih,” (Qs ash-Shaaffaat: 4).
Menurut Ibn Kathir doa ini dilantunkan Ibrahim kepada Allah SwT agar dia diberikan anak yang shalih, taat dan patuh serta teman yang akan menghibur dan menemani dirinya setelah terpisah jauh dari keluarga. Bagi Ibrahim anak itu bukan sekedar orang yang akan melanjutkan keturunan. Bukan orang yang akan mewarisi harta, namun yang terpenting anak harus mampu mewarisi iman dan agama.
Prinsip inilah yang semestinya kita jadikan contoh dalam mendidik anak. Orang tua harus menyadari bahwa anak itu bukan sekadar orang yang akan mewarisi kebun sawit, kebun getah, perdagangan atau deposito di bank. Namun yang paling penting adalah anak itu mampu mewarisi agama dan iman yang kita miliki. Kita boleh bangga memiliki anak-anak yang kaya, berilmu atau sarjana. Namun sesungguhnya yang harus kita pikirkan lebih lanjut adalah apakah anak-anak kita faham akan agama? Apakah sesudah kematian kita nanti anak-anak itu masih rukuk dan sujud kepada Allah? Ini yang harus direnungkan dari lubuk hati yang terdalam.
Kalau orang tua kita dahulu masih mampu menitipkan ruh iman di dalam jiwa kita, apakah kita masih mampu mewariskannya kepada anak dan cucu.
Hadirin dan hadirat para undangan Allah yang terhormat.
Setelah lama menunggu dengan penuh kesabaran, doa Ibrahim as dikabulkan oleh Allah sebagaimana dikatakan di dalam firmanNya:
“Lalu kami berikan kepada Ibrahim kabar gembira dengan akan lahirnya seorang anak yang baik,” (Qs ash-Shaaffaat: 5).
Anak itu lahir dan diberi nama Ismail, seorang anak yang sehat dan cerdas. Kehadiran Ismail bagaikan hujan turun setelah kemarau berkepanjangan. Ismail menjadi penghibur duka, pelipur lara, si tawar si dingin bagi orang tuanya. Penghibur hati pengobat jiwa.
Namun Allah SwT memerintahkan agar anak yang baru lahir itu diantar ke suatu lembah sunyi yang tak berpenghuni di tengah padang pasir yang sepi cikal bakal kota Makkah saat ini. Luluh lantak hati Ibrahim mendengar perintah itu. Bagi seorang suami, berpisah dengan isteri adalah pengorbanan. Bagi seorang ayah berpisah dari anak yang kedatangannya sudah berpuluh tahun diharapkan adalah satu penyiksaan. Namun Ibrahim adalah Rasul dan manusia pilihan. Baginya perintah Allah adalah segala-galanya. Jika Allah yang memerintahkan, apapun yang terjadi perintah harus dilaksanakan. Bumi boleh hancur, langit biar runtuh, namun perintah Allah harus tetap dipikul di atas bahu, dijinjing dengan tangan dan digigit dengan gigi geraham.
Masih adakah orang yang seperti Ibrahim saat ini? yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi melaksanakan perintah Allah SwT? Walaupun perintah itu menyakitkan, namun hatinya tetap kokoh sebab dia yakin perintah Allah itu pasti baik untuk dirinya.
Selanjutnya Allah SwT berfirman:
“Ketika anak itu sudah beranjak remaja, Ibrahim berkata wahai anak belahan jiwaku, ayah bermimpi kalau Allah menyuruhku untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” (Qs Ash-Shaaffaat: 102).
Cobaan yang diberikan Allah kepada Ibrahim tidak sampai di situ saja. Ketika Ibrahim kembali mengunjunginya ke Mekah, saat itu didapatinya anak tersebut sudah (), atau menurut Ali al-Sabuni sudah mulai bisa membantu ayahnya, sekitar berumur lebih kurang tiga belas tahun. Anak itu beranjak remaja yang jadi pamenan jiwa, pelipur lara teman, untuk bercerita dan berbagi suka duka. Maka datang perintah yang lebih dahsyat lagi, Ibrahim disuruh untuk menyembelih anak tersebut.
