Membaca Tragedi 1965

Membaca Tragedi 1965

Ilustrasi

Suara Muhammadiyah- Pasca reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kehidupan kebangsaan di Indonesia makin terbuka. Proses liberalisasi politik, ekomomi, dan budaya berlangsung sangat leluasa. Banyak hal menjadi serbaboleh, seolah tanpa rem nilai yang fundamental. Pancasila yang secara ideologis dan konstitusional merupakan Dasar Negara, seolah menjadi basis normatif yang verbal belaka, serta tidak menjadi kekuatan pengendali dan pembingkai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di antara isu yang terus menggelinding ialah soal tuntutan sebagian orang agar pemerintah meminta maaf kepada korban G.30/S/PKI-1965, karena dianggap sebagai kesalahan sejarah. Sebagian ahli bahkan terus memproduksi informasi dan analisis bahwa peristiwa yang kelam tersebut sebagai rekayasa Soeharto dan kalangan militer. Kalangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap sebagai korban politik, lebih-lebih para pengikutnya yang terkena pembunuhan. PKI mulai diposisikan bukan sebagai pelaku peristiwa  yang tragis itu. Sebagian aktivis hak asasi manusia bahkan mencoba membawa tragedi 1965  itu ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
Isu rekonsiliasi pun terus menggelinding. Pemerintah melalui Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan waktu itu pernah menyelenggarakan acara rekonsiliasi nasional soal peristiwa 1956 itu. Para aktivis dan keturunan keluarga PKI menjadi peserta. Di forum itu budayawan ternama, Taufik Ismail yang anti-PKI, diberitakan menjadi sasaran kritik dan di-bully. Forum nasional itu terkesan beraroma lebih memihak atau bersimpati pada eks aktivis PKI.

Berbagai gerakan dan atribut palu arit pun bermunculan di ruang publik. Sebagian orang mulai berani menyatakan diri PKI. Terdapat aktivis organisasi Islam yang mengembangkan pandangan, harus dibedakan antara PKI dan Komunisme, yang gesture-nya mengandung empati dan simpati. Kaos dan spanduk mendukung PKI atau beratribut PKI hadir tanpa rasa sungkan. Demikian pula melalui tulisan di media massa dan media sosial.  Mereka yang anti-PKI dipandang sebagai keanehan dan digolongkan sebagai berpikiran ekstrem.
Apakah iklim keterbukaan yang cenderung liberal di negeri ini memberi ruang leluasa dan sebagai indikasi membuka keran bagi kebangkitan Komunisme dan khususnya PKI? Pada umumnya orang tidak yakin PKI bangkit kembali. Asumsi umum merujuk pada negara-negara Komunis di Eropa Timur, bahwa Komunisme sudah menjadi barang usang dan tidak laku dijual. Mereka yang cemas dengan Komunisme dan PKI dipandang sebagai berlebihan, laksana mimpi di siang bolong.

Boleh jadi pendapat optimistik tersebut mengandung kebenaran. Namun belum tentu sepenuhnya benar. Komunisme sebagai ideologi dan PKI sebagai kekuatan politik ideologis yang militan tidak otomatis mudah hilang. Kemungkinan selalu terbuka bahwa ideologi dan kekuatan politik apapun yang sifatnya radikal-militan selalu memiliki spirit untuk berdaur-ulang ketika terdapat situasi dan faktor-faktor yang mendukungnya. Proses reproduksi ideologi di dunia ini selalu terbuka pada banyak kemungkinan, termasuk peluang untuk bersemai kembali. Bahwa kekuatan dan pertumbuhannya tidak akan berlangsung masif seperti di masa lalu boleh jadi demikian, tetapi kemungkinan bangkit dan bereproduksi selalu terbuka.

Karenanya sikap cerdas dan waspada tetap diperlukan. Hal yang tidak kalah pentingnya ialah, Komunisme sebagai ideologi dan PKI sebagai kekuatan politik memang tidak cocok di negara Pancasila. PKI pun dalam beberapa peristiwa sejarah pernah melakukan pemberontakan serta menunjukkan perilalu politik yang radikal dan sewenang-wenang. Fakta sejarah tersebut tidak dapat dimanipulasi oleh temuan ilmiah dan kepentingan rekonsiliasi, sebab kenyataannya memang demikian. Bahwa bangsa ini memerlukan rekonsiliasi tentu positif, tetapi perlu didialogkan dan dicari titik temu yang tepat. Namun bukan berarti menghapus tragedi kelam G.30/S/PKI-1965 dan memandangnya seolah tidak pernah terjadi. Perlu membaca peristiwa 1965 itu secara cerdas, objektif, dan bertanggungjawab! (hns).

Exit mobile version