JAKARTA, Suara Muhammadiyah—Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan bahwa Muhammadiyah dalam buku Visi Karakter Muhammadiyah, telah menawarkan beberapa karakter utama yang harus selalu dipelihara oleh segenap bangsa Indonesia. Beberapa karakter utama itu diyakini akan membawa Indonesia mampu untuk meraih kemajuan. Hal itu dikatakan Haedar dalam acara Pengajianm Bulanan PP Muhammadiyah di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat, Jumat malam (7/10).
Karakter pertama, kata Haedar adalah religious. “Orang Indonesia itu apapun agama, suku, rasa dan golongannya memiliki karakter religious. Religiusitas itu melebihi apapun. Orang berpengetahuan agama belum tentu religius. Religiusitas ini tidak terkait dengan pengetahuan agama apapun,” kata Haedar, sambil mencontohkan orang yang tahu menurut agama bahwa marah itu dilarang, belum tentu bisa mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, karakter cerdas berilmu. Indonesia berkemajuan, kata Haedar hanya bisa digapai dengan karakter ini. “Cerdas lahir dari proses diri yang membentuknya menjadi manusia yang kritis, inovatif. Indonesia hanya akan menjadi berbudaya kasur tua –kalau kata Rendra– jika tidak cerdas dan berilmu,” katanya.
Menurut Haedar, cerdas dan berilmu juga menjadi factor yang menyebabkan Indonesia mampu untuk berdiri sejajar dengan bangsa lainnya. Selain menjadi cerdas dan berilmu, Haedar juga mengingatkan supaya ilmu yang dimiliki jangan sampai membentuk manusia instrumental. “Kehebatan orang Muhammadiyah itu egaliter. Bahkan saking egaliter menjadi modular man, kurang rasa takzim. Ini perlu menjadi cacatan bagi orang Muhammadiyah,” ujarnya.
Karakter ketiga yaitu jiwa mandiri. Mandiri akan membentuk harkat, marwah dan muruah seseorang. Pada akhirnya kemandirian akan menjadikan seseorang menjadi unggul. “Muhammadiyah mengajarkan kemandirian. Kemandirian ini yang mengajarkan kita yad al ulya laisa min yad al sulfa, menjadi tangan di atas, bukan tangan di bawah. Ia tidak pernah menjadi pengemis,” papar Haedar.
Keempat, sikap altruisme atau rasa solidaritas social yang tinggi. “Sekarang sikap altruis hilang, orang menjadi egois. Orang memperjuangkan dirinya dengan sikap Darwinian. Siapa memangsa siapa. Kelihatannya manusia modern diajarkan untuk saling kompetisi saling berebut, namun kadang jiwa altruism dan solidaritasnya menjadi luruh,” tutur Haedar.
Karakter kelima, etos kerja. Menurut Haedar, orang Muhammadiyah itu tidak pernah mau diam dan berhenti bergerak. Sehingga amal usaha Muhammadiyah tumbuh di mana-mana. Demikian halnya dengan ibu-ibu Aisyiyah yang begitu giat beramal dan bekerja keras (Ribas).