YOGYAKARTA, suaramuhammadiyah.id—Salah seorang Profesor National University of Singapore (NUS), Azhar Ibrahim menyatakan bahwa Muhammadiyah perlu menunjukkan sisi kultural yang ramah dan bersinergi dengan budaya lokal. Selama ini, Muhammadiyah hanya dikenal sisi puritan atau pemurniannya saja, yang cenderung keras dan anti budaya.
“Menunjukkan sisi intelektual dan kultural Muhammadiyah sangat penting. Muhammadiyah sering dianggap anti kultural, bahkan dipersepsikan dekat dengan Wahabi,” kata Prof Azhar Ibrahim, Guru besar National University of Singapore, dalam acara diskusi terbatas dengan Suara Muhammadiyah di Kantor Suara Muhammadiyah lantai 2, Senin (19/9).
“Orang tahu Muhammadiyah itu anti TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat). Atau paling-paling tahu Kyai Ahmad Dahlan membuat sekolah dan hospital (Rumah Sakit),” tutur Azhar. Masyarakat tidak banyak tahu tentang theology social atau theology al-Maun yang dikembangkan oleh Kyai Dahlan atau Muhammadiyah sampai sekarang. Sehingga ada gap dengan realitas yang ada.
Menurut Azhar, Muhammadiyah di pulau Jawa sangat tidak identic dengan Wahabi. Namun masyarakat secara umum cenderung mengenal Muhammadiyah dari buku-buku karya orientalis semisal James Peacock (University of North Carolina, AS) yang merekam salah satu sisi Muhammadiyah yang puritan. Tanpa membandingkan dengan penelitian lainnya, semisal ‘Muhammadiyah Jawa’ karya Ahmad Najib Burhani.
Azhar juga menyatakan bahwa Muhammadiyah perlu memperkaya ranah sastra. “Muhammadiyah dalam sastra tidak ada representasi,” katanya. Menurutnya, penting untuk menunjukkan diri dan dakwah Muhammadiyah dalam sastra semisal yang dilakukan oleh Buya Hamka dan Kuntowijoyo melalui novel dan cerpen-cerpennya. (Ribas)