Perintah penyembelihan itu disampaikan Allah melalui mimpi atau () yang sering menjadi polemik di kalangan ahli psikologi modern. Psikolog barat menganggap semua mimpi itu hanyalah penghubung di antara kondisi bangun dan tidur. Bahkan Frued menjelaskan bahwa mimpi hanyalah keinginan yang tidak dapat diwujudkan di alam nyata lalu hadir di alam tidur. Dengan kata lain dia hanya refleksi keinginan manusia yang tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang adikudrati. Sehingga kalaupun Rasul bermimpi maka itu tidak ada kaitan dengan wahyu dari Tuhan.
Ini tentu berbeda dengan pandangan Islam. Menurut Ibnu Abbas, mimpi seorang Rasul adalah wahyu. Berbeda dengan mimpi manusia biasa. Hal sama diungkapkan oleh Muhammad bin Ka’ab bahwa wahyu yang turun kepada Rasul kadang dalam keadaan terbangun tapi ada juga dalam keadaan tertidur. Sebab para Rasul ketika tertidur hanya matanya yang terlena namun hatinya tetap terbangun.
Di mana ada cobaan yang lebih dahsyat dari perintah untuk menyembelih anak kandung sendiri, darah daging sendiri. Sebagai seorang ayah Ibrahim merasa sangat sedih, sebab anak itu belahan jiwanya. Namun sebagai seorang hamba Allah Ibrahim sadar, bahwa anak, harta bahkan jiwanya sendiri itu milik Allah. Jika Allah menghendaki anak itu untuk dikorbankan, mengapa harus ragu, mengapa harus bimbang? Ibrahim rela menyembelih anak kandungnya sendiri. Ini sikap pemimpin yang sejati.
Ibrahim adalah pemimpin bagi keluarganya, pemimpin bagi umatnya. Dan Ibrahim telah menunjukkan kepada kita bahwa hakikat dari kepemimpinan itu adalah amanah, perjuangan dan pengorbanan. Aspek ini yang sekarang sudah dilupakan. Banyak orang yang menganggap kepemimpinan dan jabatan merupakan kesempatan dan kekuasaan. Sehingga jika di zaman Rasul dan para sahabat saling menolak untuk diberi jabatan, maka hari ini orang justru bersaing, bertanding dan berebut untuk mendapatkan jabatan dan kepemimpinan tersebut. Akhirnya seringkali jabatan bukan lagi pengorbanan, akan tetapi alat untuk mencari korban. Demi jabatan orang rela menghalalkan segala cara. Saling sikut kawan seiring, menggunting dalam lipatan. Teman di atas ditarik, kawan di bawah dipijak, sahabat seiring ditolak.
Jika ini terjadi, rakyatlah yang akan menjadi korban sebab orang yang menjadikan jabatan sebagai kesempatan dan alat kekuasaan akan membela para kroninya, meskipun salah dan menegakkan hukum dengan tegas kepada orang yang bukan dalam kelompoknya. Ini yang sering disebut dengan penegakan hukum yang tebang pilih. Mereka lupa kalau perbuatan ini akan menghancurkan bangsa dan negara sebagaimana sabda Rasul saw:
Sesungguhnya kehancuran umat terdahulu terjadi ketika pelaku kesalahan kelompok elit mereka tutupi. Namun jika yang melakukan kesalahan masyarakat biasa, maka mereka tegakkan hukum. Demi Allah, jika anakku Fatimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.
Kepemimpinan dalam Islam adalah perjuangan dan pengorbanan demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat dan bangsa. Hal ini yang telah dicontohkan Ibrahim sebagai pemimpin yang harus dijadikan pedoman untuk kehidupan kita hari ini.
