YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id—Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta tahun 1912, merupakan gerakan Islam modern yang memiliki banyak sisi. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah aktif melakukan kegiatan schooling (pendidikan), healing (kesehatan) dan feeding (santunan). Perhatiannya yang besar dalam bidang pendidikan menjadikan Muhammadiyah menuai banyak aktor intelektual yang memberi warna dalam kajian keislaman modern di Indonesia.
“Muhammadiyah punya banyak sisi. Namun di kampus-kampus jarang tersedia karya-karya itu. No representation intelektual Muhammadiyah. Setelah Hamka tidak ada,” kata Prof Azhar Ibrahim, Guru besar National University of Singapore, dalam acara diskusi terbatas dengan Suara Muhammadiyah di Kantor Suara Muhammadiyah lantai 2, Senin, (19/9).
Padahal kata Azhar, intelektual Muhammadiyah sangat banyak dan berpengaruh dalam pemikiran Islam kontemporer. Beberapa nama di antaranya Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, Kuntowidjoyo, Amin Abdullah, Haedar Nashir, Abdul Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman, Mukti Ali, Dawam Rahardjo, Taufik Abdullah, Azyumardi Azra, hingga yang generasi muda semisal Ahmad Najib Burhani dan lain-lain.
Bahkan meskipun tidak banyak ditampilkan identitas kemuhammadiyahannya, pemikiran para intelektual Muhammadiyah itu sudah masuk ke ranah yang tidak disentuh oleh intelektual Islam lain yang lebih berorientasi fikih. Azhar mencontohkan pemikiran kalam socialnya Amin Abdullah. “Itu sudah berani masuk ke ranah itu. Mungkin karena studi beliau di Turki yang di Turki itu ada gerakan ijtihadi kalam,” tutur Azhar.
Menurut Azhar, setelah reformasi, ada tiga intelektual Muhammadiyah yang menonjol dalam kajian theology social. Yaitu Syafii Maarif, Moeslim Abdurrahman dan Amien Rais. “Kuntowdjoyo dengan Islam profetik bertaut dengan Moeslim Abdurrahman yang mengembangkan theology transformatif juga bertaut dengan Munir Mulkhan dan Syafii Maarif. Mereka berada di garda terdepan dan saling melengkapi,” ujarnya.
Adanya karya intelektual yang dialihbahasakan ke bahasa Inggris dianggap Azhar sangat penting dalam rangka mengenalkan pemikiran Islam Muhammadiyah kepada dunia. “Tidak ada buku tentang Kyai Dahlan dalam bahasa Inggris,” ungkapnya. Terlebih karya tentang kajian Islam kontemporer yang berfokus pada theology social. “Kalau studi Islam itu menggunakan mono language, kecuali orang-orang tertentu,” paparnya.
Azhar juga menyatakan bahwa di Malaysia dan Singapura, karya tentang Muhammadiyah sangat sedikit. Yang ada hanya karya orientalis semisal James Peacock (University of North Carolina, AS) yang memandang Muhammadiyah sebagai gerakan puritan, padahal itu hanya satu sisi Muhammadiyah saja. Oleh karena itu perlu pengalihbahasaan karya intelektual Muhammadiyah ke bahasa Inggris. “Karena (karya) dalam bahasa Indonesia agak sulit, sementara dalam bahasa Inggris lebih mudah masuk ke Singapura,” katanya. (Ribas)