Muhammadiyah Harus Menghidupkan Kembali Seni Budaya dan Olahraga

Muhammadiyah Harus Menghidupkan Kembali Seni Budaya dan Olahraga

Sudah terlalu lama Muhamamdiyah "meminggirkan" Seni Budaya dan lahraga dari ruang kehidupan

Oleh: Dr H Agung Danarto MAg, Sekretaris PP Muhammadiyah

Al-aqlu salim fii jismi salim, akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat. Ungkapan ini mengingatkan saya pada cerita-cerita pimpinan Muhammadiyah terdahulu. Di mana waktu itu, sebelum memulai rapat membahas seputar permasalahan agama, bapak-bapak Pimpinan Pusat sering mengawalinya dengan sepak bola, kemudian baru memulai rapat.

Bahkan sampai generasi Pak AR, hal ini masih sering terjadi. Biasanya sebelum rapat atau sesudahnya diawali atau diakhiri dengan bermain bulu tangkis. Itu menunjukan bahwa bapak-bapak Pimpinan Pusat waktu itu paham betul dengan ungkapan di atas.

Kemudian ini berlanjut pada kepengurusan Din Syamsuddin. Pada masa ini hampir tiap Muktamar atau sidang Tanwir didahului dengan sepak bola eksbisi. Pernah waktu itu PP Muhammadiyah melawan PBNU, pernah pula melawan kedutaan Inggris, dan kedutaan Australia. Pernah juga waktu Muktamar di Jogja PP Muhammadiyah melakukan pertandingan dengan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).

Tidak penting kalah menangnya, tetapi semangat untuk membuat tubuh sehat itulah yang utama. Belakangan banyak pimpinan Muhammadiyah, baik di persyarikatan maupun di amal usaha yang terkena penyakit strok, jantung, kolesterol tinggi, dan asam urat. Itulah penyakit orang-orang yang memang kurang gerak, kurang olahraga, dan ini mulai menggejala.

Karena di Muhammadiyah itu, kalau rapat duduk berjam-jam, bahkan kalau rakernas, muktamar, maupun tanwir bisa berhari-hari, tapi makannya selalu tidak ketinggalan. Makan tiga kali, belum lagi tambah snack di sela-sela rapat. Karena kurang gerak dan banyak makan akhirnya muncullah penyakit-penyakit tersebut.

Khusus sepak bola, tidak hanya Muhammadiyah, mungkin hampir semua orang juga menggemarinya. Bahkan sepak bola Muhammadiyah, Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW), yang dahulu hampir disetiap daerah Muhammadiyah ada, sampai hari ini masih ada di beberapa kota. Kalau di Jogja, di semua kabupaten dan kota PSHW masih hidup. Bahkan menjadi divisi utamanya beberapa klub sepak bola di Jogja, seperti PSIM dan Persiba.

Namun olah raga yang patut di banggakan di Muhammadiyah adalah seni bela diri, yaitu Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dari segi prestasi Tapak Suci cukup mumpuni dan mampu bersaing dengan yang lain.

Saya kira penting hari ini Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) menginisiasi adanya fakultas pendidikan dan keguruan olahraga. Karena kebutuhan akan guru olahraga di semua sekolah Muhammadiyah juga sangat besar. Sekaligus nantinya adalah untuk meningkatkan prestasi olahraga sekolah Muhammadiyah. Sampai hari ini belum ada PTM yang membuka jurusan olahraga tersebut. Kedepan semoga agenda ini cepat terealisasikan.

Rakernas Lembaga Seni Budaya dan Olahraga diadakan, tidak lain dalam rangka menegembangkan seni, budaya, dan olahraga di persyarikatan Muhammadiyah. Hal ini sebenarnya sudah pernah dicontohkan Kiyai Dahlan dalam sekolahnya yang tergambar pada film Sang Pencerah.

Saat itu hampir tidak ada orang yang bisa bermain biola atau bahkan tidak mau memainkanya. Namun Kiyai Dahlan dengan kemampuanya mau dan mampu memainkan biola di hadapan anak didiknya. Itu artinya Kiyai Dahlan memiliki jiwa seni yang baik dan tidak pernah menghitamputihkan seni. Kemudian hal ini berlanjut dan terus berkembang sampai akhirnya, dengan usaha Kyai Dahlan, sekolah Muhammadiyah memiliki ekstrakulikuler Drum Band.

Saat itu Drum Band menjadi keunggulan sekolah Muhammadiyah bahkan sampai hari ini. Sekarang TK Muhammadiyah pun memiliki Drum Band bahkan itu menjadi standar sekolah yang maju. Jika TK tidak memiliki Drum Band, konon sekolah itu termasuk sekolah yang tertinggal. Artinya pada masa awal berdirinya Muhammadiyah tidak ada kendala yang berarti terhadap perkembangan seni.

Perkembangan seni mulai bermasalah ketika warga Muhammadiyah lebih mengedepankan purifikasi dalam keberagamaan ketimbang sikap moderat.

Akibatnya Muhammadiyah begitu ketat karena purifikasi sangat kental. Bahkan cara pandangnya terhadap seni, budaya, dan olahraga cenderung menjadi hitam putih.

Jika hal ini terus berlanjut, maka sampai kapan pun Muhammadiyah tidak akan mampu mengembangkan seni, budaya, dan olahraga.

Namun jika pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dakwah, maka dengan sendirinya Muhammadiyah akan bersahabat dengan seni, budaya, dan olahraga. Melalui pendekatan itu, sangat dimungkinkan Muhammadiyah bisa menghidupkan kembali dan bisa mengembangkan seni, budaya, dan olahraga di lingkungan persyarikatan.

Exit mobile version