Fatwa Tarjih: Sabun Bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing?

jilatan anjing

Apakah menyucikan najis jilatan anjing harus dengan tanah ataukah bisa dengan sabun?

Fatwa Tarjih: Sabun Bisa Hilangkan Najis Jilatan Anjing?

Pertanyaan:

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Bapak Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, saya ada pertanyaan tentang bersuci dari najis bekas jilatan anjing. Seperti yang telah kita ketahui dari hadits Rasulullah bahwa tata cara mensucikan bejana bekas jilatan anjing adalah dengan digosok dengan tanah sebanyak 7 kali. Pertanyaan saya adalah:

  1. Apakah hanya untuk bekas jilatan anjing saja yang cara mensucikannya demikian?
  2. Pada saat ini sudah ada sabun pembersih. Apakah dengan memakai sabun ini dapat menghilangkan keharusan menggosok dengan tanah sebanyak 7 kali?

Demikianlah pertanyaan saya dan terima kasih banyak atas perhatian dari Bapak.

Wassalamualaikum Wr Wb

Pertanyaan Dari:

Emrizal Amir, KAM No: 092 4804 947583,

Jl. Seudati No. 6, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara 14240 (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban 1431 H / 6 Agustus 2010)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam Wr. Wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Berikut ini jawaban kami:

Hadits tentang Jilatan Anjing

Untuk menjawab pertanyaan pertama yang saudara ajukan, kita bisa menempuh beberapa metode, yaitu: (a) kritik hadits, (b) hukum asli (al-bara-ah al-ashliyyah), (c) pendekatan semantik (dilalah al-alfadz).Terdapat sebuah hadits yang menerangkan perintah mencuci bejana dari jilatan binatang selain anjing. Hadits tersebut adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ إِذاَ وَلَغَ الهِرُّ غُسِلَ مَرَّةً. [رواه أبو داود و الدارقطني]

Artinya: “Apabila kucing menjilati (satu barang), maka dicuci sebanyak satu kali” [HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni]

Hadits ini berkualitas sahih, namun sayangnya bukan hadits marfu’ (bersumber dari Nabi saw), melainkan mauquf (perkataan Abu Hurairah), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Dalam manhaj yang dipegangi Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, terdapat kaedah:

اَلْمَوْقُوْفُ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ.

Artinya: “Hadits mauquf murni tidak bisa dijadikan hujjah.”

Selain itu, isi hadits di atas memang tidak menerangkan perintah mencuci bejana bekas jilatan kucing sebanyak tujuh kali dan perintah menggunakan tanah, sehingga tanpa adanya keterangan dari Abu Hurairah pun kita pasti mencuci bejana atau barang kita yang terkena jilatan hewan apa saja.

Kami tidak menemukan dalil lain yang menerangkan tentang keharusan mencuci bejana dengan tanah dan sebanyak tujuh kali dari hewan selain anjing. Sehingga di sini berlakulah kaedah fikih bahwa sepanjang tidak ada dalil atau keterangan khusus, maka kita tidak perlu memberikan perlakuan khusus terhadap barang atau bejana yang terkena jilatan hewan selain anjing. Dalam fikih terdapat kaedah:

اْلأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلََّ الدَلِيْلُ عَلَي تَحْرِيْمِهِ.

Artinya: “Segala sesuatu adalah boleh, kecuali yang telah ditunjukkan keharamannya oleh dalil.”

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw menggunakan redaksi “idza” yang dalam bahasa Indonesia berarti “apabila”. Dalam ilmu dilalah al-alfazh ushul fikih kata idza dimasukkan ke dalam pasal mafhum syarth. Dalam pasal ini berlaku kaedah bahwa perintah (Arab: al-amr) yang di dalamnya terdapat kata idza (berarti mensyaratkan sesuatu terjadi lebih dahulu), hanya bisa dilakukan jika syarat tersebut sudah terpenuhi.