Lalu bagaimana pula sikap Ismail yang akan disembelih ayahnya ? Apakah remaja ini lari, takut dan melawan kepada orang tuanya ? Maka pada saat Ibrahim berkata:
Ismail paham kalau penyembelihan bermakna kematian. Maka dia akan meninggalkan masa mudanya, meninggalkan ibu yang selama ini membesarkannya. Namun dengan tenang anak remaja itu menjawab:
“…Wahai ayahku, jangan sangsi, jangan ragu lakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah aku termasuk orang yang sabar,” (Qs ash-Shaaffaat: 102).
Menurut Imam al-Baydawi, ayat di atas menunjukkan kepatuhan Ismail terhadap perintah Allah SwT. Sebab perintah melalui mimpi jauh lebih hebat dari perintah dalam keadaan terbangun. Perintah melalui jalur mimpi sesungguhnya menghendaki kepatuhan dan keikhlasan yang utuh dan tidak berbelah bagi. Maka Ismail sabar akan penyembelihan yang merupakan ketetapan mutlak Allah SwT.
Coba kita bayangkan jikalau Ismail itu adalah anak kita hari ini. Apa yang dilakukannya bila kita sebagai orang tua akan menyembelihnya. Hampir pasti anak itu menolak, bahkan melawan atau mereka mungkin menyembelih ayahnya sebelum disembelih. Sebab jangankan berkorban untuk orang tua, terlalu banyak anak muda hari ini justru mengorbakan diri, orang tua dan bangsanya. Ini dapat dilihat dengan maraknya penggunaan narkoba, pergaulan bebas dan berbagai pola hidup negatif lainnya yang dilakukan remaja hari ini. Mereka lupa bahwa masa depan agama, bangsa dan negara ada di tangannya. Kalau Ismail sebagai remaja rela mengorbankan jiwanya untuk ketaatan kepada Allah, maka remaja hari ini jangan sampai mengorbankan diri mereka karena kemaksiatan kepada Allah. Wahai para remaja jadikan Ismail sebagai idola, yang rela berkorban demi agama serta patuh kepada perintah Allah dan orangtua.
Lalu pertanyaan yang kadang mengusik kita adalah, Masih adakah anak yang seperti Ismail pada hari ini? tentu jawabannya adalah apakah masih ada orang tua yang seperti Ibrahim pada hari ini:
Lalu bagaimana pula sikap Siti Hajar ketika mendengar suaminya akan menyembelih anak yang dicintainya. Anak yang berada dalam tubuhnya selama sembilan bulan. Anak yang disusuinya selama dua tahun. Anak yang dibesarkannya dengan peluh dan air mata. Selaku ibu hancur hati Siti hajar saat itu. Namun dia juga sadar anak itu tidak lebih dari amanah dan titipan Allah kepada mereka. Maka dengan tegar dan tabah Siti Hajar merelakan anaknya disembelih oleh suaminya sendiri.
Siti hajar adalah seorang ibu, yang hati nuraninya sama dengan ibu-ibu yang lain. Namun Siti Hajar menyadari kalau dirinya juga hamba Allah dan isteri dari seorang suami yang bernama Ibrahim. Maka fungsi isteri adalah membantu suaminya dalam melakukan ketaatan kepada Allah, bukan menjauhkan suami dari agama Allah.
Sikap hidup Hajar inilah yang harus ditiru oleh para isteri hari ini. Pengorbanan mereka adalah membantu suami agar tetap istiqamah dalam ketaatan. Mendidik anak agar menjadi anak yang shalih. Sebab baik atau buruknya satu keluarga bahkan satu negara besar sekali peranan para ibu di sana. Ini yang dikatakan oleh Rasul:
Dunia ini adalah perhiasan dan serbaik baik perhiasan yang ada di dunia ini adalah wanita yang shalihah
Bahkan ada ungkapan lain yang sangat menjunjung tinggi peranan wanita di dalam masyarakat, yaitu:
Wanita itu adalah tiangnya negara
Artinya, rubuh tegaknya suatu negara tergantung pada wanitanya. Jika wanitanya baik, maka baiklah negara, apabila wanitanya buruk, maka hancurlah negara. Maka pada hakekatnya amanah dan pengorbanan ibu-ibu tidak ringan, sebab di tangan ibu-ibulah masa depan negara ini.
