Busyro Muqoddas: Korupsi Sama Bahayanya dengan Virus Flu Burung

Busyro Muqoddas: Korupsi Sama Bahayanya dengan Virus Flu Burung

YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id—Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi Kebijakan Publik Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Busyro Muqoddas menyatakan bahwa keberadaan korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah. Bahkan, kadar bahayanya tak kalah dibanding dengan virus mematikan flu burung.

“Korupsi di Indonesia persis flu burung. Flu burung itu satu kena, semua kena. Menular cepat sekali,” kata Busyro Muqoddas dalam acara Diskusi Berseri dan Kuliah Umum Madrasah Anti Korupsi (MAK) Kelas Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PW PM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (10/9).

Menurut Busyro, pengalamannya selama empat tahun sebagai salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyiratkan bahwa korupsi telah menggerogoti negeri ini. Seperti virus, dampak dari korupsi sangat mematikan. Terlebih dilakukan secara sistemik, terstruktur dan massif. Busyro mengaku memiliki banyak data akurat tentang pernyataannya itu.

Selama di KPK pula, Busyro memetakan bahwa para aktor dan pelaku korupsi umumnya terdiri dari lima kelompok. Yaitu para komoditas bisnis, birokrat jahat, elit politik, penegak hukum serta calo atau broker yang menghubungkan empat aktor lainnya.

“Sistem kita di Indonesia sengaja dibikin menjadi dan mendukung sistem korupsi. Seperti UU partai politik, UU Pilpres, UU Pilkada, UU KPU, dan lain-lain,” kata Busyro. Kesemua Undang-Undang itu mendukung perilaku korup sejak awal. Busyro mencontohkan tentang revisi beberapa UU dilakukan dalam rangka memudahkan penyelewengan anggaran.

Bahkan, kata Busyro, para anggota DPR saat ini bisa melakukan korupsi dengan sistem silang. Ada anggota DPR yang melakukan korupsi di Dapil (daerah pemilihan) dan komisi yang bukan kewenangannya. Seperti Damayanti (politikus PDIP), kata Busyro, dapil Brebes, tapi melakukan korupsi proyek di Maluku. Demikian juga dengan komisi di DPR yang dia terlibat proyek berbeda dengan komisi yang menjadi wewenangnya.

Negara sebagai trias politika (eksekutif, lesgilatif, dan yudikatif), kata Busyro, lebih dimanfaatkan untuk distribution of power serta bagi-bagi kekuasaan dan proyek. Hal itu merusak independensi. “Penegak hukum harus independen. Jika tidak independen, jangan jadi penegak hukum,” kata mantan hakim MK itu.

Bosyro menyatakan bahwa hal yang patut diresahkan adalah fakta para anggota DPR yang dihuni oleh para pebisnis. “Hampir 70 persen DPR itu pebisnis. Otak pebisnis itu nyari untung,” katanya. Namun, Busyro tidak menyangkal bahwa segenap generasi bangsa Indonesia harus optimis dan bahu-membahu untuk menjadikan Indonesia ini terbebas dari virus korupsi. (Ribas)

Exit mobile version