Bukan Pak Siman Yang dari Gunung, Malah Saya Yang Linglung di Mall

Bukan Pak Siman Yang dari Gunung, Malah Saya Yang Linglung di Mall

JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto Wajah depan Hartono Mall Yogyakarta, Jumat (20/11/2015).

Sesaat setelah shalat maghrib di Mushalla di lantai dasar (basement) parkiran Hartono Mall Yogyakarta, saya ketemu dengan seorang Bapak yang juga baru selesai menunaikan rukun Islam yang kedua itu.

Bapak itu memakai baju batik baru yang cukup rapi lengkap dengan peci hitamnya. Sambil memamakai sepatu, penulis terlibat obrolan ringan dengan dirinya.

Ternyata Bapak yang sebut saja namanya Pak Siman itu datang dari sebuah Desa di Kulonprogo. Pak Siman datang ke mall itu karena mau melihat (mendengar) ceramah Wildan Mauzakawali Saptian. Da’i cilik siswa SD Muhammadiyah Salatiga. Da’i cilik yang cukup terkenal dan pernah memenangi kontes da’i di sebuah stasiun TV swasta nasional.

Pak Siman itu datang dengan sepasang anaknya (laki-laki dan perempuan) yang masih kelas tiga dan kelas lima SD. Kedua anak itu sengaja diajak ke mall itu agar bisa menyaksikan secara langsung gaya sang da’i cilik. Yang katanya sudah dilihatnya saat ceramah  di salah satu TV swasta.

Bapak itu ingin kedua anaknya itu bisa meniru Wildan. Setidaknya mempunyai keberanian menyampaikan pendapatnya di hadapan orang lain.

Dalam perbincangan singkat itu Bapak itu mengaku bahwa dirinya juga kedua anaknya itu belum pernah masuk ke mall manapun.

Walau sudah dibekali pengetahuan dari kerabatnya tentang cara masuk ke mall terbesar di Yogyakarta ini, dia mengaku masih sempat bingung ketika mencari jalan masuk ke mall itu. Terutama setelah dia memarkir sepeda motornya di parkiran luar.

Biar tidak bingung kalau mencarinya saat mau pulang, parkirnya di parkiran luar saja. Demikianlah salah satu nasehat kerabatnya tentang cara masuk mall yang aman. Maklumlah luas parkiran di mall kan lebih luas dari lapangan bola dan terdiri dari beberapa lantai yang lumayan membingungkan bagi orang yang tidak terbiasa keluar dari desanya.

Untunglah, jalan masuk ke atrium utama, tempat Suara Muhammadiyah menggelar Muhammadiyah Ekspo dalam rangka milad ke-101 ini tidak terlalu rumit. Tidak harus lewat lorong-lorong tempat perbelanjaan. Sekali tanya satpam, langsung jelas pintu mana yang harus dimasuki.

Hanya dengan menunjukkan selebaran yang dia dapat dari agen Majalah Suara Muhamadiyah, Pak satpam di mall itu langung menunjukkan jalan dan pintu yang harus dituju dengan sangat tepat.

Hanya saja, Pak Siman bercerita tentang kebingungannya tatkala menjelang maghrib. Saat Wildan selesai menyampaikan ceramahnya. Arloji yang dia pakai sudah menunjukkan waktu adzan maghrib untuk Yogyakarta, tapi ditunggu lebih dari sepuluh menit kok tidak terdengar suara adzan.

Dia pun bertanya ke panitia berbaju putih yang ada di ruangan itu, apakah sudah waktu maghrib, dan dijawab sudah. Bahkan panitia, yang menurut Pak Siman cukup baik hati tersebut, menawarinya untuk mengantar ke tempat shalat itu.

Saat itulah Pak Siman baru tahu bahwa, ruang besar tempat Wildan menyampaikan tabligh akbar itu bukanlah ruangan masjid. Ruangan masjidnya adalah ruangan tempat dia shalat maghrib tadi, yang katanya tidak lebih lapang dibanding dengan mushalla yang ada dusunnya. Di lereng bukit menoreh sana.

Dengan lugunya Pak Siman juga menumpahkan uneg-unegnya, seharusnya mall sebesar ini juga menyediakan masjid yang cukup besar, paling tidak yang bisa menampung jamaah seratus orang. Gagasan Pak Siman ini yang orang gunung ini (demikian dia menyebut dirinya sendiri, kula niki tiyang gunung mas) ternyata mirip dengan gagasan Ketua Umum PP Muhamadiyah saat membuka Muhammadiyah Ekspo pagi tadi.

Selanjutnya, Pak Siman bertanya kepada penulis jalan menuju parkiran luar tempat dia menaruh sepeda motornya. Terilhami kebaikan hati panitia yang mengantar Pak Siman ke tempat shalat, saya pun mengantar Pak Siman ke tempat parkir yang di maksud.

Obrolanpun berlanjut, Pak Siman sama sekali tidak mempunyai rencana untuk belanja atau sekedar melihat-lihat pusat perbelanjaan yang juga menyediakan beberapa wahana hiburan keluarga yang segede gajah ini. Di samping tidak ingin belanja, pak Siman juga takut kalau nanti sampai tersesat.

Kehadirannya di tempat perbelanjaan ini murni karena ingin menghadiri pengajiannya Wildan.

Kedua anaknya yang masih kecil ketika ditanya penulis apakah tidak ingin membeli sesuatu atau berjalan-jalan dulu, yang kecil menjawab dengan sangat sopan nan singkat, “Boten”. Sedangkan yang besar menjawab agak panjang namun tak kalah sopan, “Boten, ndak marai pengin tumbas sing boten perlu” (tidak, nanti malah menginginkan membeli sesuatu yang tidak perlu).

Malam harinya, saat acara Muhammadiyah ekspo 2016 sudah selesai, ganti penulis yang bingung bahkan sedikit linglung mencari sepeda motor di parkiran. HP yang tadi pagi penulis gunakan  untuk memfoto nomor blok parkir, saat itu kehabisan daya. Padahal, di situlah ingatan tentang lokasi parkir motor dititipkan.

Nasehat kerabat Pak Siman yang orang gunung itu sangat brilian. Sedangkan saya malah seperti orang hilang akal. Kebingungan di ruang parkir mall yang benderang walau hari sudah malam (Isngadi Marwah Atmadja).

Exit mobile version