Bunyi kaedah tersebut adalah sebagai berikut:

إِنَّ التَقْيِيْدَ بِالشَرْطِ يَدُلُّ عَليَ إِنْتِفَاءِ اْلمَشْرُوْطِ عِنْدَ إِنْتِفَاءِ الشَرْطِ.

Artinya: “Terikatnya sesuatu (larangan atau perintah) dengan suatu syarat menunjukkan bahwa yang disyaratkan tidak perlu dilakukan jika syaratnya tidak ada.” (Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Wahbah az-Zuhaili, 351)

Dalam hal ini, yang menjadi syarat terjadinya pencucian dengan tanah dalam hadits tersebut adalah adanya jilatan yang dilakukan oleh anjing, dan yang menjadi konsekwensi (al-masyrut) adalah mencucinya dengan air yang pada salah satunya dicampur dengan tanah. Dengan menggunakan kaedah ini kita bisa menarik kesimpulan, jika bukan anjing yang menjilati bejana berarti tidak ada keharusan mensucikan bejana dengan cara demikian.

Oleh karena itu, jika bejana saudara terkena jilatan binatang lain, tidaklah wajib dilakukan penanganan yang serupa seperti ketika terkena jilatan anjing.

Berdasarkan penelitian kami, hadits-hadits tentang perintah mencuci bejana dari jilatan anjing bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori.

Kategori pertama adalah hadits-hadits yang mencantumkan perintah mencuci bejana sebanyak tujuh kali, tanpa diiringi perintah menggunakan tanah pada salah satunya. Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا. [رواه البخاري و مسلم و اللفظ للبخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing minum dari bejana salah seorang di antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan lafal milik al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ :إِذَا شَرِبَ اْلكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ. [رواه مالك]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing minum dari bejana salah seorang di antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR. Malik]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيهِ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: Sucinya bejana salah seorang di antara kamu sekalian jika dijilati anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR. Muslim]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersaba: Apabila anjing menjilati bejana salah seorang di antara kamu sekalian, maka siramlah dengan air dan cucilah sebanyak tujuh kali.” [HR. Muslim]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ. [رواه احمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah sebanyak tujuh kali.” [HR. Ahmad]

Kategori kedua adalah hadits yang di dalamnya terdapat redaksi perintah mencuci sebanyak tujuh kali dengan salah satunya menggunakan tanah. Haditsnya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Bersihnya bejana salah seorang dari kamu sekalian apabila dijilati oleh anjing adalah dengan ia mencucinya sebanyak tujuh kali, salah satu (cuciannya) menggunakan tanah.” [HR. Muslim]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَبِىَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ السَّابِعَةُ بِالتُّرَابِ. [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing menjilati bejana cucilah sebanyak tujuh kali, cucian ke tujuh dengan tanah.” [HR Abu Dawud]

Kategori ketiga adalah hadits yang di dalamnya terdapat perintah mencuci bejana sebanyak delapan kali, cucian yang terakhir menggunakan tanah. Haditsnya adalah sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ الْمُغَفَّلِ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ ، وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِي التُّرَابِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mughaffal, Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah sebanyak tujuh kali, dan gunakanlah tanah di cucian ke delapan.” [HR. Muslim]

Kategori keempat adalah hadits yang perintah mencuci bejana kurang dari tujuh kali dan tidak menggunakan tanah. Hadits tersebut adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يُغْسَلُ الْإِنَاُء مِنْ وُلُوْغِ الْكَلْبِ ثَلَاثاً، أَوْ خَمْساً، أَوْ سَبْعاً. [رواه الدارقطني]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Bejana dicuci dari jilatan anjing sebanyak tiga kali atau lima kali atau tujuh kali.” [HR. ad-Daruquthni]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَأَهْرِقْهُ، ثُمَّ اْغسِلْهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. [رواه الدارقطني]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Apabila anjing menjilati bejana, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah sebanyak tiga kali.” [HR. ad-Daruquthni]