Apabila Ibrahim as rela menyembelih anaknya karena Allah. Siti hajar rela mengorbankan anak yang dilahirkan dan dibesarkannya karena mengikuti perintah Allah, sementara Ismail rela menjadi korban juga untuk melakukan perintah Allah, maka sudah saatnya kita bertanya, Apa yang sudah kita lakukan dan korbankan pada saat ini untuk menegakkan agama Allah.
Seperti diungkapkan di atas, hikmah terbesar dari ibadah kurban adalah kerelaan hati untuk memberikan sesuatu yang kita sayangi untuk Allah SwT. Hari ini Pengorbanan yang kita lakukan tidak perlu menyembelih anak sendiri, akan tetapi cukup sederhana dengan melaksanakan ibadah kurban, menyembelih seekor kambing untuk seorang atau seekor sapi dan kerbau untuk tujuh orang. Setiap bahagian itu memerlukan dana sekitar Rp 2 juta. Artinya jika setiap kita menabung Rp 6000 sehari maka tahun akan datang Insya Allah dia akan menjadi peserta kurban. Namun sayangnya, kadang kita tidak dapat berlaku adil. Untuk pulsa telfon kita mampu mengeluarkan uang lebih dari Rp 6000 sehari. Untuk rokok kita mampu mengeluarkan uang lebih dari itu. Namun untuk ibadah kurban masih berat menabung Rp 6000 sehari. Bahkan lebih tragis, kadang orang lebih rela berusaha sekuat tenaga agar dapat kupon daging korban daripada berusaha sekuat tenaga untuk menjadi peserta kurban.
Lalu apa kaitan Ibadah Kurban ini dalam kehidupan kita bermuhammadiyah ? Ibadah ini menjelaskan bahwa perjuangan itu harus utuh. Ibrahim adalah pemimpin yang harus dicontoh oleh para Pimpinan Pusat, Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting. Sementara Ismail adalah sosok yang harus ditiru oleh Pemuda Muhammadiyah, NA, IPM, IMM dan lainnya. Sementara Siti Hajar adalah sosok yang harus dilakoni oleh Aisyiah. Artinya setiap elemen di Muhammadiyah harus berkorban untuk kemajuan persyarikatan, bukan mengorbankan Gerakan Dakwah ini. Setiap kita harus punya andil seperti pupuk yang menghidupkan organisasi, bukan benalu yang membunuh pohon kehidupan Muhammadiyah.
Akhirnya, mari kita hidupkan kembali nilai-nilai dan hikmah korban dalam kehidupan sehari-hari, apapun profesi dan posisi kita. Orang tua harus berkorban dengan mendidik anak-anak agar menjadi generasi yang shalih. Para pemuda harus berkorban dengan menjauhkan diri dari semua perbuatan dan aktifitas yang dapat merusak jiwa, raga dan masa depan, Para pedagang harus berkorban dengan bersikap jujur dalam perniagaannya. Pemimpin juga harus berkorban dengan mendahulukan kepentingan rakyat dan masyarakat dari kepentingan pribadi dan golongan.
Inilah hakikat dari pengorbanan itu di mana setiap kita punya peranan untuk menyumbangkan tenaga dan segenap usaha demi memperjuangkan Islam dan umat Islam serta kejayaan agama Allah masa kini dan akan datang.
“Maka ambilah pekerjaan, hai orang-orang yang mempunyai pandangan,” (Qs Al-Hasyr: 2).
Selanjutnya, marilah kita akhiri khutbah Idul Adha pagi ini dengan berdoa ke hadirat Allah SwT. Semoga Allah SwT mengijabahi doa-doa kita semua, amien.•
——-
Dr H Saidul Amin, MA, Wakil Ketua PWM Riau dan Dosen Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.