Oleh: Samudi Abdullah
Jamaah Jum’at rahimakumullah.
Marilah kita selalu bertakwa kepada Allah, yaitu dengan selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hanya dengan ketakwaan itu kita akan diselamatkara oleh. Allah di hari kiamat
Dalam surat Ar-Rum [30]: 21), terkandung tujuan pernikahan, yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah (tenteram) mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Tujuan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah itu dapat terwujud apabila pernikahan itu dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditentukan oleh agama kita (Islam). Jika syarat-syarat dan rukun-rukunnya terpenuhi, menjadi sah lah pernikahan itu.
Tentang sahnya suatu pernikahan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, pasal 2, menyatakan:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-udangan yang berlaku.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang: No. 1 Tahun 1974 itu, menyatakan:
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. (pasal 2 ayat 1).
Jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah.
Menurut pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 itu perkawinan orang Islam akan sah jika dilakukan secara Islam. Kemudian, apa saja syarat dan rukun pernikahan menurut Islam? Rukun nikah yaitu Ada calon suami dan calon istri. Ada wali nikah bagi calon istri. Ada dua orang saksi laki-laki. Ada ijab (pernyataan menikahkan dari wali atau wakilnya). Ada kabul (jawaban menerima pernikahan dari calon suami).
Adapun syarat pernikahan itu adalah pria dan wanita yang akan menikah itu bukan mahram yaitu memiliki hubungan keluarga sehingga haram menjalin pernikahan, baik karena keturunan disebabkan karena perbesanan/pernikahan (musaharah), atau karena sepersusuan/menyusu kepada seorang wanita yang dilakukan oleh kedua calon mempelai, dahulu ketika masih bayi. Calon mempelai wanita bukan masih dalam status suami orang lain, dan tidak pul dalam masa ‘iddah (masa menunggu) setelah dicerai oleh suami sebelumnya, juga harus atas dasar kerelaan antara kedua calon mempelai, jadi bukan karena ada paksaan.
Jika syarat-syarat dan rukun pernikahan terpenuhi, pernikahan yang dilangsungkan dianggap sudah sah. Bertumpu pada hal inilah, banyak orang yang memprotes pemerintah ketika akan melarang nikah sirri, yang menurut pengertian umum sekarang sebagai nikah di bawah tangan, yang tidak melibatkan Petugas Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama. Mereka yang terlibat dalam proses nikah sirri itu berkeyakinan bahwa itu sudah sah menurut agama. Padahal, kalaupun sudah dianggap sah, masih memiliki banyak kelemahan.
Misalnya sebagai yang dinyatakan di dalam pasal 6 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam:
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian dalam pasal 7 ayat 1 dinyatakan:
Perkawinan hannya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Karena itu, nikah sirri seperti itu berakibat pada tidak ada jaminan dari pemerintah, misalnya tunjangan istri bagi yang suaminya pegawai negeri. Begitu juga anak-anak yang lahir dari pernikahan seperti itu, tidak dapat memperoleh tunjangan anak, jika ayahnya pegawai negeri. Bahkan untuk mendapatkan secara legal formal sebagai anak sah yang dilahirkan dari pernikahan itu tidak dapat terpenuhi. Akte kelahiran bagi anak tersebut hanya menyebutkan bahwa pada hari….. tanggal….. telah dilahirkan….. (nama bayi), seorang anak laki-laki/perempuan oleh seorang perempuan yang bernama….. Akta kelahiran itu tidak akan menyebutkan, misalnya “yang dilahirkan atas perkawinan yang sah antara suami istri yang bernama …. dan ….’ Tidak bisa menyebutkan seperti itu, karena tidak didukung adanya Akad Nikah.
Akibat selanjutnya, setiap dokumen negara yang menyangkut diri anak tersebut, misalnya ijazah-ijazah SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA selalu tidak mencantumkan nama ayah biologisnya. Seperti dokumen negara untuk anak-anak yang lahir di luar nikah.
Jamaah Jum’at rahimakumullah.
Di dalam negara modern keabsahan hukum ditentukan oleh adanya dokumentasi resmi dari negara, sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dan dokumen itu masih tetap terjaga, insya Allah, walaupun saksi-saksi personal sudah meninggal dunia. Di sinilah pentingnya pernikahan itu dilaksanakan scara resmi tercatat di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Bahkan dinyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Demikian pasal 6 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, yang keberadaannya berdasarkan Instruksi Presiden N0. 1 Tahun 1991, 10 Jni 1991.
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Suatu kaidah fiqih menyatakan:
Suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali ditopang dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun wajib adanya.
Sesuai dengan kaidah fikih ini, keberadaan saksi-saksi personal tidak dapat sempurna, kecuali ditopang dengan adanya pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah.Maka pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah itu pun wajib pula adanya, untuk menyempurnakan keberadaan saksi yang harus ada itu. Karena keberadaan pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan saksi-saksi personal sangat terkait, maka pernikahan tanpa pencatatan, menurut agama dan negara, sama-sama tidak sah, Wallahu a’lam.