Berdasarkan hadits-hadits tersebut, bisa disimpulkan bahwa telah terjadi ta’arudh (kontradiksi) antar informasi yang disajikan oleh masing-masing hadits. Berdasarkan penelitian kami terhadap kualitas hadits-hadits di atas, hanya hadits-hadits dalam kategori keempat-lah yang mendapatkan “sorotan” dari para ulama (misal, Ibnu Adi dalam kitab  al-Kamil, Albani dalam kitab al-Silsilah al-Dhaifah, vol. 3, hal. 36). Namun, Ibnu Daqiq al-Id, seperti dikutip al-Aini dalam kitabnya Syarh Sunan Abi Dawud mensahihkan hadits-hadits tersebut (vol. 1, hal. 274).

Kemungkinan dari penyebab ketumpangtindihan hadits-hadits ada dua, yaitu; Pertama, telah terjadi kelupaan dari sisi sahabat Abu Hurairah ketika meriwayatkan hadits (sebab hampir kesemua hadits tersebut diwayatkan oleh beliau (Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadzi, vol. 1, hal. 257). Kedua, Rasulullah saw mengucapkan keterangan yang berbeda-berbeda, yang berarti tidak ada bilangan tertentu yang diwajibkan, sehingga orang bisa saja memilih mana bilangan yang ia mau.

Banyaknya dan tumpangtindihnya hadits-hadits di atas, telah menyebabkan pendapat para ulama juga menjadi begitu variatif.

Dalam hadits-hadits tersebut, sesungguhnya yang menjadi obyek perdebatan para ulama adalah dua hal, yaitu tentang “mencuci bejana dengan tanah (at-tatrib)” dan melakukannya “dengan jumlah tertentu (at-tasbi’ (tujuh kali), at-tatsmin (delapan kali), at-tatlits (tiga kali))”. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak wajib mencuci bejana sebanyak tujuh kali dan juga tidak wajib menggunakan tanah. Mazhab Maliki mewajibkan bilangan tujuh, tetapi tidak mewajibkan tanah. Adapun Mazhab Syafii mewajibkan mencuci bejana dengan tanah sebanyak delapan kali (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 1, hal. 279).

Selain disebabkan keterangan hadits yang berbeda-beda, perselisihan (ikhtilaf) para ulama juga disebabkan karena perbedaan pemahaman; apakah perintah dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan kewajiban (al-wujub) ataukah sunnah (an-nadb) atau hanya petunjuk keduniawian saja yang sama sekali tidak terikat dengan nilai ibadah (laisa li at-ta’abbud), sehingga bisa ditempuh metode lain dalam mensucikan bejana.

Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap hadits-hadits tersebut kami berpendapat bahwa perbedaan redaksi dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa mencuci bejana sebanyak jumlah tertentu dan mencuci dengan menggunakan tanah bukanlah sebuah kewajiban, dan juga bukan perbuatan yang disunnahkan. Dengan kata lain perintah tersebut tidak mengandung unsur ta’abbudiy, melainkan hanya perintah Nabi saw untuk membersihkan bejana dari jilatan binatang yang mengandung unsur najis (li at-tanajjus) (Syarh Sunan Abi Dawud, vol. 1, hal. 213).

Dalam ilmu Ushul Fikih diatur bahwa untuk mengetahui apakah suatu perintah dimaksudkan wajib (ibadah) oleh Nabi saw atau tidak, kita harus melihat konteks perbuatan yang diperintahkan. Jika ada unsur al-qurbah (mendekatkan diri) pada Allah pada perintah tersebut, berarti ia bernilai ibadah, dan dengan demikian tidak bisa tidak harus diikuti.

