SURAKARTA, Suara Muhammadiyah— Pintu reformasi diharapkan bisa merubah kuasa penuh pemerintah orde baru, terutama hegemoni pemerintah terhadap media, kepada situasi demokrasi yang lebih baik. Yaitu lebih mengapresiasi suara publik. Namun demokrasi yang berjalan justru terkesan bebas dan tidak mengenal batas. Akibatnya media tidak lagi sebagai alat komunikasi yang berperan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebaliknya justru merusak moral bangsa dan membuat kesadaran palsu. Hal ini disampaikan Widodo Muktiyo dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang ilmu komunikasi di Universitas Sebelas Maret, Kamis (6/10).
Melihat kebebasan media yang sudah seperti itu, Widodo melanjutkan, maka negara harus ikut serta dan berperan aktif meluruskan dan mengembalikan media kepada peran dan fungsinya. “Bukan berarti mengembalikan media kepada masa orde baru, tapi negara yang dimaksud lebih luas, bukan penguasa”, terangnya.
Menurutnya, media hari ini sudah dinaiki oleh kepentingan penguasa dan pemodal. Akibatnya orientasi media lebih kepada politik kekuasaan dan kapitalis. Secara otomatis kepentingan publik hilang dan dikalahkan oleh kepentingan politik dan ekonomi kapitalis. “Karena memang kekuatan penguasa dan pemodal begitu besar dan kuat,” ucap Widodo.
Lihat saja, Widodo mencontohkan, pada pilpres tahun lalu, salah satu media memberitakan bahwa pasangan nomor satu memperoleh suara terbanyak. Pada waktu yang bersamaan, media lain juga memberitakan bahwa pasangan nomer dua lah yang memperoleh suara terbanyak. ”Ini menunjukan bahwa media tersebut erat kaitanya dengan kepentingan politik,” paparnya.
Begitu juga dengan kasus kopi sianida yang ditayangkan langsung oleh banyak stasiun TV nasional dan media lain. “Kepentingannya bukan atas dasar kebutuhan publik, tapi semata mengejar rating,” imbuhnya.
Karena itu, guru besar tersebut menegaskan, pentingnya peran serta negara, melalui lembaga-lembaganya, sebagai penyeimbang dan mengawal kepentingan publik agar tersuarakan di media. Seperti peran kominfo dalam memblokir situs-situs porno walau itu belum maksimal. Tentu lembaga-lembaga negara itu, seperti kominfo, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus dikuatkan agar memiliki kekuatan dan mampu mengimbangi kekuatan penguasa dan kapitalis.
Upaya lainnya, sambungnya, menyadarkan masyarakat dan menuntunnya untuk memiliki kemampuan literasi dalam mengkonsumsi media. “Tujuanya, dengan sendirinya masyarakat bisa memilih informasi yang benar dan bertanggung jawab,” pesan Widodo yang juga anggota Majelis Dikti dan Litbang PP Muhammadiyah (gsh).