YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id—Direktur Suara Muhammadiyah Deni Al-Asy’ari mengatakan bahwa para pelaku media-media di Muhammadiyah belum memiliki kesadaran untuk melakukan konsolidasi. Sehingga, meskipun secara kuantitas media tidak sedikit, namun tidak memiliki kekuatan sebagai pembentuk opini public.
“Media-media itu belum terkonsolidasi dan belum muncul kesadaran untuk menggunakan media sebagai alat perjuangan,” ujar Deni Al Ays’ari dalam salah satu sesi materi Darul Arqam Madya (DAM) Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Sleman, di BLK PAY Yogyakarta, Ahad (11/9).
Keadaan media-media Muhammadiyah yang seperti ini, dikatakan Deni, sebagai sikap euforia kebebasan di era reformasi. Namun belum menjadi sebuah alat perubahan. Padahal, Muhammadiyah memiliki potensi yang sangat besar dengan memanfaatkan jaringan dan struktur Muhammadiyah yang tersebar hingga cabang dan ranting di seluruh Indonesia.
Deni menambahkan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang memiliki jaringan dan struktur yang sangat luas itu harusnya memiliki Kantor Berita Muhammadiyah (KBM). KBM itu nantinya menjadi dapur produksi berita-berita dengan perspektif Muhammadiyah. Sehingga opini yang dirancang dan dibentuk mampu memberi alternatif framing dari media mainstream.
“Umat Islam termasuk Muhammadiyah masih sebagai konsumen media, bukan sebagai produsen media. Produsen yang menguasai media adalah mereka yang non-muslim,” kata Deni menggambarkan bahwa media-media umat Islam termasuk Muhammadiyah selama ini hanya mereproduksi ulang berita-berita yang diolah di dapur media-media mainstream.
Menurut Deni, saat ini terjadi oligopoly media di Indonesia. Sebuah survei menyebut data jumlah media cetak hingga tahun 2012 mencapai 1706, radio 1248 dan 76 media elektronik atau TV. Namun, keseluruhan media itu hanya dimiliki oleh 12 kelompok kepemilikan. Jika dikerucutkan, 12 kelompok kepemilikan itu hanya dimikili oleh lima pemilik saham terbesar. Sehingga keberadaan media sangat bergantung pada framing yang subjektif. (Ribas)