YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Penerbit Suara Muhammadiyah bekerjasama dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, juga Pimpinan Wilayah DIY Pemuda Muhammadiyah gelar bedah buku “Bangunan Bersejarah Muhammadiyah” di Gedung Olahraga Indoor Universitas Negeri Yogyakarta, pada Sabtu 17 September 2016. Acara bedah buku tersebut merupakan bagian dari rangkaian Islamic Bookfair yang berlangsung dari 16 hingga 22 September 2016.
Hadir dalam kesempatan tersebut, penulis buku “Bangunan Bersejarah Muhammadiyah” yaitu Subhy Mahmashony Harimurti, SS, MA, yang juga staf pengajar di Universitas Islam Indonesia dan Daud Aris Tanudirjo, PhD yang merupakan staf pengajar di Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Ia mengkritik Muhammadiyah yang belakangan, sudah tidak peduli kepada bangunan bersejarah. Meski banyak amal usaha Muhammadiyah yang memanfaatkan banyak bangunan cagar budaya, namun sayangnya atas berbagai alasan, bangunan-bangunan tersebut pada akhirnya dirombak.
Al-Qur’an sendiri, menurut penulis, sebagai rahmatan lil ‘alamin juga memiliki beberapa “Ayat Arkeologis”. Yaitu ayat-ayat, yang menurut hemat penulis bertujuan untuk mendorong kesadaran arkeologis umat Islam sekaligus menyerukan agar manusia belajar dari masa lalu untuk menghadapi masa depan.
Al-Qur’an sendiri, menurut penulis, sebagai rahmatan lil ‘alamin juga memiliki beberapa “Ayat Arkeologis”. Yaitu ayat-ayat, yang menurut hemat penulis diturunkan agar mendorong kesadaran arkeologis umat Islam sekaligus menyerukan agar manusia belajar dari masa lalu untuk menghadapi masa depan.
Beberapa ayat-ayat ‘Arkeologis’ tersebut di antaranya adalah Al-Mujadilaah (58) ayat 11 yang mendorong manusia untuk menuntut ilmu, yaitu “… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Selain itu, penulis juga menyebutkan pelajaran lain yang terkandung dalam surat Yunus (10) ayat 92: “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami”.
“Ayat tersebut yang mengacu kepada Fir’aun yang setelah wafatnya di Laut Merah, tubuhnya kemudian dimumifikasi sehingga kita dapat menuai pelajaran darinya,” tutur Subhi.
Ia pun melanjutkan bahwa hingga kini, nyatanya penelitian arkeologis yang digalang oleh bangsa Barat maupun umat Islam terhadap mumi Fir’aun masih berlangsung. Sehingga, apa yang dijelaskan dalam ayat tersebut sangat jelas menyerukan kepada umat manusia untuk melihat dan belajar dari masa lampau.
“Di ayat tersebut, disparitas waktu yang diwakili oleh kata pada hari ini dan sesudahmu jelas menyuruh manusia untuk melihat ke masa lampau, mengharuskan mereka untuk memiliki jiwa sejarah,” tandas Subhi
Sedangkan Daud Aris Tanudirjo menyebutkan bahwa buku yang diterbitkan oleh penerbit Suara Muhammadiyah tahun 2015 lalu tersebut merupakan suatu langkah penting untuk memantik kesadaran arkeologis dalam lingkungan Muhammadiyah. Selain itu, juga menyajikan bukti bahwa Muhammadiyah memang sudah banyak berperan dalam memperbarui Islam. Kesadaran untuk terus mempelajari masa lalu tentu harus senantiasa dipupuk dan ditumbuhkembangkan oleh generasi muda Muhammadiyah.
“Sedangkan kecenderungan yang berlaku belakangan ini adalah masyarakat kerap menghilangkan dengan menghancurkan bukti-bukti itu. Saat hilangnya bukti, maka kiprah Muhammadiyah hanyalah jadi legenda belaka,” lanjutnya. Padahal di sisi lain, menurutnya, sebagian generasi muda Muhammadiyah mengharapkan keberadaan bukti itu. Namun sebagian besar kalangan tidak sepenuhnya memerhatikan kebutuhan itu. Kecenderungan itu juga nampak dalam kasus gedung proklamasi yang pada akhirnya dihancurkan oleh Bung Karno sendiri. Padahal Undang-Undang Cagar Budaya sendiri sudah ditetapkan sejak 1992, namun ironisnya khalayak cenderung tidak mengindahkan UU itu, bahkan melanggarnya.
Dalam banyak kasus pula proses pelestarian bukti-bukti itu tertutup oleh pertimbangan estetika, fungsional, hingga ekonomis. Dan jikapun bukti-bukti itu masih terlestarikan, namun terkadang nilai-nilainya tidak dipaparkan ke permukaan, sehingga khalayak hanya mengetahui bangunan-bangunan arkeologis seperti Candi Prambanan atau Borobudur dari segi fisiknya saja. Padahal nilai-nilai itu merupakan sumber identitas, memiliki sejuta nilai akademik juga manfaat eknomis. “Terlebih, jika ditelusuri lebih lanjut, nilai-nilai bangunan-bangunan arekologis itu juga dapat memberikan inspirasi kepada khalayak,” ucapnya.
Buku ini pun dapat dianggap sebagai pelestarian bangunan bersejarah Muhammadiyah, dalam bentuk perekaman (preserve by record). Sehingga jikapun di kemudian hari bangunan bersejarah Muhammadiyah tidak lagi dapat dijumpai (baca: tak terlestarikan). “Maka setidaknya catatan tentang bangunan-bangunan itu masih dapat kita nikmati, meskipun barangkali disertai dengan rasa penyesalan karena generasi terdahulu tidak mampu melestarikan bangunan-bangunan tersebut,” imbuhnya.
Meskipun demikian, ia juga melontarkan pujian kepada generasi terdahulu Muhammadiyah yang telah memberikan penghargaan terhadap sejarah budaya bangsanya sendiri. “Ada sebuah artikel yang menyatakan bahwa pada 1937 rombongan warga Muhammadiyah sejumlah kurang lebih 2.000 orang mengunjungi Museum Nasional,” papar Daud (Adit).