Dalam kasus ini, kita juga bisa menariknya kepada klasifikasi para ulama ushul fikih terhadap sunnah Nabi saw. Mereka membagi sunnah Nabi saw ke dalam dua jenis; (a) yang mengandung unsur pensyariatan (sunnah tasyri’iyyah) dan, (b) yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana Nabi saw mengeluarkan sabda tersebut (ghairu tasyri’iyah). Sunnah jenis pertama bersifat abadi, tidak lekang (daim) dan berlaku untuk semua ruang dan waktu (‘am) serta tidak terpengaruh dengan perubahan zaman. Sedangkan sunnah jenis kedua adalah sunnah yang bersifat temporal (khas) dan situasional (hal mu’ayyan).

Kami berpendapat bahwa mencuci bejana sebanyak tujuh kali dengan salah satunya menggunakan tanah sesungguhnya bukanlah inti (subtansi) yang ingin Nabi saw sampaikan dalam haditsnya tersebut. Sehingga ia bisa disebut sebagai wasilah (sarana) saja, bukan sebagai sunnah tasyri’iyah. Wasilah sendiri adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Di zaman sekarang, kita bisa menggunakan sabun, deterjen dan sarana-sarana lainnya yang bisa mengantarkan kita sampai pada maqshad (tujuan inti) dari hadits tersebut, yaitu membersihkan peralatan dari najis yang menempel padanya.

Di samping itu, secara redaksional, dalam hadits tersebut tidak ada satu indikasi (qarinah) yang menunjukkan wajib atau sunnahnya perbuatan mencuci bejana sebanyak tujuh kali yang salah satunya menggunakan tanah. Kaedah yang bisa kita pegangi dalam hal ini adalah: suatu perintah Nabi saw terkadang bermakna sebagai suatu petunjuk (al-irsyad), sunnah (an-nadb), makruh (al-karahiyyah) dan wajib (al-wujub) tergantung dengan indikasi (qarain) yang terdapat dalam perintah tersebut.

Di antara indikasi tersebut adalah apakah terdapat perintah yang bernada keras (al-tasydid fi al-amr) atau ada ancaman jika ditinggalkan (al-wa‘id fi ‘adam al-fi’il) (Yusuf al-Qaradlawi, as-Sunnah an-Nabawiyyah Masdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadlarah, hal. 44). Bila hadits tersebut dibaca ulang, tidak ada satupun qarinah seperti yang disebutkan di atas yang mengindikasikan wajib atau sunnahnya perbuatan mencuci bejana sebanyak tujuh kali.

Selain itu, sebagai tambahan jawaban adalah dengan menggunakan prinsip kemudahan (at-taysir). Di zaman sekarang mencari sabun yang bersih lebih mudah dari pada mencari tanah yang bersih. Dan, menurut kami, barangkali suatu saat dunia yang kita tinggali ini akan memasuki zaman di mana mencari tanah sangat sulit, karena tanah telah tergusur oleh jalan raya, bangunan atau gedung-gedung, sehingga untuk mencari tanah, apalagi yang bersih, seseorang harus melakukan perjalanan yang jauh. Oleh karena itu, di sini kita menerapkan prinsip kemudahan dalam beragama. Nabi Muhammad saw bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا [رواه البخاري]

Artinya: “Mudahkanlah dan janganlah kamu persulit.” [HR. al-Bukhari]

Kesimpulan dari jawaban kedua kami adalah saudara boleh menggunakan sabun pembersih sebagai ganti sabun dari tanah untuk mensucikan bejana yang terkena jilatan anjing. Namun,  jika saudara merasa ingin tetap melakukannya sesuai dengan yang tercantum dalam hadits Nabi Muhammad saw, karena faktor kecintaan terhadap segala sesuatu yang berasal dari beliau, maka dalam pandangan kami, saudara termasuk muhsin (orang yang melakukan kebaikan) dan insya Allah tetap mendapat pahala karena niat saudara. Demikian jawaban dari kami.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan judul Mengganti Tanah dengan Sabun ketika Bersuci dari Jilatan Anjing

Sumber: Majalah SM No 20 Tahun 2010

—————————————–
Semua pertanyaan dijawab oleh Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Exit mobile version