YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah—Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan sosial-keagamaan telah memberi andil dalam mengkonstruksi pola perilaku dan pemikiran masyarakat Indonesia. Di antara dedikasi terbesar Muhammadiyah adalah melakukan gerakan emansipasi perempuan. Hal itu dipraktekkan secara langsung oleh Nyai Walidah Dahlan sejak masa-masa awal Muhammadiyah.
Kiprah perempuan Muhammadiyah ikut serta mewarnai sejarah nasional. Beberapa di antaranya dapat dilihat dari keterwakilan kader Aisyiyah dalam sidang BPUPKI pada 1945 dan menjadi pelopor kongres perempuan pertama pada 1928 di Yogyakarta. Hingga kini, Aisyiyah menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang memiliki universitas sendiri. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah sejak awal telah menempatkan perempuan dalam posisi terhormat dan memberi ruang yang seluas-luasnya untuk mengakses pendidikan serta aktif terlibat di ranah publik.
“Peranan perempuan yang dipraktekkan oleh Nyai Walidah lebih progresif dibandingkan dengan Budi Utomo dan bahkan Kartini,” ungkap Siti Ruhaini Dzuhayatin selaku penulis buku Rezim Gender Muhammadiyah, Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi dalam acara Kajian Malam Sabtu (Kamastu) yang diselenggarakan AMM DIY pada Jumat (21/10).
Pola relasi gender Budi Utomo, kata Ruhaini, masih terikat dengan adat budaya Jawa yang mengharuskan perempuan lebih feminis. Sementara Kartini memperjuangkan pola relasi gender dalam bentuk complementary atau saling mengisi dan melengkapi antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Ruhaini, relasi perempuan dan laki-laki yang lebih progresif telah dipraktekkan oleh Kyai Dahlan dan Nyai Walidah. Kedua pasangan suami-istri yang memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah ini menerapkan hubungan yang co–existence dalam bentuk senior-junior partnership.
“Pada masa itu ada konstruksi sosial yang beranggapan bahwa istri dan anak merupakan milik suami. Jadi apa yang dilakukan Kyai Dahlan dan Nyai Walidah masih belum terpikirkan ketika itu,” ujar ketua Komisioner HAM OKI yang membawahi 57 negara muslim itu.
Ruhaini menyebut beberapa contoh progresifitas perempuan yang diperjuangkan Kyai Dahlan. Semisal membangun langgar estri bagi perempuan dimaksudkan Kyai Dahlan supaya perempuan bisa beribadah sebagaimana halnya laki-laki. Sehingga perempuan tidak lagi hanya ditempatkan di ruang kecil di pojok masjid yang dipisah oleh tabir.
Kyai Dahlan, ujar Ruhaini, juga mengajarkan anak-anak perempuan pakai sarung dan naik sepeda. Meskipun sederhana, dalam konteks ketika itu, apa yang dilakukan Kyai Dahlan sangat progresif dalam mendorong perempuan ikut berkiprah di luar rumah dan melakukan aktivitas yang umumnya ketika itu hanya diperuntukkan untuk laki-laki, termasuk bekerja. Apa yang dilakukan kyai Dahlan ini dianggap meniru Kristen, tak sedikit yang ketika itu menyebut kyai Dahlan sebagai kyai Kafir. Padahal, menurut Dahlan, progresivitas itu berakar dari ajaran Islam sendiri.
Ruhaini juga menjelaskan bahwa sosok Nyai Walidah memiliki latar belakang sebagai pedagang bekerja di luar rumah. Hal ini sebagaimana dahulu dipraktekkan oleh istri nabi Muhammad, Khadijah. Ruhaini secara apik menulis tentang itu dalam buku Rezim Gender Muhammadiyah, yang juga merekam dinamika pola relasi perempuan dan laki-laki dalam proses dan hasil muktamar Muhammadiyah hingga 2010. “Buku ini melihat Muhammadiyah secara berbeda, secara sosiologis. Tidak normatif. Bukan angan-angan atau kritik penulis sebagai orang dalam, namun sebagai peneliti,” kata Ruhaini.
Turut hadir sebagai pembicara dalam bedah buku itu, ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) PWM DIY Hatib Rahmawan yang menyoroti beberapa realitas yang bias gender dalam Muhammadiyah. (ribas)