Suara Muhammadiyah.- Akhir-akhir ini publik cukup dikejutkan dengan sikap Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Presiden yang baru resmi dilantik pada 30 Juni 2016 ini memiliki sepak terjang yang berbeda dengan Presiden dengan negara lainnya di dunia. Sejak kampanye pemilu presiden, sosok Rodrigo Duterte dikenal kerap melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. ‘Kebiasaannya’ ini pun berlanjut ketika ia terpilih menjadi orang nomor satu di Filipina.
Diantara pernyataan-pernyataan dari Duterte selama masa kampanye sampai resmi menjadi Presiden Filipina adalah penghinaan terhadap Paus saat Paus berkunjung ke Filipina dan mengakibatkan kemacetan dimana-mana, “Paus, anak pelacur, pulang ke rumah Anda. Jangan kunjungi kami lagi,” ujarnya. Ada juga pernyataannya mengenai usahanya mengatasi pertikaian wilayah Laut Cina Selatan, “Saya akan menggunakan jet ski sambil mengibarkan bendera Filipina”.
Ada pula pernyataannya tentang Donald Trump “Dia seorang fanatik dan saya tidak”. Meskipun kedua tokoh ini senang melontarkan pernyataan panas, Duterte menolak dibandingkan dengan calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump. Mengenai jumlah pembunuhan terhadap pengedar dan pengguna narkoba di Filipina, “Apakah nyawa sepuluh penjahat benar-benar berarti? Jika saya menjadi pihak yang menghadapi semua masalah ini, apakah nyawa 100 orang idiot berarti bagi saya?” katanya.
Pernyataan Duterte yang paling menggemparkan adalah “Hitler membunuh besar-besaran 6 juta warga Yahudi. Kini, ada 3 juta pecandu narkoba (di Filipina). Saya senang-senang saja membasmi mereka,” kata Duterte kepada para awak media di Davao, Jumat (30/9), sepulangnya dari kunjungan ke Vietnam. Kini dia sudah membasmi 3 juta lebih pecandu, kurir, pengedar narkoba di Filipina.
Atas tindakannya itu Duterta mendapatkan banyak kritik dari berbagai pihak tapi tidak ada yang dihiraukan olehnya. Bahkan Barat mempertanyakan dan menggugat tindakannya sebagai tindakan semena-mena dan perlawanan terhadap hukum. Duterte berdalih bahwa tindakannya itu demi menyelesaikan masalah di negerinya dan menyelamatkan generasi selanjutnya dari narkoba.
Sobekan tulisan seperti “pecandu narkoba” atau “pecandu narkoba” kerap ditemukan di dekat tubuh-tubuh yang bergelimpangan di jalan dalam kondisi tewas mengenaskan sejak pemerintahan Duterte di Filipina. Mereka tewas dalam operasi yang dilakukan oleh penembak misterius (petrus). Nama-nama mereka masuk daftar buronan polisi dan mereka menjadi target penembakan sebelum diberi kesempatan untuk diadili dan dijatuhi hukuman.
Perang melawan narkoba ala Filipina ini mencemaskan pemimpin negara-negara lain yang menganggap apa yang dilakukan Duterte sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Ketika Presiden Obama mengatakan isu pelanggaran HAM dengan Duterte, spontan Duterte marah. Ia memaki Obama dan menyebutnya sebagai anak perempuan jalang. Namun belakangan hubungan keduanya membaik setelah mereka bertemu di forum internasional.
Ketika Parlemen Eropa melontarkan kritik, Duterte membalasnya dengan mengacungkan jari tengahnya sebagai simbol penghinaan. Duterte balas mengkritik Eropa yang memperlakukan migran secara buruk dan membuat nyawa migran terancam. Statemen Duterte tersebut memicu kemarahan kelompok Yahudi di AS. Para pemimpin Yahudi dalam tanggapannya menyatakan Duterte sebagai sosok yang tidak berperikemanusiaan dan bersifat menyerang.
Kelompok Yahudi di AS, Anti Defamation League, menyatakan, pernyatan Duterte tidak pantas dan sifatnya sangat menyerang. Rabi Abraham Cooper dari organisasi Simon Wiesenthal Center menyatakan Duterte berutang kepada para korban Hitler pada zamannya. Ia menuntut Duterte meminta maaf seraya menyebut pernyataan Duterte itu sebagai hal yang menjijikan. Namun pada hari Minggu (2/10) Duterte dengan tulus meminta maaf kepada komunitas Yahudi di dunia.
Duterte meminta maaf karena membandingkan perang melawan pedagang narkoba yang dilakukannya di Filipina dengan holocaus NAZI pada Perang Dunia Kedua. Dia mengaku bahwa pernyataannya pekan lalu meninggalkan kesan buruk pada banyak pihak. Akan tetapi dia mengaku tidak akan minta maaf kepada para pengecam atas penumpasan yang kerap dilakukan secara keras dan tegas terhadap pengguna, produsen dan penjual narkoba.
Akan tetapi seakan belum puas Duterte dalam pidato hari Selasa (4/10), dia mengungkapkan kekecewaannya terhadap Amerika, yang telah meminta pemerintahnya agar berhenti melakukan pembunuhan yang tersebar luas dengan dalih kampanye anti-narkoba. “Bukannya membantu, pertama yang menyerang kampanye anti-narkoba adalah Departemen Luar Negeri. Jadi, persetan. Presiden Obama, silakan Anda pergi ke neraka,” kata Duterte (Lina).