Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy
Menurut penuturan beberapa teman, saat ini telah dibagikan al-Quran “versi lain” yang tarjamah QS. al-Maidah: 51 nya diubah ke sekolah-sekolah dengan dalih wakaf al-Quran. Semua anak sekolah se-Tangerang Raya konon sudah mendapatkannya. Di mana, tarjamah “aulia” dalam QS. al-Maidah 51 diganti dari “Pemimpin” menjadi “Teman Setia”.
Padahal tarjamah al-Maidah yang beredar selama ini merujuk pada terjemahan Departenen Agama (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Tafsir Al Quran) yang ditunjuk Menteri Agama dengan Surat Keputusan No. 20 Tahun 1967. Terjemahan ini populer di kalangan masyarakat. Bahkan terjemahan ini dipakai dalam cetakan al Qur’an dan Tarjamah yang diterbitkan oleh Raja Kerajaan Arab Saudi. Al-Qur’an Terjemah ini juga dibagikan secara cuma-cuma kepada Muslim Indonesia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51).
Ikhtiar untuk menerjemahkan ini dilakukan dalam kurun waktu 8 tahun. Para anggota ‘Dewan Penerjemah’ terdiri delapan orang, yakni Prof TM Hasbi Ashshiddiqi, Prof H Bustaman A Gani, Prof H Muchtar Jahya, Prof H M Toha Jahjya Omar, DR H A Mukti Ali, Drs Kamal Muchtar, H Gazali Thaib, KH Anwar Musaddad (pernah jd Wakil Rais Am Syuriah PBNU), KH Ali Maksum (pernah menjadi Rais Am PBNU), Drs Busjairi Madjid. Kalau “tafsir baru” al-Maidah ini dimaksudnya untuk “memperkuat” pencalonan Ahok yang “terganggu” karena al-Maidah, maka itu tindakan yang blunder.
Kalaulah misalnya AULIA ditafsir sebagai TEMAN SETIA, bukan sebagai “PEMIMPIN” sebagaimana dikehendaki oleh “tafsir baru”, maka tetap saja itu blunder politik. Logikanya sangat sederhana. Lah wong menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia –yang lebih merupakan hubungan personal yang kalaulah terjadi pengkhianatan dalam persahabatan tersebut yang terkena atau menjadi korban setidaknya hanya mereka yang saling bersahabat atau berteman setia– saja tidak boleh, apalagi menjadikannya sebagai pemimpin –yang terkait dengan kepentingan yang bersifat umum (am), terkait orang banyak– tentu saja lebih tidak boleh.
Jadi bangunan nalar atau logika si pembuat “tafsir baru” tersebut sesungguhnya jungkir balik tidak karuan. Tafsir baru dengan maksud untuk menegaskan bahwa AULIA itu tidak ditafsir sebagai PEMIMPIN dengan maksud agar memuluskan jalan Ahok menjadi Gubernur sesungguhnya justru semakin menegaskan tentang TIDAK BOLEHNYA menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, apalagi dalam konteks Indonesia, yang mayoritas mutlak adalah Muslim.
Terakhir, saya nukilkan QS. Al-Taubah: 9
اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُون
Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan. (QS at-Taubah 9).
Ayat di atas merupakan gambaran kaum Musyrik, yang biasa menukar ayat-ayat Allah Swt. dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk beriman, sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka. Sekalipun obyek ayat ini adalah kaum Musyrik, adanya penyifatan, “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan,” menunjukkan bahwa siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan paling buruk, yang tentu saja diharamkan.
Keharaman menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah ini ditegaskan di banyak ayat. Di antaranya, mereka yang melakukan hal tersebut berarti melakukan perbuatan amat buruk (QS Ali Imran:187; mereka celaka (QS al-Baqarah: 79); membeli kesesatan dengan petunjuk; membeli siksa dengan ampunan (QS al-Baqarah: 174-175). Semua ini secara tegas menunjukkan keharaman perbuatan tersebut.
Penyebab sebenarnya orang yang menukar ayat Allah dengan harga murah adalah: (1) lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah Swt. (Lihat: QS al-Maidah 44); (2) untuk kepentingan orang lain (Lihat: QS al-Maidah: 106); dan puncaknya (3) untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Swt. (Lihat: QS at-Taubah: 9). Walhasil, semuanya ditujukan semata-mata untuk kepentingan dunia.
Larangan menjual atau menukar ayat-ayat Allah swt. dengan harga sedikit bukan berarti kalau harganya mahal adalah boleh. Sebab, sekalipun perbuatan itu dihargai dengan seluruh dunia dan segala isinya, semua itu tetap sedikit.
Nalar yang waras tentu akan menafsirkan ayat di atas dengan tafsir bahwa menjual dengan harga murah (yang tentu keuntungan dari hasil penjualannya sedikit) saja tidak boleh, apalagi menjual ayat dengan harga mahal yang keuntungannya tentu lebih besar) tentu lebih tidak boleh lagi. Tafsir model ini bisa merujuk pada tafsir-tafsir sejenis atas beberapa ayat dalam al-Qur’an, misalnya: wala taqraba hadzihi-syajarah. Mendekati pohon (terlarang) itu saja tidak boleh, apalagi memakannya. Bukan malah ditafsir sebaliknya, kalau “mendekat” tdk boleh, tapi “memakannya” dibolehkan.
Semoga manfaat.